Senin, 05 Desember 2011

Vespa memang tiada matinya

Vespa, kendaraan roda dua jenis skuter ini memang gayanya tak akan pernah mati digerus jaman. Jika motor-motor lain buatan sekarang, semakin tua akan semakin ditinggalkan, lain halnya dengan Vespa. Semakin tua usia Vespa, maka akan semakin diburu banyak orang. Tak heran jika harga dari Vespa-Vespa klasik akan semakin lebih mahal, jika dibandingkan Vespa yang buatan tahun-tahun muda. 

Waktu kuliah, saya adalah salahsatu dari Skuteris yang setia mengendarai Vespa kemana-mana. Dahulu aku punya Vespa Sprint buatan tahun 1976. Meski kondisinya sudah agak memprihatinkan, namun jangan salah.. berkat Vespa buntutku itu.. beberapa cewek cantik di kampusku, berebut untuk minta kuboncengkan hehe..

Nah ini adalah foto-foto acara gathering PAVESA (Persatuan Vespa Salatiga) yang digelar sekitar tahun 2006 lalu yang sempat saya  abadikan bersama teman saya Yoyok, di lapangan Kalibening Salatiga. Daripada hanya tersimpan di hardisk mending di share aja deh di blog..

Tak pernah mati gaya
Meski berkarat, busuk dan buntut, namun bagi beberapa skuteris aliran ekstrim, inilah salah satu  uniknya vespa.


Saat menjajal mengandarai Vespa modification aliran tikus 

Salah satu Skuteris wanita, meski ibu ini sudah usia baya.. namun jangan salah, jika semangatnya untuk taouring mengelilingi kota-kota di Indonesia menggunakan vespa masing sangat tinggi.
Mencoba berfoto bersama beliau.


Yoyok in action, bersama wawan.


Vespa modification, doble enggine. Mirip kendaraan tempur.

Siap menaklukkan jalanan

Tiga rider siap action

Para skuteris


Balapan Vespa

Vespa modification sport, lagi ngebut.

Vespa modification long sasis

Skuteris aliran tikus

Modification aliran becak beroda tiga. Unik ya..?

Tampak seperti motor biasa, namun jangan salah..!! ini adalah Vespa modification.

Vespa in fasion contes modification

Aliran klasik.

Slakers Mania

Tampak belakang, betapa bahenolnya pantatnya.
Tampak depan, betapa ciamiknya tampilannya.
Tampak belakang yahuuud coy.
Modifnya keren coy..




Jumat, 25 November 2011

Ketika Ayah dan Adikku menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya, dan dipakai sebagai saksiNya.

Ini adalah sebuah kisah tentang kehidupan baru yang dialami oleh Ayah saya. Sekedar di ketahui, Ayah saya berlatar belakang dari keluarga Muslim, beliau adalah anak pertama dari enam bersaudara. Memang beliau bukanlah penganut Muslim murni, yang rutin menjalankan sholat 5 waktu seperti yang dilakukan oleh adik-adiknya, atau para penganut Muslim pada umumnya. Beliau hanya penganut Muslim abangan, yang mungkin jarang menjalankan ibadah Sholat di Masjid. Atau dengan kata lain, menurut pengakuan Beliau yang dituturkan kepada saya, Beliau adalah penganut Muslim Kejawen, yaitu perpaduan ajaran Agama Islam dengan  ajaran-ajaran budaya Jawa Kuno, atau banyak orang menyebutkan sebagai aliran Kebatinan Jawa.

Aliran ini memang banyak diaunut oleh beberapa masyarakat Jawa, khususnya bagi mereka yang masih kental memegang adat istiadat budaya Jawa, yang juga penuh dengan ritual-ritual yang dianggap suci untuk meluhurkan nama leluhur dan sang Pencipta.  Beberapa ritual yang masih sering saya lihat adalah seperti Upacara Sedekah Bumi, pemberian sesaji kepada pohon-pohon besar, meminta berkah di makam-makam para leluhur yang dianggap keramat, juga melakukan ritual pertapaan di sungai-sungai atau di gua-gua.

Ayahku ketika masih muda mungkin juga melakukan hal-hal seperti demikian, karena aku juga sempat ditunjukkan salah satu buku yang memberikan pedoman tentang puasa dan beberapa petunjuk-petunjuk ritual dari aliran yang dia anut dulu. Namun demikian jalan Tuhan berkata lain. Setelah beliau menikah dengan ibu saya sekitar 30 tahun yang lalu dengan cara Kristen, karena ibu saya memang berlatar belakang dari keluarga Kristen. Namun hal itu tidak serta merta mengubah kehidupan rohaninya, dan langsung menerima Yesus begitu saja.

Saya masih ingat ketika saya masih kecil, ketika kami masih tinggal di Kepulauan Karimun Jawa, dimana Ayah saya bekerja  sebagai PNS dan ditugaskan di Kepulauan tersebut. Di sana hanya ada sebuah Gereja  kecil yaitu Gereja GPdI Karimun Jawa, dengan jemaat hanya beberapa keluarga saja. Tiap kali pergi ke Gereja, hanya ibu saya saja yang berangkat, dengan mengajak saya dan adik saya. Ayah saya hanya mengantar sampai depan Gereja, setelah itu dia pulang.

Waktu itu, saya sama sekali  tidak pernah melihat ayah saya  untuk beribadah baik itu ke Masjid  tempat ibadah agama yang tertulis di KTP nya maupun ke Gereja tempat ia diberkati ketika menikah dengan ibu saya. Saya tidak tahu alasannya, mungkin karena malu atau mungkin pula hatinya belum terbuka, karena saya tahu, waktu itu Beliau masih menjalankan beberapa ritual yang kuanggap aneh pada waktu-waktu tertentu, seperti puasa mutih atau makan tanpa mengandung garam, dan semua yang dimakan harus berwarna putih, seperti nasi tanpa lauk pauk, buah ketimun, pisang atau buah bengkoang, pokoknya semua makanan yang berwarna putih dan tak bergaram.

Aktivitasnya pada setiap hari minggu setelah mengantar ibu saya ke Gereja, Beliau lebih memilih tinggal di rumah, dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutinitas seperti biasanya. Namun ayah saya sangat terbuka, jika diminta untuk membantu Gereja misalnya dalam hal kerja bakti atau mensuport pelayanan Pendeta disana, bahkan dia pernah memberikan satu motor buntutnya kepada Pendeta, guna mendukung pelayananan di jemaat yang jaraknya lumayan cukup jauh dari Kota Kecamatan Karimun Jawa, karena motor pendeta waktu itu rusak parah karena jatuh dan motor tersebut pun di jadikan sebagai motor oprasional Pendeta yang melayani Gereja GPdI Karimun Jawa.

Tentunya sebagai orang yang belum mengenal Kasih Tuhan Yesus, beliau masih memiliki sifat buruk. Yaitu sering marah-marah kepada ibu saya, dan memiliki sikap yang keras kepala. Serta bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri, apalagi cara mendidiku tentang agama pun, beliau sama sekali tidak tahu ia hanya menasehatiku tentang nilai-nilai kebajikan hidup seperti yang ia ketahui saja.


Pensiun dari Pekerjaan Dunia, dan Diterima Bekerja untuk Pekerjaan Surga.

Bulan Juli tahun 2007,  masa pengabdiannya sebagai PNS pun berakhir, seiring dengan usianya yang telah memasuki masa pensiun. Telah lama memang direncakan setelah pensiun untuk kembali ke kampung halaman ibuku di Wonogiri. Disana Ayah dan Ibu saya, akan mengisi masa tuanya dangan mencoba bertani mengolah lahan pertanian yang telah mereka beli sebelumnya dan sebagian lagi dari peninggalan Kakek saya.
Di tahun yang sama itu pula, pada bulan sebelumnya yaitu bulan Juni saya berpamitan untuk pergi merantau keluar dari pulau Jawa yaitu ke Kota Manado di pulau Sulawesi Utara, kota dimana saya tinggal sekarang. Waktu itu beliau masih tinggal di Karimun Jawa, dan pas ibadah hari Minggu, saya juga sempat memberikan kesaksian di gereja dan meminta dukungan doa kepada gembala dan jemaat di tempat itu untuk kepergian saya merantau, dan meminta dukungan doa untuk ayah dan adik tiri saya supaya dapat menerima Yesus sebagai Tuhan dan juru selamatnya.

Desember 2007, mendekati hari Natal, mereka memutuskan pindah  dari Kepulauan Karimun Jawa  ke sebuah desa di pinggiran Kota Wonogiri. Mulai dari sinilah rencana Tuhan bekerja dalam kehidupan Ayah saya. Dari semula yang sama sekali tidak mau diajak untuk pergi ke Gereja, kecuali pada saat Natal karena menghormati undangan yang diberikan kepadanya untuk hadir pada perayaan Natal. Namun di dilain itu, beliau tidak pernah mau ikut ibadah  disana.

Sekarang, mungkin beliaulah yang lebih rajin bila dibandingkan Ibu saya. Tidak hanya sekedar pergi beribadah ke Gereja saja, namun beliau juga sangat rajin mengikuti berbagai acara gereja seperti malam PA   (Pendalaman Alkitab), latihan koorr dll. Disamping itu yang membuat saya lebih bangga kepada Ayah saya adalah usahanya membaca dan mempelajari Alkitab lebih mendalam secara pribadi. Alkitab yang beliau sering baca adalah yang versi terjemahan ke dalam bahasa Jawa, karena mungkin yang versi terjemahan kedalam bahasa jawa tersebut lebih mudah untuk dipahami oleh beliau.

Di Baptis dan dipilih menjadi Majelis Gereja.

Ayah saya bersedia dibabtis pada Desember 2008 yang lalu, dan itu merupakan sebuah sukacita besar bagi keluarga kami. Terutama bagi Ibu saya, karena doa kami sekeluarga benar-benar di jawab oleh Tuhan. Tak hanya itu, kuasa Tuhan bekerja pada ayah saya. Pada pemilihan majelis gereja GKJ Pepantan Timang, pada Desember 2010 lalu, kebetulan pada waktu itu saya pulang kampung. Sehingga saya punya kesempatan melihat ayah saya dipilih dan ditahbiskan menjadi seorang majelis gereja. Ini memang bukan sebuah kebetulan, namun memang sudah rencana Tuhan. Padahal, waktu diminta oleh Pendeta dan tokoh-tokoh gereja di sana saat akan di calonkan, beliau sebenarnya keberatan dan tidak mau. Karena sebelumnya beliau tidak biasa tampil dan berbicara didepan umum, dan beliau pun sama sekali tidak pernah memimpin doa apalagi kotbah didepan jemaat. Namun entah kenapa, pada akhirnya ia meng iyakan tawaran tersebut.

Sekali lagi, kuasa Allah bekerja pada Ayah saya. Saat menjalani tugas pertamanya sebagai Majelis Gereja, dan diminta untuk menjadi imam yaitu mendoakan pemimpin ibadah atau yang membawa firman pada saat itu di ruang pastori. Tentu saja beliau jadi sedikit bingung, karena memang belum bisa berdoa sebagai mana para majelis yang lain. Sehingga pada jauh-jauh hari sebelum tugas itu datang, Ayah saya meminta Bulik (tante) saya yang juga mantan majelis untuk membuatkan sebuah doa secara tertulis, yang nanti akan dibacakan saat dia diminta untuk berdoa bagi pembawa firman.  Mungkin pada awal-awal pelayananannya, hal-hal tersebut akan selalu dia lakukan, karena memang belum berpengalaman sama sekali.

Hal yang menjadi sangat istimewa bagi kehidupan saya adalah, setiap kali saya pulang kampung. Saya selalu diajak berdiskusi tentang sebuah penggalan pasal dan ayat Alkitab yang dia baca. Ia selalu menyuruh saya, “coba kamu ambil Alkitab dan buka Kitab ini pasal sekian dan ayat sekian... , jika sudah kamu baca, coba menurut kamu apa yang dimaksud atau penjabaran ayat tersebut menurut kamu”  setelah saya menjelaskan dan menjabarkan menurut persepsi saya, kemudian ayah saya menjabarkan menurut persepsinya beliau. Terkadang jika ada sepupu atau saudara saya yang lain datang main kerumah, mereka juga ikut diajak mendiskusikan bersama tentang topik dari ayat-ayat Alkitab yang ayah saya temukan yang menurutnya menarik untuk dibahas.

Perbincangan mengenai isi Alkitab kadang-kadang juga terceplos saat Beliau sedang asik ngobrol dengan teman-temannya yang beragama lain. Seringkali tanpa sadar, beliau menyisipkan beberapa kalimat yang ia dapatkan dari Alkitab sebagai bahan obrolan, baik saat ketemu temen ngobrol di kebunya, maupun teman bercerita di tempat-tempat biasa ia berkumpul. Selain membicarakan mengenai masalah pertanian yang menjadi favoritnya. Hal ini pernah beberapa kali saya dengarkan secara langsung, saat beliau sedang ngobrol dengan salah satu tetangga saya yang berbeda agama saat ia sedang main kerumah kami, dan saya pernah konfirmasikan pula kepada ibu saya, dan ibu saya memang menyatakan demikian, bahwa ayah saya sering menyisipkan penggalan-penggalan isi Alkitab sebagai bahan obrolannya dengan teman-temannya.

Begitu pula saat beliau menasehati saya akan kehidupan saya, dan langkah-langkah yang harus saya lakukan untuk masa depan saya. Saat itu, Ia selalu menyisipkan ayat-ayat Alkitab dalam setiap wejangannya. Hal ini belum pernah saya dengar sebelumnya ketika saya masih kecil atau pada masa remaja dulu. Namun sekarang, saat kami sudah tumbuh dewasa, hal itu baru beliau lakukan saat ia telah mengenal dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan jurus selamatnya.

Beliau selalu menekankan kepada saya tentang penggalan salah satu ayat Alkitab yang cukup terkenal tentang cara mendapatkan kehidupan masadepan yang lebih baik. Seperti yang tertulis dalam Matius 6 : 33 yang berbunyi  “Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”.  Berulang-ulang Ayahku selalu menekankan kepadaku tentang ayat tersebut, baik pada saat saya pulang mudik di rumah, maupun saat saya berbicara lewat telephon yang rutin saya lakukan setiap minggu atau dua minggu sekali ketika berada di perantauan.

Setiap hari, beliau selalu bangun pada pukul 04.00 pagi, hal pertama yang ia lakukan adalah berdoa, kemudian menyalakan radio untuk mendengarkan siaran rohani yaitu renungan pagi. Sambil mendengarkan, ia selalu menyiapkan Alkitab dan sebuah alat tulis untuk mencatat khotbah yang dibawakan dari siaran radio tersebut. Diambil dari kitab mana, pasal dan ayat berapa, kemudian pokok-pokok isi khotbahnya yang dibawakan oleh Pengkotbah dalam renungan pagi disiaran radio itu. Setelah mendengarkan radio, ia menyalakan televisi untuk melihat siaran berita sejenak, kemudian bergegas menyiapkan diri untuk pergi ke kekebun, untuk melihat dan menyaingi rumput-rumput liar yang tumbuh diantara tanaman jagung atau tanaman kacang tanah yang telah ditanamnya, kemudian “ngarit” atau mencari rumput untuk makanan ternak kambing miliknya.

Sedangkan ibu saya, setelah doa pagi, ia lalu menyiapkan masakan didapur, setelah itu bersih-bersih rumah. Kemudian merawat kakek saya yang telah renta, dan sudah susah untuk berjalan karena pernah terkena stroke. Mungkin sekarang usianya telah memasuki  90 an tahun, sehingga perlu perlakuan khusus, seperti memandikannya, dan kemudian menyuapinya seperti merawat bayi. Sebenarnya masih ada Nenek saya, namun dia pun juga sudah tua dan sudah sedikit pelupa, serta sudah agak tuli. Terkadang ibu saya setelah selesai mengurusi Kakek saya, beliau  juga ikut menyusul ayah saya di kebun dengan membawakan makanan, untuk makan bersama di kebun.

Setelah hari menjelang siang atau sekitar pukul 10.00 -11.00, mereka kembali kerumah dengan membawa rumput untuk makanan kambing ternaknya, lalu istirahat. Jika sore atau malam hari, jika tidak ada acara di gereja atau acara kemasyarakatan lain, hiburan yang paling di sukai ayahku adalah membaca Alkitab, terkadang juga bersama ibuku, mereka sama-sama membaca di sofa ruang tamu rumahku.

Saya terkadang sangat sedih, karena kami anak-anaknya tinggal berada sangat jauh dari mereka. Saya ada di Manado di ujung utara pulau Sulawesi, sedangkan adik saya yang cowok setelah mendapatkan pekerjaan baru di perusahaan pengujian sampel hasil tambang, sekarang tinggal di Kolaka Sulawesi Tenggara, kemudian adik saya yang cewek tinggal bersama suaminya juga di Sulawesi Tenggara namun tinggal disebuah pulau lagi yang agak jauh dari kota Kendari.  Tidak setiap hari, tidak setiap minggu, dan tidak setiap bulan mungkin juga tidak setiap tahun kami dapat bertemu dan berkumpul dengan mereka. Hp adalah satu-satunya media yang membantu kami untuk masih bisa saling terhubung satu sama lain, meskipun hanya melalui komunikasi jarak jauh. Tapi lumayanlah bisa mengobati rasa kangen kepada mereka. Seandainya  saja mereka tau ber internet mungkin sudah tak ajak video chat dengan skype, atau pakai fb, tapi saya mereka benar-benar gaptek.

Kedua orang tuaku hanya tinggal berdua di rumah, dengan berbagai pergumulannya. Dulu ada si Coki anjing kesayangan kami yang menemani, namun sekarang telah mati diracun orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi mereka sebenarnya benar-benar kesepian.  Sedangkan kami anak-anaknya berjuang mencari kehidupan kami masing-masing ditempat lain,  ditanah perantauan, untuk berusaha menjadi manusia yang seutuhnya, meskipun belum berhasil seperti yang mereka harapkan, namun setidaknya kami  bisa mencari makan sendiri dari hasil kerja kami, tanpa menyusahkan mereka dan menyisihkan sedikit penghasilkan kami untuk dikirim kerumah, memberikan sesuatu yang jarang dapat kami lakukan kepada mereka tiap harinya.

Sebenarnya saya pun ingin segera memberikannya seorang atau dua orang cucu yang selalu ia tanyakan setiap kali saya bicara via telephon dengan ibu saya. Namun dunia asmaraku tak semudah yang mereka bayangkan. Tujuh tahun ku jalani kisah asmara dengan seseorang, namun pada akhirnya pun kandas di penghujung jalan, setelah "sikon" yang tidak memungkinkan untukku melamarnya, dan kini ia telah menemukan pria lain. Saat saya menulis tulisan ini, pada (10/10/2010) ia sedang melangsungkan pernikahannya. Sedangkan saya, masih harus mencari dan berusaha menemukan tambatan hati yang lain, yang benar-benar dari Tuhan, untuk menjadi ibu dari anak-anakku nanti, serta menjadi teman, sahabat dan patner dalam mengarungi suka dukanya arus kehidupan ini. 

Sedangkan kisah adik saya yang perempuan pun, hampir sama dengan ayah saya yang sebelumnya tidak mengenal Yesus sama sekali. Adik saya ini adalah adik angkat atau saudara tiri, namun kami sangat menyayanginya. Ia berasal dari suku Madura, dan penganut muslim yang keras. Waktu kecil, kami tidak mempunyai adik perempuan, sehingga orang tua kami mengabdopsi dari sebuah keluarga yang berasal dari Pulau Madura, yang dulu waktu pertama datang ke Karimun jawa, pernah terlantar didepan rumah kami dan orang tua saya yang menolongnya. Namun karena waktu itu kedua orang tua kandung dari adik saya tersebut, telah sakit parah dan beberapa bulan kemudian kedua orang tua kandung dari adik tiri saya tersebut meninggal dunia dikarenakan sakit. Menurut kabar dari seorang kerabat yang mereka tinggali di Karimun Jawa, kedua orang tua kandung dari adik saya ini telah di guna-guna oleh saudaranya yang ada di Madura, mungkin karena perselisihan keluarga, kami tidah tahu -menahu.

Kemudian kami mengapdopsi Iyah nama panggilan dari adik saya tersebut, waktu itu mungkin usianya sudah berumur antara 10 – 13 tahun, karena memang tidak ada catatan tertulis dan ia pun tidak tahu berapa usia yang sebenarnya. Pokoknya waktu itu ia sudah dimasukkan di kelas 2 SD.

Meski kami beragama Kristen, kami tidak pernah memaksanya untuk masuk ke agama kami. Ibu saya memberi kebebasan memilih, dan ia menjalankan ibadah seperti yang diwariskan oleh orang tua kandungnya. Ia sholat, pergi ke masjid dan menjalankan ibadah puasa seperti halnya pemeluk agama muslim lainnya. Kami mengajaknya ke gereja waktu perayaan natal saja, seperti halnya yang dilakukan ayah saya dahulu sebelum mengenal Yesus.

Pada suatu ketika, ia bertemu dengan seorang pria ber etnis Batak, dan beragama Kristen,  yang akhirnya mereka pun pacaran, kemudian memutuskan untuk menikah. Meskipun kami yang membersarkannya dari agama Kristen dan calon suaminya waktu itu juga beragama Kristen, namun ia tidak mau menikah dengan cara Kristen, dan kami pun memfasilitasi ia menikah dengan cara Muslim seperti yang ia mau. Sekali lagi kami tidak pernah memaksakan keyakinannya, hanya mendoakan saja akan jalan hidup kerohaniannya. Setelah menikah dan hidup bersama suaminya, tak pernah kami sangka sebelumnya ketika saya telephon, ia bercerita bahwa ia sudah masuk gereja dan saat ini telah belajar Alkitab. Saya hampir tidak percaya, namun beberapa kali ia mengirimkan sms yang isinya adalah firman Tuhan. Meskipun saat ini dia belum dibabtis, karena di tempat tinggal ia sekarang di sekitar Kendari, sangat susah didapati Gereja, namun setidaknya Tuhan Yesus sudah tinggal didalam hatinya.

Sungguh luar biasa Tuhan Yesus memperkenalkan diriNya kepada ayah dan adik saya, dan mengubah kehidupan kami. Terima kasih Tuhan Yesus, jadikanlah keluarga kami berkat bagi orang lain dan pakailah kami sabagai saksiMU untuk kemuliaan namaMU.



Tulisan ini saya dedikasikan untuk Ayah dan Adik saya, yang telah memilih Yesus sebagai Tuhan dan Juru selamatnya. Kiranya Tuhan selalu memberkati dan memakai mereka sebagai saksiNya.

Kamis, 17 November 2011

Pelayaran Pulang dari Pulau Siau, Berkesempatan singgah dari Pulau Ke Pulau (Part 3 - habis)

  Sambungan Part 2
Mengelilingi Pulau Siau dan Mengeksplore Keindangan Alamnya

Namanya backcaper, pasti selalu mencari yang ekonomis untuk bisa menjelajah seluas dan sejauh mungkin, untuk masalah akomodasi dan konsumsi, diusahakan pula kalo bisa mendapatkan gratis hehehe....

Dari kiri, Rio, Saya, Erwin dan Fanny 
Ya....., kami sangat beruntung, selama dua hari tinggal di Pulau Siau, teman kami Rio dan Jelly menerima kami dengan sangat baik. Selain menyediakan tempat untuk kami menginap, dan meminjamkan mobil dan motornya buat kami jalan-jalan, mereka juga menyediakan makanan buat kami.  Itulah sebabnya, kami selalu berdoa semoga keluarga baru ini semakin diberkati. 

Sebelum meninggalkan pelabuhan Ondong
Esoknya, 7 Oktober 2011 kami  harus kembali ke Manado dan berencana mau mencoba menaiki kapal cepat turbo jett Prima Oasis, yang harga tiket kelas ekonominya Rp. 125.000,-. Namun sayang, ternyata kapal ini banyak sekali peminatnya. Jika tidak pesan tiket pada jauh-jauh hari, mungkin tidak kebagian tiket. Karena rute kapal ini adalah dari Tahuna Kepulauan Sangihe  kemudian baru singgah ke Siau setelah itu mampir ke Tanggulandang, baru kemudian ke Manado. Jadi bisa saja sebelum sampai di Siau, penumpang dari Tahuna sudah berjubel.

Menikmati kelas VIP nya KMC Express Bahari
Karena tidak mendapatkan tiket kapal Turbo Jet Prima Oasis, maka terpaksa kami membeli tiket kapal cepat Express Bahari. Rencananya karena kami adalah seorang backcaper, jadi hanya mau membeli kelas ekonomi saja, dan uang tiket kami titipkan ke teman kami Rio karena agen penjualan tiketnya ada di dekat kantornya. Eee....ternyata dia mengupgrade tiket kami dari kelas ekonomi menjadi kelas VIP, diatasnya kelas exekutif. Meskipun tidak kesampaian naik kapal Prima Oasis, namun kami mendapatkan kelas paling prestisius di kapal Express Bahari.

Pukul 12 siang, kapal baru meninggalkan pelabuhan Ondong, saat keluar dari pelabuhan karena cuaca waktu itu kurang baik agak sedikit mendung dan  berombak. Sehingga kapal agak bergoyang. Namun meskipun saya mendapat tempat duduk paling nyaman di kapal ini, dengan ruangan khusus ber AC dan fasilitas TV paling besar serta mendapat pelayanan paling istimewa dibandingkan penumpang di kelas lain, namun sepanjang perlananan saya lebih banyak menghabiskan di luar, duduk di dek belakang yang terbuka sambil menikmati pemandangan gugusan pulau-pulau yang dilewati.

Meninggalkan perairan Pulau Siau
Jika menggunakan kapal cepat, jarak tempuh dari pulau Siau ke Pulau Tanggulandang hanya membutuhkan waktu satu jam. Ketika singgah di pulau Tanggulandang, pelabuhan yang digunakan tidak seperti waktu kami berangkat menggunakan kapal ferry.  Pelabuhan untuk kapal cepat berada di sebelah barat yang tepat berada di samping pulau Gunung Ruang, sedangkan pelabuhan ferry berada di sebelah timur pulau. Sehingga saya sudah melihat semua kondisi dan situasi pelabuhan yang ada di pulau itu, meskipun hanya dari atas kapal.

Pulau Gunung Api Ruang di sebrang Pulau Tanggulandang
Pulau Gunung Ruang yang tepat berada di depan pelabuhan, merupakan gunung Aktif yang dimiliki pulau Tanggulandang, dan pernah meletus dhasyat  pada beberapa tahun yang lalu. Bekas letusannya masih tampak jelas dengan melelehnya lahar panas yang telah membeku dari atas gunung sampai ke pantainya. Untuk sementara ini, gunung ruang tertidur kembali dan tidak ada aktivitas vulkaniknya, namun warga di pulau Tanggulandang masih perlu waspada jika sewaktu-waktu gunung ini terbangun dari tidur pulasnya.

Seperti biasa, setiap kali kapal singgah di pulau ini, maka  akan banyak ibu-ibu warga Pulau Tanggulandang yang menaiki kapal untuk menjajakan buah salak hasil kebunnya. Seperti yang telah dibahas pada bagian pertama dari kisah ku ini, pulau ini memang diberkati dengan hasil kebun salaknya. Sehingga oleh-oleh khas ketika dari Siau, selalu ditanya salak Tanggulandangnya.  Harganya pun cukup murah, apalagi jika kapal sudah mau berangkat, harganya bisa ditawar turun dua kali lipat dari harga penawaran awal.

Pelabuhan Kapal Cepat Pulau Tanggulandang
Setelah menaikan penumpang dari pulau Tanggulandang yang akan ke Manado, kapal pun berlayar kembali. Pada pelayarannya kali ini, kapal Express Bahari akan singgah lagi mengambil penumpang lagi di Pulau Biaro. Biasanya pada pelayaran regulernya, setelah dari Pulau Tanggulandang akan langsung menuju Manado, namun kali ini saya mendapatkan kesempatan langka. Karena kapal yang kami naiki akan mampir dulu ke Pulau Biaro. Perjalanan dari Tanggulandang ke Pulau Biaro tidak sampai memakan waktu 1 jam, mungkin hanya sekitar 30-40 menit.

Menginggalkan Perairan Pulau Tanggulandang
Ketika memasuki sebuah teluk Biaro untuk menuju pelabuhannya, banyak dari penumpang yang berada di kelas VIP dan Exekutif keluar di dek kapal untuk melihat lebih jelas pulau Biaro. Ternyata banyak orang yang berasal dari pulau Siau, belum pernah melihat langsung dari dekat pulau Biaro, biasanya mereka hanya melewatinya saja dari kejauhan ketika menuju Manado atau sebaliknya dengan menggunakan kapal. Jadi kami merasa beruntung, karena ini adalah pelayaran kami yang perdana, dan kami mendapatkan kesempatan langsung melihat secara dekat pulau Biaro.

Memasuki sebuah teluk di pelabuhan Pulau Biaro
Tampak pelabuhan pulau Biaro
Dari pelabuhan Biaro yang terlindung oleh sebuah teluk, tidak tampak terlihat rumah-rumah penduduknya. Mungkin rumah-rumah penduduk pulau Biaro berada di balik bukit dari pelabuhan ini. Pulau ini lebih kecil bila dibandingkan dengan pulau Siau atau pulau Tanggulandang, dan jumlah penduduknya pun lebih sedikit, dan nampaknya kondisi kesejahterannya tak seberuntung dengan warga dari dua pulau tadi.

Menaikan rombongan penumpang dari Pulau Biaro
Pulau Biaro tidak mempunyai gunung api, sehingga tanahnya tidak sesubur seperti tanah di Pulau Siau atau di Pulau Tanggulandang. Tidak ada komonditas perkebunan yang dihasilkan dari tanah pulau ini. Dari atas kapal saya melihat, lebih banyak hamparan rumput ilalang yang menutupi bukit-bukit dan beberapa pohon keras serta kelapa, namun tak serimbun dari kedua pulau yang ku datangi sebelumnya. Sehingga penduduknya hanya hidup dengan mengandalkan hasil tangkapan ikan saja.

Ternyata alasan kapal ini singgah ke pelabuhan Pulau Biaro adalah untuk mengambil rombongan penginjil yang nampaknya baru saja membuat acara KKR di pulau ini. Hanya sekitar 15 menit, setelah penumpang naik semua, kapal pun berlayar kembali menuju pelabuhan Manado.

Fanny in action, sepanjang pelayaran ini.
Sepanjang perlajanan, dek terbuka di belakang kapal masih menjadi tempat favorit saya dibandingkan kursi empuk di kelas VIP yang menjadi hak saya sebagai pemegang tiket kelas VIP. Di area terbuka itu, saya bisa melihat pemandangan diluar secara lebih luas dan bebas. Karena ketika kapal memasuki perairan Bitung, kapal akan melewati gugusan pulau-pulau seperti pulau Talise dan beberapa pulau lain, dan hamparan pesisir pantai dari tanah Sulawesi Utara.  Hingga akhirnya pukul 17.45 Wita atau pukul 6 kurang lima menit sore, kapal sudah bersandar di Pelabuhan Manado.

Demikianlah kisah perjalananku mengelilingi Kabupaten Kepulauan SITARO (Siau Tanggulandang Biaro) yang terlambat posting ini. Semoga memberi inspirasi untuk rencana travling anda.
Matur thankyu.

Minggu, 09 Oktober 2011

Mengelilingi Pulau Siau, dan mengeksplore keindahan alamnya. (Part 2)

Travling ala backcaper yang penuh kejutan ke Pulau Siau Kab. Kepulauan Sitaro

Bersandar di Pelabuhan Ulu
Pelabuhan Ulu
Tak terasa, kapal sudah bersandar di Pelabuhan Ulu, tepat pada pukul 9 pagi. Empunya mobil yang kami bawa yaitu si Rio sudah menunggu di pelabuhan. Setelah melakukan pembayaran ongkos angkut sekitar Rp. 800.000,- , kami pun segera turun dari kapal, bersamaan dengan mobil Mitsubihi Kuda yang kami bawa menuju tempat tinggal  Rio, yang tak jauh dari pelabuhan. Rio sendiri juga merupakan teman se Gereja di Manado, namun dia sudah bekerja di kantor Pegadaian dan ditugaskan di Ulu Siau dan sudah  dua tahun di pulau ini.

Pertokoan di Pusat Kota Ulu-Siau
Kota Ulu sendiri merupakan pusat kota bisnisnya pulau Siau, yang terlatak tepat berada di lereng gunung api Karangetan. Aktifitas bisnis disini sudah cukup lumayan rame, bahkan sudah ada toserba atau toko swalayannya, yaitu Happy Mart, yang baru saja dilounching pembukaannya pada tiga hari lalu sebelum kami datang kesana. Selain didominasi oleh toko kelontong yang menjual bahan bangunan, di Ulu banyak terdapat juga ruko-ruko pengumpul hasil bumi seperti biji dan fuli buah pala, yang merupakan komoditas andalan pulau ini. Rata-rata aktifitas bisnis perdagangan disini didominasi oleh etnis tionghoa, seperti layaknya aktifitas bisnis ditempat lain di Indonesia.

Gunung Karangetan, yang tak lelah beraktifitas.
Gunung Api Karangetan
 Gunung ini merupakan salah satu gunung berapi teraktif di dunia. Setiap hari selalu mengeluarkan larfa pijar. Dahulu katanya, gunung ini pernah meletus dhasyat pada beberpa puluh tahun yang lalu. Pada beberapa bulan lalu gunung Karangetan juga sempat melakukan aktivitas vulkanik dengan status awas, sehingga sempat menghawatirkan penduduk disekitarnya. Letusan-letusan kecil memang sering terjadi, dan tak terhitung jumlahnya.  Jika melewati pulau Siau akan menuju ke Pulau Sangihe atau pulau Talaud pada malam hari dengan menggunakan kapal, akan terlihat jelas luapan larva pijar yang yang menganga kemerahan yang dimuntahkan oleh gunung ini. Namun masyarakat yang tinggal di lereng gunung ini, sudah merasa biasa dengan aktivitas vulkanik yang ditimbulkannya. Bahkan masyarakat disini menganggap bahwa keberadaan gunung Karangetan adalah berkah tersendiri yang diberikan Tuhan kepada masyarakat di Siau, karena dengan adanya gunung ini, tanah di seluruh pulau ini menjadi subur dengan pupuk abu vulkaniknya.

Dua hari dua malam saya tinggal di Ulu, di rumah kontrakan teman kami Rio yang tinggal bersama istrinya Jelly, dan mereka adalah keluarga muda yang baru menikah pada beberapa bulan lalu. Saat hari pertama, sekitar pukul 5 pagi saya sudah bangun dan menikmati pagi di kota Ulu. Didepan rumah, jika kepala mengadah keatas, akan terlihat dengan jelas Gunung Karangetan tepat didepan kami tinggal. Biasanya kalau pagi hari belum ada awan yang menutupinya, sehingga saya puas menikmati keindahan dan keanggunan dari gunung ini. 

Mengelilingi Pulau Siau dengan modal motor pinjaman.
Kantor Bupati Sitaro di Ondong
Setelah sarapan pagi, saya mengajak Fanny untuk jalan-jalan menuju Ondong, dengan meminjam sepeda motornya Rio. Ondong adalah ibu kota Kabupaten Kepulauan Sitaro. Di Ondong inilah pusat pemerintahannya, disini terdapat bangunan Kantor Bupati dan kantor-kantor SKPD lain. Dari Ulu menuju Ondong hanya ditempuh kurang dari 30 menit, atau sekitar 7 Km dengan jalan beraspal hotsmix lebar hanya bisa dilalu dua kendaraan. Kondisi medan jalannya naik turun dan berkelok-kelok dengan sisi-sisinya tebing dan jurang yang dalam. Sehingga kami perlu berhati-hati, dalam membawa kendaraan. Di Ondong juga ada pelabuhan, yaitu pelabuhan Lehi. Biasanya kapal cepat Express Bahari dan KM. Quin Merry berlabuh di pelabuhan ini.
Jalan dari Ulu menuju ke Ondong
Setelah berputar-putar di Ondong, kami tidak kembali menggunakan jalan yang sama menuju Ulu, namun kami melanjutkan menelusuri jalan dari Ondong terus ke arah selatan. Kami tidak tahu, jalan ini nanti akan berujung dimana, karena rasa penasaran terus menuntun kami menelusuri jalan itu. Kondisi jalannya bagus namun lebih sempit, bila dibandingkan dari Ulu ke Ondong, dan medanya masih hampir sama yaitu naik  turun serta berkelok-kelok, namun kali ini melewati pesisir pantai.

Beberapa perkampungan telah kami lewati, dan sepanjang jalan dari rumah-rumah di perkampungan yang kami lewati tak ada satupun rumah reyot atau rumah-rumah papan dengan kondisi yang jelek. Hampir semua rumah penduduk terbuat dari tembok, dan rata-rata rumahnya bagus-bagus. Lantainya sudah berkeramik, dengan disain arsitekturnya yang semi modern. Dengan melihat bangunan-bangunan rumah penduduk yang bagus-bagus tersebut,  menandakan akan tingkat kesejahteraan masyarakat Pulau Siau yang sangat baik, bila dibandingkan dengan perkampungan ditempat lain yang pernah saya lewati.

Buah Pala sebagai sumber penghidupan utama.
Beberapa rumah yang kami lewati, di halaman rumahnya banyak yang sedang menjemur biji buah Pala dan fulinya. Ya... masyarakat disini memang diberkati dengan tanaman Pala yang kualitasnya nomer satu di dunia. Harga biji buah Pala untuk kualitas A dihargai antara Rp. 130.000 – Rp.150.000,- / kilonya, untuk kualitas dibawanya, antara Rp.80.000 sampai Rp.100.000 an lebih / kilonya. Jika pasaran turun, harganya tidak mati dibawah Rp.50.000,-/kilonya. Sedangkan fuli atau kulit ari yang menyelimuti biji pala, harganya lebih mahal. Perkilonya bisa tembus sampai Rp. 200.000 an. Sedangkan tiap pohon Pala, dapat dipanen setiap tiga bulan sekali, dan tanaman ini tidak mengenal musim, sehingga selalu ada buah pala yang dihasilkan dari pulau ini. Rata-rata per pohonnya bisa menghasilkan 2 – 3 karung besar buah Pala. Sedangkan kulit buahnya bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam produk makanan, seperti manisan, sirup, selai atau bisa juga dibuat wine pala. Bisa dibayangkan berapa keuntungannya yang didapat.

Itulah sebabnya, di kanan-kiri  jalan saat kami mengelilingi pulau ini, dipenuhi oleh pohon buah pala, dan ada juga tanaman cingkeh namun tidak sebanyak pohon buah pala. Jika didaerah lain si Sulawesi Utara komonditas kelapa menjadi komonditas utama, namun di pulau Siau tanaman kelapa malah kurang.

Meskipun tinggal didaerah kepulauan, namun aktivitas melaut atau profesi sebagai nelayan kurang diminati. Ini bisa dilihat, sepanjang jalan ketika saya menyusuri jalanan melewati perkampungan dipinggir pantai, tak ada kapal atau perahu nelayan yang tertambat ditepinya. Hanya beberapa perahu tradisional kecil saja, yang jumlahnya sangat sedikit. Dengan hasil pala yang begitu menggiurkan tersebutlah, profesi mencari ikan hanya dijadikan sebagai sampingan, bila dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di kepulauan lainya, yang menjadikan profesi nelayan sebagai profesi utama mata pencaharian mereka.

Harga BBM yang mencekik leher
Motor kami kendarai secara bergantian. Kami masih belum tahu ujung dari jalan yang kami lalui. Akhirnya ada sebuah warung, yang disitu juga menjual bensin eceran. Kami pun singgah untuk menambah bensin motor kami, karena ketika dari Ulu hanya mengisi satu liter saja, takutnya jalanan masih jauh dan kehabisan bensin dijalan. Harga bensin disini benar-benar mencikik leher, per liternya rata-rata dijual antara Rp.12.000,- s/d Rp.15.000,- /liter. Terkadang katanya, pas baru langka-langkanya BBM, harga bensin bisa tembus Rp.25.000,-/liter.  Jika dipikir, harga bensin disini jauh lebih mahal daripada di Pulau Sangihe dan di Pulau Talaud yang lebih jauh dari pusat pemerintahan Provinisi. Jika di Pulau Sangihe, tahun 2008 lalu waktu saya pergi kesana harga bensin eceran mahal-mahalnya antara Rp.6000,- s/d Rp.7000,- / liternya. Sedangkan di pulau Talaud harga bensin eceran berkisar Rp. 7000,- s/d Rp. 9000,- / liternya.

Di Pulau Siau ada satu pom bensin Pertamina, namun setiap kali pasokan BBM datang dari Bitung, langsung habis di penjual eceran yang telah mengantri lebih dahulu. Itulah sebabnya ongkos kendaraan umum disini juga lumayan mahal. Sekali jalan menggunakan angkot sekali naik rata-rata harus keluar Rp.5000,-  jika jaraknya lebih jauh tentu saja lebih mahal. Angkota yang digunakan disni adalah mobil pickup yang sudah dipasang kap belakang, dan rata-rata dimodifikasi dengan dipasang sound system yang lengkap. Sehingga sepanjang perjalanan angkota itu beroprasi, selalu full dengan musik, dengan suara yang keras.

Tembus di Pelabuhan Sawang
Setelah bertanya kepada penjual warung akan ujung dari jalan yang kami lalui, katanya nanti kalau kami terus berjalan mengikuti jalan itu akan tembus di Sawang dan dari Sawang bisa langsung tembus kembali ke Ulu. Dari situ hati kami sudah tenang, karena pasti bisa kembali ke Ulu melalui jalan ini. Dari tempat kami bertanya, menuju ke Pelabuhan Ulu ternyata sudah tidak terlalu jauh. Hanya beberapa tanjakan dan melewati hutan pala, kemudian turun menyusuri jalan pesisir pantai lagi dan langsung dapat kelihatan teluk Ulu dan pelabuhan Sawang. Di Pulau Siau ini memang ada tiga pelabuhan yaitu Pelabuhan Ulu, ini adalah pelabuhan pertama yang sekarang baru dalam tahap perbaikan, kemudian pelabuhan Ondong di desa Lehi, dan terakhir adalah pelabuhan Sawang.

Terlihat pelabuhan Sawang dan teluk Ulu
Pelabuhan Sawang ini, biasanya disinggahi oleh kapal turbo jet Prima Oasis, dan kapal KM. Victory. Di situ juga terdapat pelabuhan kapal Ferry, namun ternyata KMP. Lokongbuana lebih suka berlabuh di pelabuhan Ulu karena lebih dekat dengan pusat bisnisnya.

Kapal Turbo Jett Prima Oasis sedang berlabuh sejenak menaikan penumpang di Pelabuhan Sawang
Dari Sawang menuju Ulu, sudah tidak jauh lagi. Hanya beberapa kilo meter saja kami tempuh dengan motor. Sebenarnya setelah sesampai di Ulu, kami akan melanjutkan pergi ke Kalarung, yaitu daerah bagian timur dari pulau Siau, tapi gara-gara jembatan yang baru diperbaiki dan karena perut kami sudah keroncongan akhirnya kami malas untuk mencari jalan alternatif lain, untuk pergi ke Kalarung. Namun malam harinya, akhirnya kami sempat pergi kesana dengan menggunakan mobil. Dengan maksud memancing ikan di pantai Kalarung. Dikarenakan pada waktu itu air laut sedang surut, setelah beberapa kali kail kami lemparkan dan tak ada jawaban dari ikan disana, akhirnya kami pindah mengail di pelabuhan sawang, dan hanya dapat ikan-ikan kecil yang jumlahnya hanya beberapa ekor saja.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...