Kebulan asap dupa yang wanginya menusuk hidung memenuhi ruangan Klenteng Seng Bo Kiong Bitung, meski pengap dengan asap yang baunya menesakkan nafas, namun itulah yang menjadi syarat utama umat Tridharma dalam melakukan ritual sembahyangnya kepada Sang Pencipta. Saat ini mereka merayakan Cap Go Meh, yaitu sebuah prosesi ritual untuk meminta keselamatan dan rejeki setelah 15 hari perayaan Imlek. Prosesi ini juga disebut sebagai prosesi Goan Siau, yang selalu menjadi daya tarik oleh semua lapisan masyarakat, khususnya di Sulawesi Utara untuk menyaksikan ritual tersebut pada 28/02/2010 di Kota Bitung.
Katanya, sebelum prosesi ini dilakukan, sebelumnya mereka meminta izin kepada dewa-dewa yang mereka sembah, apakah mereka boleh mekalukan ritual iring-iringan Tan Sin atau tidak, jika diizinkan oleh dewanya, mereka akan melakukannya. Namun jika tidak, mereka tidak akan membuat pawai tersebut. Berikut adalah snapshot prosesi perayaan Goan Siau di Kota Bitung.
Beberapa sesaji, sebagai persiapan ritual, yang diletakkan di depan pintu masuk klenten Seng Bo Kiong.
Ruangan dalam klenteng, yang pengap oleh asap-asap dupa.
Atraksi BarongSai, membuka prosesi ritual.
Tiga orang umat Tridharma, meminta restu kepada para dewa.
Kertas-kertas doa, sehabis digunakan untuk berdoa, lalu dibakar di tungku pembakaran.
Musik bambu dan tarian Cakalele, turut memeriahkan acara tersebut.
Gubernur Sulut, Drs. S.H. Sarundajang disambut oleh tarian kabesaran Cakalele, sebelum memasuki Klenteng Seng Bo Kiong.
Atraksi Barongsai kembali menghibur para tamu kehormatan.
Tampak Gubernur Sulut, S.H. Sarundajang bersama Walikota Bitung Hanny Sondakh, melepas pawai prosesi Goan Siau yang diikuti oleh BKSAUA (Badan Kerukunan dan Kesatuan Antar Umat Agama)yang terdiri dari Kristen Protestan, Katolik, Islam, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu; seni kebudayaan Minahasa, tarian cakalele dan musik bambu, beragam kereta-kereta hias, barisan petugas sembahyah dan barisan usung-usungan tandu.
Beberapa kereta hias, namun sayang pengambilan gambar tidak mendapatkan angel yang bagus karena banyaknya penonton yang memadati areal di sekitar tempat pawai.
Tandu-tandu yang dianggap suci, yang mereka gotong keluar klenteng berisi patung dewa-dewa umat Tridharma.
Inilah para Tan Sin yang telah dirasuki oleh dewa-dewa, yang siap melakukan ritual Goan Siau. Mereka akan menaiki tandu-tandu yang digotong, sesuai dengan tandu yang membawa patung dewa yang merasukinya.
Salah satu Tan Sin menaiki tandu dengan membawa sebilah pedang yang sangat tajam, selama iring-iringan ia akan memotong-motoh bagian-bagian tubuhnya seperti tangan, leher, perut bahkan lidah, namun tak terluka sedikit pun.
Demikian juga dengan Tan Sin yang satu, ia akan menusuk-nusukkan jarum atau kawat dari pipi kanan sampai menembus pipi kiri, namun tidak merasa kesakitan.
Keluarnya para Tan Sin di kota Bitung ini sudah terlalu sore, yaitu pada pukul 17.00. Namun penonton yang menunggu para Tan Sin ini keluar sudah berkerumun sejak pukul 11.00 siang. Sayang sekali saya tidak mendapatkan gambar yang bagus, ketika mereka menusuk-nusukkan jarum atau benda-benda tajam dibagian-bagian tubuhnya, hal ini karena membludaknya penonton, dan karena waktu yang terlalu sore.
Iring-iringan terakhir, sebagai penutup pawai adalah barisan ular naga, yang dibawakan oleh warga lokal bitung.
Good job Alvi!!....i'm proud of you. Memperkenalkan budaya-budaya negerimu sesuatu yang sangat menarik perhatian saya. Thumb up to you!!
BalasHapusThank u very much for u coment
BalasHapusmantap !!! que suka qaya loe
BalasHapus