Minggu, 15 Januari 2012

Mitos Air Terjun Gerojokan Sewu Tawang Manggu Itu, Ternyata Benar-Benar Terjadi.

Tawang Mangu adalah sebuah kota kecil terletak di bawah lereng Gunung Lawu,  yang merupakan salah satu dari gunung tertinggi di Indonesia. Kota ini merupakan andalan dari kabupaten Karanganyar Jawa Tengah sebagai salah satu tempat tujuan wisata yang paling  banyak dikunjungi oleh wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Karena potensi keindahan alamnya dengan suasana alam pegunungan yang indah dan berudara sejuk,  serta di sini juga terdapat beberapa situs-situs wisata alam yang tak dimiliki oleh kota-kota lain di Indonesia.

Untuk mencapai kota ini cukuplah mudah, dari terminal bus Tirtonadi Solo hanya diperlukan waktu sekitar 3 jam dengan ongkos sekitar Rp. 7000,-/ orang sampai di terminal bus Tawang Mangu. Dari terminal bus Tawang Mangu bila ingin berkeliling kota, ada angkuta umum atau bisa juga dengan menunggangi kuda, karena di kawasan Tawang Mangu banyak sekali penduduk lokal yang menyewakan kudanya untuk berkeliling kota.

Salah satu icon yang paling menarik dan yang paling menjadi alasan orang-orang dari berbagai daerah untuk mengunjungi kota ini adalah,  adanya sebuah tempat wisata alam berupa  air terjun yang diberi nama “Gerojokan Sewu”. Dalam bahasa jawa kata “Gerojokan” artinya adalah air terjun atau water fall jika dalam bahasa inggris. Sedangkan kata “Sewu” berarti seribu.  Namun secara harafiahnya, Gerojokan Sewu disini bukan berarti Air terjun ini jumlahnya ada seribu buah, mungkin hanya menghiperbolakan saja akan ketinggian dari air terjun ini  yang diperkirakan ketinggiannya sekitar 80 m yang merupakan air terjun tertinggi di Jawa Tengah. Sedang untuk mencapainya kita harus menuruni sekitar 1000 an anak tangga, sehingga “mungkin” dengan alasan itulah, air terjun ini diberi nama gerojokan sewu.

Selama menuruni anak tangga untuk menuju air terjunnya, kita akan disambut dan ditemani oleh ratusan monyet ekor panjang yang merupakan penghuni tetap tempat ini.  Itulah sebabnya disarankan, jika ingin berkunjung kesana untuk membawa makanan ringan untuk dibagikan kepada monyet-monyet tersebut. Mereka memang tampak kelihatan jinak, mungkin karena sudah terbiasa dengan para pengunjung, dan tak segan-segan mereka mendekati pengunjung untuk meminta makanan yang dibawanya. Namun harus berhati-hati pula jika menaruh tas atau barang-barang yang menarik perhatian, karena mereka bisa saja mengambil untuk dibawa naik diatas pohon dan tidak mau mengembalikannya.

Sesampai ditempat air terjunnya, kita akan disuguhkan oleh pemandangan yang sungguh sangat luar biasa. Kucuran air yang jatuh dari ketinggian sekitar 80 m lebih itu membuat suara gemuruh, dengan percikan air yang membentuk kabut tipis, dan dengan bantuan pantulan sinar matahari, maka akan terbentuk sebuah pelangi yang indah dengan latar belakang hutan pinus yang lebat. Diantara terjal dan licinnya batu-batu besar yang ada didekat lokasi jatuhnya air terjun, banyak sekali pengunjung yang sengaja membasahkan diri untuk merasakan jernih dan dinginnya air dari kucuran grojokan sewu tersebut.

Tak jauh dari lokasi jatuhnya air terjun, terdapat sebuah jembatan yang menghubungkan sisi kanan dan sisi kiri dari komplek lokasi wisata air terjun Gerojogan Sewu yang dipisahkan oleh aliran sungai kecil dari air terjun tersebut. Jika pengunjung ingin ke sebrang, maka harus melewati jembatan kecil ini.   Namun dibalik eksotiknya tempat ini, tersimpan sebuah mitos atau misteri yang  sangat ditakutkan khususnya bagi para pasangan kekasih yang sedang menjalin hubungan cinta, atau sedang berpacaran.  Mitos ini sebenarnya sudah sangat terkenal di tanah jawa, bagi yang percaya mungkin akan menghindar untuk menjadikan tempat ini sebagai tempat berpacaran. Namun bagi yang tidak percaya akan mitos ini, banyak pula pasangan kekasih yang menjadikan tempat ini sebagai lokasi menjalin kasih bagi mereka.

Mitos dari Gerojokan Sewu ini adalah “apabila sepasang kekasih datang ketempat ini untuk berpacaran lalu menyebrang melalui jembatan tersebut,  maka hubungannya tidak akan lama atau mungkin akan putus dan tidak akan sampai di pelaminan”.

Saya mungkin salah satu orang yang tidak percaya akan mitos tersebut, pada 1 Oktober 2006, saya mengajak pacar (lebih tepatnya mantan karena sekarang sudah menjadi istri orang lain hehehe..) untuk datang ketempat ini. Namun kami tidak datang sendiri, saya mengajak pula teman-teman yang satu rumah kontrakan dengan saya di Salatiga untuk pergi rekreasi bersama ke lokasi ini, dengan menyewa sebuah mobil Avanza. Kebetulan memang tujuan kami kesana adalah untuk menyenangkan pacar saya yang pada waktu itu, adalah merupakan hari-hari terakhirnya di jawa karena dia telah menyelesaikan masa studinya di salah satu Perguruan Tinggi ternama di Kota Salatiga dan akan kembali ke tempat asalnya di Sulawesi Tengah. Saya tidak hanya satu kali itu saja mengunjungi tempat ini, sebelum-sebelumnya saya sering berekreasi ke tempat ini bersama keluarga maupun teman-teman karang taruna di tempat asal  saya.

Selama satu hari full, kami menghabiskan waktu ditempat ini, bercanda bersama, main air sampai basah kuyup, dan bahkan berfoto diatas jembatan keramat bersama monyet-monyet lucu yang selalu mengikuti kami dengan latar belakang air terjun itu sendiri. Selain di Gerojokan Sewu, kami juga mengunjungi tempat-tempat lain yang ada disekitar Kota Tawang Mangu, termasuk di Danau Sarangan, yaitu danau buatan jaman Belanda yang ada di Kab. Magetan Jawa Timur  dan dapat ditempuh sekitar 30 menit dari pusat kota Tawang Mangu.  Karena sebenarnya Tawang Mangu merupakan kota perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sepulang dari sana, satu minggu kemudian Pacar (mantan) saya harus berangkat pulang menuju daerah asalnya di Sulawesi Tengah dengan menggunakan kapal laut. Saya dengan sedih terpaksa mengantarkan kepergiannya di pelabuhan Tanjung Mas Semarang bersama teman-temannya. Tetesan air mata tak kuasa kami bendung, pelukan perpisahan seakan tak ingin kami lepaskan. Padahal pada waktu itu, hubungan kami sudah berjalan sekitar satu tahun lebih. Namun apa boleh buat, saya juga tak kuasa untuk menahanya tinggal lebih lama, karena ia harus menemani ibunya yang seorang diri disana. Meski saat itu kami telah dipisahkan oleh jarak yang begitu jauh, namun hubungan kami  masih terus berjalan normal, meski hanya suaranya saja yang dapat kudengar via hp buntutku, namun setidaknya itu sudah bisa sedikit mengobati rasa rindu kami berdua, dan kami berusaha untuk mematahkan mitos dari gerojokan sewu tersebut.

Tak menutup kemungkinan pula, jika keraguan dan kebosanan menjadi cobaan dan godaan yang terus menghantui hubungan kami, karena apakah kami masih bisa dipertemukan kembali atau tidak, karena pengaruh jarak ini. Itulah pertanyaan yang kerap kali muncul dalam benak kami. Namun tak disangka setelah hampir satu tahun kemudian, saya diterima bekerja di salah satu NGO di Manado Sulawesi Utara yang notabene merupakan daerah asal keluarga besarnya. Harapan baru pun kembali menyemangati hubungan kami, untuk perlahan-lahan membunuh keraguan yang ada. Itu berarti saya ada harapan untuk dapat bertemu dengannya lagi, dan itu benar-benar terbukti. Satu bulan saya di Manado, saya akhirnya bisa melepas rindu yang lama terpendam dengannya. Waktu itu ia telah berprofesi sebagai guru honorer dengan mengajar di tiga sekolah sekaligus, sehingga waktu liburan sekolah, ia bisa pergi mengunjungi keluarga besarnya di sebuah desa kecil penghasil buah salaknya yang manis dari salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Utara. Kesempatan seperti itulah yang kerap kali kami manfaatkan, untuk saling bertemu lagi. 

Hampir tiap tahun, kami hanya dipertemukan saat dia sedang liburan. Namun sayangnya, saya belum sempat mengunjungi tempat kediamannya di Sulawesi Tengah. Sebab setiap kali saya ada waktu liburan, namun disaat bersamaan saya mendapat tugas menghadiri acara dari kantor ke Jakarta. Setelah  acara kantor baru saya memperoleh liburan, tentu saja saya mengambil waktu tersebut untuk sekalian mengunjungi orang tua saya di kampung, mumpung sudah ada di Jawa.   

Biarpun saya sudah berada di satu daratan yang sama dengan dia, yaitu sama-sama di Sulawesi. Namun ternyata kendala jarak dan waktu masih tetap menjadi kendala utama dari hubungan kami. Jarak antara Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara ternyata masih begitu jauh, dan medanya tak seperti jalan-jalan di Jawa. Dari tempatku ke tempatnya, memakan waktu tiga hari perjalanan darat, dan jika menggunakan kapal laut dapat ditempuh sekitar dua hari. Jika menggunakan Pesawat, tiketnya jauh lebih mahal daripada pergi ke Jawa.  Meski hubungan kami sering pasang surut, namun kami tetap mencoba bertahan untuk dapat mematahkan mitos tersebut.

Berbagai ujian dan godaan setelah saya tinggal di Manado lumayan cukup besar. Tak perlu diperjelas lagi mengenai godaan bagi kaum adam di Manado. Yups... betul sekali... cewek-ceweknya di kota ini dapat meruntuhkan keteguhan hati untuk kata setia, karena  secara fisik banyak yang lebih cantik, seksi dan berani bila dibandingkan dengan mantan saya. Untuk beberapa kali saya hampir sempat terjatuh oleh godaan-godaan tersebut, namun pada akhirnya saya masih bisa mempertahankan hubungan ini, meski begitu amat sulit dengan berbagai tawaran-tawaran cinta yang lebih menggiurkan, apalagi sebagai seorang pendatang yang jauh dari kekasih seperti saya.  

Cobaan lain tentang masalah perbedaan selera rohani dari dominasi gereja kami yang berbeda pun, meskipun melalui pertentangan dan perdebatan yang lumayan alot dengan ibunya, namun demi untuk mempertahankan hubungan ini, saya sudah sedia untuk mengalah untuk mengikuti seleranya. Namun ada satu hal yang menjadi batu sandungan yang tak bisa ku lewati adalah, dengan mendapatkan pekerjaan ditempatnya dia tinggal yaitu di Sulawesi Tengah. Saya sudah mencoba mendapatkan informasi lowongan pekerjaan secara online untuk lokasi disana, namun sangat minim sekali yang sesuai dengan kualifikasi yang saya miliki, namun ada beberapa yang saya tindak lanjuti untuk mengirimkan berkas lamaran saya, namun ternyata belum ada balasannya. Karena saya tidak berhasil mendapatkan pekerjaan di sana inilah, yang menjadi alasan utama, dan memaksa dia untuk mengambil sebuah  keputusan yang mungkin begitu berat baginya.

Dalam keputus asaan dan kebimbangan, serta dari akumulasi berbagai putaran setan masalah yang kami hadapi, didukung dengan pada saat yang sama, saya sedang menghadapi persoalan kehidupan yang menyudutkan saya untuk kehilangan posisi tawar yang kuat darinya.  Maka disaat bersamaan pula, cinta lain pun datang menghampirinya dengan kemasan yang jauh lebih menarik dari pada saya saat itu, dan jauh lebih dari kemapanan dan kesiapan yang mungkin diidamkan olehnya. Tentu saja saya harus terpaksa mengiklaskannya, meski dengan hati yang berat dan penuh penyesalan. Namun apa boleh buat, alasan yang penting dia bahagia pun, mengiringi ketidak mampuanku mendapatkan dia seutuhnya, dan merelakan dia bersama orang lain yang merupakan orang lokal dari tempatnnya ia tinggal. Meski dalam hati kecil ada ketidak relaan untuk melepasnya.

Tak terasa waktu telah begitu cepat berlalu, tujuh tahun sudah kami bergulat pada hubungan cinta yang rumit yang hanya berputar-putar pada persoalan yang sama yang tak dapat kami temukan ujung pangkal penyelesaiannya.  Akhirnya dipenghujung bulan Maret 2011, dengan segala kepedihan dan penyesalan kami berdua resmi mengakhiri kisah ini secara baik-baik, dan dengan lapang dada. Hingga kemudian pada pertengahan November 2011 lalu, ia  memberi kabar akan hari pernikahannya. Meski hati teriris, namun itulah sebuah kenyataan, dan hanya doa yang dapat kusampaikan,  “semoga  berbahagia”.

Hingga pada pertengahan Januari 2011, ternyata saya baru ingat dan menyadari bahwa sekitar 6 tahun lalu, saya pernah mengajaknya menyebrangi jembatan air terjun Gerojokan Sewu Tawang Mangu, yang katanya magis tersebut. Entah itu benar gara-gara hal itu atau tidak, namun pada kenyataannya mitos tersebut benar-benar terjadi pada hubungan kami.

Hmmm..... jadi kapok deh pacaran disitu lagi.. :(

Nb : No Hoax... picture gak bisa ditampilkan, karena sudah bukan haknya hehe

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...