Minggu, 09 Oktober 2011

Mengelilingi Pulau Siau, dan mengeksplore keindahan alamnya. (Part 2)

Travling ala backcaper yang penuh kejutan ke Pulau Siau Kab. Kepulauan Sitaro

Bersandar di Pelabuhan Ulu
Pelabuhan Ulu
Tak terasa, kapal sudah bersandar di Pelabuhan Ulu, tepat pada pukul 9 pagi. Empunya mobil yang kami bawa yaitu si Rio sudah menunggu di pelabuhan. Setelah melakukan pembayaran ongkos angkut sekitar Rp. 800.000,- , kami pun segera turun dari kapal, bersamaan dengan mobil Mitsubihi Kuda yang kami bawa menuju tempat tinggal  Rio, yang tak jauh dari pelabuhan. Rio sendiri juga merupakan teman se Gereja di Manado, namun dia sudah bekerja di kantor Pegadaian dan ditugaskan di Ulu Siau dan sudah  dua tahun di pulau ini.

Pertokoan di Pusat Kota Ulu-Siau
Kota Ulu sendiri merupakan pusat kota bisnisnya pulau Siau, yang terlatak tepat berada di lereng gunung api Karangetan. Aktifitas bisnis disini sudah cukup lumayan rame, bahkan sudah ada toserba atau toko swalayannya, yaitu Happy Mart, yang baru saja dilounching pembukaannya pada tiga hari lalu sebelum kami datang kesana. Selain didominasi oleh toko kelontong yang menjual bahan bangunan, di Ulu banyak terdapat juga ruko-ruko pengumpul hasil bumi seperti biji dan fuli buah pala, yang merupakan komoditas andalan pulau ini. Rata-rata aktifitas bisnis perdagangan disini didominasi oleh etnis tionghoa, seperti layaknya aktifitas bisnis ditempat lain di Indonesia.

Gunung Karangetan, yang tak lelah beraktifitas.
Gunung Api Karangetan
 Gunung ini merupakan salah satu gunung berapi teraktif di dunia. Setiap hari selalu mengeluarkan larfa pijar. Dahulu katanya, gunung ini pernah meletus dhasyat pada beberpa puluh tahun yang lalu. Pada beberapa bulan lalu gunung Karangetan juga sempat melakukan aktivitas vulkanik dengan status awas, sehingga sempat menghawatirkan penduduk disekitarnya. Letusan-letusan kecil memang sering terjadi, dan tak terhitung jumlahnya.  Jika melewati pulau Siau akan menuju ke Pulau Sangihe atau pulau Talaud pada malam hari dengan menggunakan kapal, akan terlihat jelas luapan larva pijar yang yang menganga kemerahan yang dimuntahkan oleh gunung ini. Namun masyarakat yang tinggal di lereng gunung ini, sudah merasa biasa dengan aktivitas vulkanik yang ditimbulkannya. Bahkan masyarakat disini menganggap bahwa keberadaan gunung Karangetan adalah berkah tersendiri yang diberikan Tuhan kepada masyarakat di Siau, karena dengan adanya gunung ini, tanah di seluruh pulau ini menjadi subur dengan pupuk abu vulkaniknya.

Dua hari dua malam saya tinggal di Ulu, di rumah kontrakan teman kami Rio yang tinggal bersama istrinya Jelly, dan mereka adalah keluarga muda yang baru menikah pada beberapa bulan lalu. Saat hari pertama, sekitar pukul 5 pagi saya sudah bangun dan menikmati pagi di kota Ulu. Didepan rumah, jika kepala mengadah keatas, akan terlihat dengan jelas Gunung Karangetan tepat didepan kami tinggal. Biasanya kalau pagi hari belum ada awan yang menutupinya, sehingga saya puas menikmati keindahan dan keanggunan dari gunung ini. 

Mengelilingi Pulau Siau dengan modal motor pinjaman.
Kantor Bupati Sitaro di Ondong
Setelah sarapan pagi, saya mengajak Fanny untuk jalan-jalan menuju Ondong, dengan meminjam sepeda motornya Rio. Ondong adalah ibu kota Kabupaten Kepulauan Sitaro. Di Ondong inilah pusat pemerintahannya, disini terdapat bangunan Kantor Bupati dan kantor-kantor SKPD lain. Dari Ulu menuju Ondong hanya ditempuh kurang dari 30 menit, atau sekitar 7 Km dengan jalan beraspal hotsmix lebar hanya bisa dilalu dua kendaraan. Kondisi medan jalannya naik turun dan berkelok-kelok dengan sisi-sisinya tebing dan jurang yang dalam. Sehingga kami perlu berhati-hati, dalam membawa kendaraan. Di Ondong juga ada pelabuhan, yaitu pelabuhan Lehi. Biasanya kapal cepat Express Bahari dan KM. Quin Merry berlabuh di pelabuhan ini.
Jalan dari Ulu menuju ke Ondong
Setelah berputar-putar di Ondong, kami tidak kembali menggunakan jalan yang sama menuju Ulu, namun kami melanjutkan menelusuri jalan dari Ondong terus ke arah selatan. Kami tidak tahu, jalan ini nanti akan berujung dimana, karena rasa penasaran terus menuntun kami menelusuri jalan itu. Kondisi jalannya bagus namun lebih sempit, bila dibandingkan dari Ulu ke Ondong, dan medanya masih hampir sama yaitu naik  turun serta berkelok-kelok, namun kali ini melewati pesisir pantai.

Beberapa perkampungan telah kami lewati, dan sepanjang jalan dari rumah-rumah di perkampungan yang kami lewati tak ada satupun rumah reyot atau rumah-rumah papan dengan kondisi yang jelek. Hampir semua rumah penduduk terbuat dari tembok, dan rata-rata rumahnya bagus-bagus. Lantainya sudah berkeramik, dengan disain arsitekturnya yang semi modern. Dengan melihat bangunan-bangunan rumah penduduk yang bagus-bagus tersebut,  menandakan akan tingkat kesejahteraan masyarakat Pulau Siau yang sangat baik, bila dibandingkan dengan perkampungan ditempat lain yang pernah saya lewati.

Buah Pala sebagai sumber penghidupan utama.
Beberapa rumah yang kami lewati, di halaman rumahnya banyak yang sedang menjemur biji buah Pala dan fulinya. Ya... masyarakat disini memang diberkati dengan tanaman Pala yang kualitasnya nomer satu di dunia. Harga biji buah Pala untuk kualitas A dihargai antara Rp. 130.000 – Rp.150.000,- / kilonya, untuk kualitas dibawanya, antara Rp.80.000 sampai Rp.100.000 an lebih / kilonya. Jika pasaran turun, harganya tidak mati dibawah Rp.50.000,-/kilonya. Sedangkan fuli atau kulit ari yang menyelimuti biji pala, harganya lebih mahal. Perkilonya bisa tembus sampai Rp. 200.000 an. Sedangkan tiap pohon Pala, dapat dipanen setiap tiga bulan sekali, dan tanaman ini tidak mengenal musim, sehingga selalu ada buah pala yang dihasilkan dari pulau ini. Rata-rata per pohonnya bisa menghasilkan 2 – 3 karung besar buah Pala. Sedangkan kulit buahnya bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam produk makanan, seperti manisan, sirup, selai atau bisa juga dibuat wine pala. Bisa dibayangkan berapa keuntungannya yang didapat.

Itulah sebabnya, di kanan-kiri  jalan saat kami mengelilingi pulau ini, dipenuhi oleh pohon buah pala, dan ada juga tanaman cingkeh namun tidak sebanyak pohon buah pala. Jika didaerah lain si Sulawesi Utara komonditas kelapa menjadi komonditas utama, namun di pulau Siau tanaman kelapa malah kurang.

Meskipun tinggal didaerah kepulauan, namun aktivitas melaut atau profesi sebagai nelayan kurang diminati. Ini bisa dilihat, sepanjang jalan ketika saya menyusuri jalanan melewati perkampungan dipinggir pantai, tak ada kapal atau perahu nelayan yang tertambat ditepinya. Hanya beberapa perahu tradisional kecil saja, yang jumlahnya sangat sedikit. Dengan hasil pala yang begitu menggiurkan tersebutlah, profesi mencari ikan hanya dijadikan sebagai sampingan, bila dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di kepulauan lainya, yang menjadikan profesi nelayan sebagai profesi utama mata pencaharian mereka.

Harga BBM yang mencekik leher
Motor kami kendarai secara bergantian. Kami masih belum tahu ujung dari jalan yang kami lalui. Akhirnya ada sebuah warung, yang disitu juga menjual bensin eceran. Kami pun singgah untuk menambah bensin motor kami, karena ketika dari Ulu hanya mengisi satu liter saja, takutnya jalanan masih jauh dan kehabisan bensin dijalan. Harga bensin disini benar-benar mencikik leher, per liternya rata-rata dijual antara Rp.12.000,- s/d Rp.15.000,- /liter. Terkadang katanya, pas baru langka-langkanya BBM, harga bensin bisa tembus Rp.25.000,-/liter.  Jika dipikir, harga bensin disini jauh lebih mahal daripada di Pulau Sangihe dan di Pulau Talaud yang lebih jauh dari pusat pemerintahan Provinisi. Jika di Pulau Sangihe, tahun 2008 lalu waktu saya pergi kesana harga bensin eceran mahal-mahalnya antara Rp.6000,- s/d Rp.7000,- / liternya. Sedangkan di pulau Talaud harga bensin eceran berkisar Rp. 7000,- s/d Rp. 9000,- / liternya.

Di Pulau Siau ada satu pom bensin Pertamina, namun setiap kali pasokan BBM datang dari Bitung, langsung habis di penjual eceran yang telah mengantri lebih dahulu. Itulah sebabnya ongkos kendaraan umum disini juga lumayan mahal. Sekali jalan menggunakan angkot sekali naik rata-rata harus keluar Rp.5000,-  jika jaraknya lebih jauh tentu saja lebih mahal. Angkota yang digunakan disni adalah mobil pickup yang sudah dipasang kap belakang, dan rata-rata dimodifikasi dengan dipasang sound system yang lengkap. Sehingga sepanjang perjalanan angkota itu beroprasi, selalu full dengan musik, dengan suara yang keras.

Tembus di Pelabuhan Sawang
Setelah bertanya kepada penjual warung akan ujung dari jalan yang kami lalui, katanya nanti kalau kami terus berjalan mengikuti jalan itu akan tembus di Sawang dan dari Sawang bisa langsung tembus kembali ke Ulu. Dari situ hati kami sudah tenang, karena pasti bisa kembali ke Ulu melalui jalan ini. Dari tempat kami bertanya, menuju ke Pelabuhan Ulu ternyata sudah tidak terlalu jauh. Hanya beberapa tanjakan dan melewati hutan pala, kemudian turun menyusuri jalan pesisir pantai lagi dan langsung dapat kelihatan teluk Ulu dan pelabuhan Sawang. Di Pulau Siau ini memang ada tiga pelabuhan yaitu Pelabuhan Ulu, ini adalah pelabuhan pertama yang sekarang baru dalam tahap perbaikan, kemudian pelabuhan Ondong di desa Lehi, dan terakhir adalah pelabuhan Sawang.

Terlihat pelabuhan Sawang dan teluk Ulu
Pelabuhan Sawang ini, biasanya disinggahi oleh kapal turbo jet Prima Oasis, dan kapal KM. Victory. Di situ juga terdapat pelabuhan kapal Ferry, namun ternyata KMP. Lokongbuana lebih suka berlabuh di pelabuhan Ulu karena lebih dekat dengan pusat bisnisnya.

Kapal Turbo Jett Prima Oasis sedang berlabuh sejenak menaikan penumpang di Pelabuhan Sawang
Dari Sawang menuju Ulu, sudah tidak jauh lagi. Hanya beberapa kilo meter saja kami tempuh dengan motor. Sebenarnya setelah sesampai di Ulu, kami akan melanjutkan pergi ke Kalarung, yaitu daerah bagian timur dari pulau Siau, tapi gara-gara jembatan yang baru diperbaiki dan karena perut kami sudah keroncongan akhirnya kami malas untuk mencari jalan alternatif lain, untuk pergi ke Kalarung. Namun malam harinya, akhirnya kami sempat pergi kesana dengan menggunakan mobil. Dengan maksud memancing ikan di pantai Kalarung. Dikarenakan pada waktu itu air laut sedang surut, setelah beberapa kali kail kami lemparkan dan tak ada jawaban dari ikan disana, akhirnya kami pindah mengail di pelabuhan sawang, dan hanya dapat ikan-ikan kecil yang jumlahnya hanya beberapa ekor saja.


Sabtu, 08 Oktober 2011

Travling ala backcaper yang penuh kejutan, ke Pulau Siau Kab. Kepulauan Sitaro. (part 1)


Melengkapi kisah penjejakanku di Sulawesi Utara, tinggal Kabupaten Kepulauan SITARO yang belum pernah aku jejaki. Kata SITARO sendiri merupakan kepanjangan dari Siau, Tanggulandang dan Biaro, karena Kabupaten yang baru dimekarkan dari Kab. Kepulauan Sangihe tahun 2007 ini memiliki tiga gugusan pulau besar tersebut diatas yang merupakan wilayah administratifnya.
Map Kabupaten Kepulauan Sitaro

Berikut adalah foto satelit dari ketiga gugusan pulau tersebut :

Pulau Siau


Pulau Tanggulandang


Pulau Biaro

Kabupaten SITARO letaknya masih lumayan cukup dekat dengan Ibu kota Provinisi Sulut, jika dibandingkan dengan ke Kab. Kepulauan Sangihe atau ke Kab. Kepulauan Talaud. Untuk ke Sitaro atau lebih tepatnya ke Pulau Siau yang merupakan pulau terbesar, dapat ditempuh dengan menggunakan kapal. Tiap hari ada beberapa jenis kapal yang melayani penyebarangan kesana, jika membawa mobil atau muatan banyak bisa menggunakan kapal Ferry KMP. Lokongbanua dengan waktu tempuh antara 8 s/d 9 jam. Namun jika hanya berangkat tanpa banyak barang bawaan, bisa menggunakan kapal cepat Express Bahari, atau Kapal turbo jet Oasis, dengan waktu tempuh sekitar 2.5 s/d 3 jam an atau dengan kapal penumpang biasa KM. Quin Merry dan KM. Victoria, dengan waktu tempuh sekitar 5-6 jam.
Kali ini kesempatan penjejakanku datang kesana berawal ketika salah seorang teman se Gereja yang merupakan temen baikku, memberitahukan kalau ia akan kesana untuk mengantarkan mobil temannya dari Manado ke Pulau Siau. Mendengar info tersebut, langsung kutawarkan diri jika tak keberatan untuk menemaninya kesana, dan memberitahukan kepadanya bahwa biaya transportasi dan akomodasi selama disana saya akan tanggung sendiri. Ia pun juga senang karena ada teman yang akan menemaninya pergi ke pulau itu, karena ia sendiri pun baru sekali ini mau pergi kesana.
Niatku mau pergi kesana, didukung dengan aktivitas kantor yang sudah tidak terlalu padat, sehingga aku dapat mengambil cuti untuk beberapa hari. Awalnya kami akan berangkat pada hari Minggu, 2 Oktober 2011. Namun setelah sampai di pelabuhan Ferry di Bitung, KMP. Lokongbanua yaitu kapal ferry yang akan kami naiki, dek bawahnya sudah full dengan truk-truk besar dan tak ada lagi space yang tersisa untuk satu mobil lagi. Menurut salah seorang ABK, jika ingin mengangkut mobil harus datang pagi-pagi atau memboking tempat dulu, karena kalau tidak, kami tidak akan kebagian space lagi. Akhirnya teman saya si Fanny, mendaftarkan nama dan akan berangkat pada jadwal keberangkatan berikutnya yaitu pada hari Selasa malam, 4 Oktober 2011. Untuk mengobati kekecewaan karena sudah sampai di pelabuhan Bitung dan gagal menyebrang, akhirnya kami melemparkan kail yang kami bawa untuk memancing di pulau Siau di pelabuhan Ferry Bitung, hingga dua jam kami mengail di situ, tak ada satu ikan pun yang memakan umpan kami, bukannya terhibur malah semakin kecewa karena tidak dapat ikan hehehe.
Kejutan pertama, mendapat tiket kapal gratis.
Setelah menunggu jadwal keberangkatan selanjutnya, akhirnya kami pun berangkat pada hari Selasa malam, 4 Oktober 2011. Pagi-pagi sekali, teman saya si Fanny sudah datang membawa mobil yang akan kami angkut, dan sudah terpakir di dek bawah di sudut paling belakang KMP. Lokongbanua. Sedangkan saya sendiri menyusul pada sore harinya sepulang dari kantor. Biasanya, kapal diberangkatkan pada pukul 08.00 malam, namun entah karena muatan kapal waktu itu dinilai melebihi kapasitas, hingga kapal terlambat untuk berlayar. Karena biasanya sebelum kapal berlayar ada petugas Syahbandar yang memeriksa kondisi dan keadaan kapal, untuk menjamin keselamatan berlayar. Malam itu kapal ferry yang kami naiki ini memuat 20 mobil yang terdiri dari 4 mobil kecil, termasuk mobil yang kami bawa dan sisanya ada 16 truk besar yang penuh dengan muatan. Hingga pukul 10 malam, kapal belum juga diberangkatkan, penumpang pun sudah mulai gelisah dan mencari tahu apa yang terjadi, termasuk saya tentunya. Selidik punya selidik, ternyata surat berlayar belum dikeluarkan dari Syahbandar yang punya otoritas pelayaran di lautan Indonesia. Hingga pukul 12 malam, melilhat cuaca waktu itu cukup baik dan tenang, akhirnya pihak Syahbandar mengeluarkan surat berlayar untuk kapal yang kami naiki.
Naik kapal Ferry KMP. Lokongbanua ini mengingatkan aku pada KMP. Muria yang melayani penyebrangan Jepara – Karimun Jawa, waktu keluargaku masih tinggal di pulau itu, pada sekitar 5 tahun yang lalu. Dahulu kalau mau menjenguk orang tuaku, tiap tahun selalu naik Ferry atau kapal cepat KMC. Kartini, namun sekarang kalau mau pulang kampung, Tuhan upgrade perjalananku harus naik pesawat, dari Manado ke Jakarta atau ke Surabaya, kemudian baru ke Solo - Wonogiri. Naik kelas sih...namun naik pula ongkosnya hehe..
Fanny asik tidur
Tidur di dek paling atas, beratapkan langit, berselimutkan angin malam.
“Kembali ke leptop”..... Selama perjalanan, meskipun ada dek kedua yang khusus untuk penumpang, dan ada tempat tidurnya disana, namun kami memilih dek paling atas untuk mengambil posisi tidur dan menanti perjalanan hingga sampai tempat tujuan. Meskipun beratapkan langit, dengan udara malam yang cukup dingin, namun saya cukup menikmatinya, apalagi cuaca malam itu sangat baik, dan tidak bergelombang. Tripku kali ini sangat beruntung. Ketika ABK mulai menarik uang tiket, biasanya jika membawa mobil hanya satu orang saja yang mendapat tiket gratis, namun waktu itu kami berangkat bertiga dan dikasih gratis semua. Begitu pula ketika kami hanya menggunakan satu matras untuk alas kami duduk-duduk diatas dek kapal, setelah Cheff atau salah seorang perwira kapal melihat kami menggunakan satu matras saja, ia menyuruh anak buahnya mengambilkan dua matras lagi untuk kami. Sungguh berkat Tuhan yang luar biasa bagi kami, malam itu.

Singgah sejenak di Pulau Tanggulandang
Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 5 pagi, saya terbangun dan melihat ada gugusan pulau-pulau, dan kapal pun mengarahkan haluannya menuju salah satu pelabuhan bagian utara pulau itu. Ya... ini adalah pulau Tanggulandang. Semua kapal yang menuju pulau Siau, biasanya singgah dahulu ke Pulau ini untuk menurunkan atau menaikkan penumpang dari Bitung ke Tanggulandang atau dari Tanggulandang ke Siau, begitu pula sebaliknya.

Salah satu perkampungan di sudut utara pulau Tanggulandang, foto diambil dari atas kapal, ketika berlabuh sejenak di pelabuhan ferrynya.

Tampak dari atas kapal, Pulau Tanggulandang bertopografi bergunung-gunung, areal perkampungannya berada di celah-celah bukit, dan sebagian berada diatas bukit. Disebelah pulau Tanggulandang, ada sebuah pulau yang terbentuk dari gugusan gunung berapi, yaitu pulau Gunung Ruang, yang dipisahkan oleh sebuah selat dengan Pulau Tanggulandang. Gunung ini pernah meletus beberapa tahun lalu, dan sisa-sisa lahar panas yang telah membeku dari puncak gunung hingga meleh ke laut masih tampak jelas, menandakan kedhasyatan letusannya waktu itu. Untuk sementara ini, gunung tersebut masih terdiam, dan tak ada aktifitas vulkaniknya. Itulah sebabnya pulau Tanggulandang mempunyai tanah yang subur, oleh abu vulkanik dari gunung ini, dan Pulau Tanggulandang merupakan penghasil buah Salak yang rasanya manis dan buahnya besar-besar, di Sulawesi Utara selain di Desa Pangu Kab. Ratahan.
Setiap kali kapal singgah di pulau ini untuk menaikan dan menurunkan penumpang, penduduk setempat menaiki kapal untuk menjajakan buah salak dari hasil kebun mereka. Untuk satu kardus kecil, awalnya mereka menawarkan dengan harga Rp.20.000,-, namun setelah kapal mau berangkat kembali, mereka menurunkan harga antara Rp. 10.000,- hingga kalau beruntung dapat Rp. 5000,- Per kardusnya.
Setelah kurang lebih 30 menit kapal Ferry menurunkan penumpang dan beberapa mobil truk di pulau ini, serta menaikkan beberapa penumpang dari Tanggulandang yang mau menuju ke Pulau Siau. Klakson kapal kembali berbunyi, sebagai tanda kapal ini akan kembali berlayar. ABK Kapal kembali ke posisinya masing-masing, dan tambatan tali pun mulai dilepaskan untuk meninggalkan pelabuhan Ferry di Tanggulandang, menuju ke Pulau Siau. Perjalanan dari Pulau Tanggulandang ke Pulau Siau, jika menggunakan Ferry masih ditempuh sekitar 2 jam.
Satu setenga jam berlalu, dan Kapal Ferry mulai memasuki perairan pulau Siau. Tampak sebelah kanan gugusan pulau Bahoro yang melindungi teluk Pulau Siau. Katanya di Pulau Bahoro ini ada gua-gua pantai, yang banyak terdapat sarang burung walet, juga disalah satu sisinya terdapat pesisir pantai yang pasirnya putih dan lembut. Sedangkan disebelah kiri kapal, terlihat Pulau Siau dengan Gunung Api Karangetan yang menjulang tinggi dari kejauhan. Pulau ini memang bertopografi bergunung-gunung dan berbukit, dengan hutanya yang masih lebat dan menghijau.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...