Rabu, 22 Oktober 2008

Seporno apakah RUU APP itu?

Saya sebenarnya masih tampak dingin menganggapi pro dan kontra masalah akan disah kannya RUU APP, yang kian memanas akhir-akhir ini. Jika saya baca, rancangan undang-undang ini memang ada beberapa poin yang saya setuju. Tetapi beberapa poin-poin dari pasal-pasal yang terkandung dalam RUU APP ini masih sangat rancu, meskipun saya bukanlah orang Hukum yang paham akan Undang-Undang. Katakanlah saya sama dengan anda sebagai orang awam lainnya, dalam menanggapi RUU APP ini.

Pengertian pornografi yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 pada RUU APP ini berbunyi ”Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan suara, bunyi, gambar bergerak animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komuniknikasi dan / atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”

Jadi menurut saya, sesuatu yang dapat membangkitkan hasrat seksual adalah dapat dikatakan sebagai pornografi. Sedangkan tingkat orientasi seksual seseorang berbeda-beda. Sebagian besar memang bila melihat sesuatu yang sedikit terbuka dari tubuh wanita atau sebaliknya, sudah dapat menaikan hasrat seksualnya. Tetapi mungkin ada juga yang orientasi seksualnya jika melihat sesuatu yang tertutup, karena dengan tubuh wanita yang tertutup maka akan kelihatan lebih seksi, dan rasa penasaran akan membangkitkan hasrat seksualnya. Jadi seporno apakah pornografi itu?


Pornografi ibarat Hukum Ekonomi

Menurut saya, selama manusia masih punya hasrat hawa nafsu birahi, dan kebutuhan secara biologis. Masalah pornografi dan pornoaksi akan tetap terus ada dalam setiap kehidupan masyarakat. Sebab, ibarat hukum ekonomi, ”ada kebutuhan ada juga penawaran”. Imaginasi manusia dipengaruhi oleh banyak faktor, selain diisi dengan imaginasi oleh hal-hal positif, dimana manusia berimaginasi untuk bagaimana cara mendapatkan kebutuhan sehari-hari, dalam mendapatkan uang, makan, berinteraksi, mempunyai kehidupan rohani yang baik dan lain-lain. Tetapi disisi lain, manusia juga mempunyai kebutuhan biologis, dan ini adalah kebutuhan dasar yang dimiliki oleh manusia normal. Nah kebutuhan inilah yang seringkali menimbulkan imaginasi-imaginasi negatif, meskipun sebenarnya juga dapat dikatakan sebagai imaginasi positif, jika imaginasi itu mengarah pada hal yang bertanggung jawab (yang sudah menikah). Kenapa disebut sebagai imaginasi negatif atau sering disebut pikiran kotor, karena setiap manusia normal selalu punya orientasi seksual yang dimiliki dari usia anak-anak. Dari pikiran-pikiran kotor ini, timbul keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang dapat ”melengkapi” imaginasinya, dalam hal ini mencari dan mendapatkan hal-hal yang berbau porno.

Dengan adanya kebutuhan dan penawaran itu, maka maraklah sekarang beredar hal-hal berbau porno untuk memenuhi kebutuhan ”pikiran kotor” manusia. Sialnya, peredaran hal-hal berbau porno ini sudah sangat marak, dan susah sekali untuk dibendung. Anak dibawah umur pun, yang seharusnya belum boleh untuk menikmati meskipun sudah punya orientasi seksual, sudah sangat mudah untuk mendapatkan akses untuk melihat dan memiliki media atau hal-hal berbau pornografi. Jadi saya masih katakan wajar jika media pornografi itu harus dibendung peredarannya.


RUU APP ibarat proyek Politik

Masalah pornografi dan pornoaksi, sebenarnya saya sangat setuju jika hal ini dikendalikan. Tetapi, sebenarnya bukannya hal ini sudah diatur dalam undang-undang yang sudah berlaku. Kalau tidak salah dalam KUHP telah diatur mengenai Pornografi dan Pornoaksi. Tinggal bagaimana penegakannya dari pihak yang berwajib untuk mengoptimalkan peraturan tersebut, tanpa harus membuat undang-undang lagi yang sebenarnya sama, substansialnya.

Saya melihat dikeluarkannya peraturan ini, lebih banyak mengandung muatan politis untuk melancarkan kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Dikawatirkan, kelompok-kelompok masyarakat tertentu akan menekan kelompok masyarakat yang lain, karena adanya undang-undang ini. Sebab, Indonesia ini sangat plural. Berbagai macam etnis dan budaya, agama dan adat istiadat yang berbeda hidup dalam satu ke Bhineka Tunggal Eka.

Mengutip dari Pasal 21 RUU APP disebutkan bahwa ”Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi”. Yang saya khawatirkan muatan dalam pasal ini adalah, masyarakat seperti apakah yang nanti akan berperan serta. Saat ini saja, sudah ada yang mengaku sebagai bagian kelompok masyarakat yang sudah ”merasa” sangat berperan serta dalam menegakkan anti pornografi dan pornoaksi dengan cara mereka sendiri. Dengan membabi buta, merahasia dan menghancurkan serta kadang kala diselingi oleh tindak kekerasan dan penganiyayaan dengan dalih memberantas kemaksiatan. Bukankah ini seharusnya tugas Polisi.

Jika Undang-Undang ini benar-benar di sahkan, maka kemungkinan akan meleluasakan beberapa kelompok organisasi masyarakat ini, yang ideologinya sebenarnya bertentangan dengan Pancasila untuk melakukan penekanan kepada kaum minoritas dan kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Yang dianggap bersebrangan dengan ideologi mereka.

Lagipula, ditengah kondisi bangsa yang carut marut dengan masalah kemiskinan dan pengangguran karena minimnya lapangan kerja, kenapa para wakil rakyat itu lebih suka mengurusi yang berbau porno. Bukankah lebih baik mengurusi kesejahteraan rakyat, mendorong investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia supaya lapangan kerja terbuka lebih luas. Mendorong dan memberi bantuan kepada petani dan nelayan, supaya pertanian dan perikanannya lebih maju. Memberi bantuan kepada pengusaha kecil supaya dapat mengembangkan usahanya, memperbaiki kualitas dan mutu pendidikan, dan menyediakan sekolah gratis atau murah bagi kaum miskin, memberantas korupsi dan tidak berkorupsi dan masih banyak lagi yang lebih berguna untuk dilakukan, daripada mengurusi porno.


RUU APP ibarat tak tau adat istiadat

Untuk beberapa adat istiadat, di beberapa daerah di Indonesia jika konteks RUU APP ini diterapkan, maka musnahlah beberapa tradisi kebudayaan tersebut. Misalnya, untuk di Bali, yang beberapa masyarakatnya atau pada beberapa acara adat masayarakatnya masih menggunakan kembe, kebudayaan Jawa pun juga masih ada yang menggunakan kembe, apalagi masyarakat di Papua dan Suku Anak Dalam. Maka dapat juga terkena sanksi atas pelanggaran membuka syahwat dimuka umum. Meskipun dalam RUU tersebut, ada pengkecualian pada budaya dan adat istiadatnya, tapi sejauh mana pelaksanaan itu dapat berjalan?. Ini masih sangat rancu. Okelah kita sebagai orang timur, memang mempunyai batas-batas tertentu yang tidak sevulgar orang barat. Tata cara pergaulan dan berpakaian orang Indonesia pun, masih sangat wajar dan belum keluar pada kaidah orang timur. Indonesia ini sangat plural dengan ragam budaya yang ada dan berkembang. Hal ini tidak bisa disamaratakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.

Bila Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi ini diberlakukan untuk mengendalikan aksi peredaran hal-hal berbau porno, atau membatasi orang berbuat pornoaksi dimuka umum mungkin saya masih setuju. Tetapi jika sudah mengarah pada mengatur cara berbusana seseorang hal ini mungkin sudah lain ceritanya.

Disamping itu, beberapa pasal dalam RUU APP ini jika memang di tegakkan secara benar-benar di Indonesia, maka mungkin pemerintah harus membangun gedung Lembaga Pemaasyarakatan baru yang lebih besar tentunya. Sebab kalau untuk menegakkan UU APP, kemungkinan besar kapasitas LP-LP yang ada sekarang sudah tidak akan muat lagi kapasitasnya. Karena, setiap wanita berpakaian sedikit seksi yang biasa saya temui di mall-mall, dijalan-jalan, di tempat-tempat wisata, di tempat hiburan mungkin sudah ditangkap dan dijebloskan kepenjara. Atau mungkin para penari Jawa, penari Bali, wisatawan asing yang menikmati mandi matahari di pantai-pantai di Indonesia, atau masyarakat pedalaman Papua yang masih menggunakan koteka, dan yang wanita tidak mengenakan bra (telanjang dada), pasti juga sudah ditangkap dan di jebloskan kepenjara kalau tidak mau membayar denda antara Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta) sampai Rp. 7.500.000.000,- (tuju miliar lima ratus juta).

Kemanakah Peran Agama, Lembaga Pendidikan dan Orang Tua?

Disetiap agama apapun, namanya Pornogragfi dan Pornoaksi itu dilarang. Jika masih ada orang yang melakukan tindakan-tindakan yang berbau pornografi dan pornoaksi, maka perlu dipertanyakan bagaimana kehidupan kerohaniannya. Dan bagaimana peran pemuka agama dalam memberikan pembinaan kepada jemaatnya. Memang benar, urusan agama dan kerohanian merupakan urusan pribadi masing-masing orang. Tetapi setidaknya, penekanan untuk menegakkan hukum-hukum agama itu juga harus dilakukan untuk membendung pengaruh pornografi dan pornoaksi. Sebab melalui pembinaan kerohanian yang intensif yang dilakukan oleh masing-masing agama, baik itu Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, Konghucu dapat menumbuhkan akhlak dan moralitas yang baik.

Yang terjadi sekarang adalah, orang-orang yang mengaku ”beragama”, bahkan ”katanya” merupakan pemuka agama dengan mendirikan organisasi keagamaan yang radikal, malah tidak memberikan contoh yang baik kepada umatnya. Tindakan kekerasan, hujat menghujat, memprofokasi malah sering ditunjukan daripada memberikan dakwah yang menyejukkan.

Lembaga-lembaga keagamaan seharusnya mulai menjaring umat-umatnya yang terperosok dalam kesesatan, untuk segera dilakukan pendekatan secara personal sebagai upaya penyadaran dan pembinaan kerohanian. Tentunya dengan cara pendekatan yang penuh kasih, bukan dengan cara pemaksaan. Kalau hanya menghancurkan, dan mencebloskan mereka ke penjara karena ada Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi hal itu tidak menyelesaikan masalah, tetapi malah akan menambah masalah baru, dan belum tentu dapat mengubah kehidupan mereka lebih baik.

Peran dunia pendidikan juga sangat berpengaruh dalam memberikan pendidikan mental dan moral yang positif. Di dalam lembaga pendidikan inilah seharusnya penekanan dan pengawasan terhadap hal-hal berbau porno ini sudah dilakukan sejak dini. Sebab pada masa usia di bangku pendidikan, disiniah terjadi kerentangan terhadap keingin tahuan seseorang dengan sesuatu yang dianggapnya tabu. Terlebih lagi, pada masa ini pengaruh pergaulan dan sosialnya sangat mempengaruhi, sehingga perlu ada kegiatan-kegiatan yang positif sebagai tambahan yang dapat memberikan alternatif para siswa untuk memikirkan hal-hal yang positif.

Orang tua mempunyai peran yang sangat mendasar dalam mendidik anak-anaknya. Didalam lingkungan keluarga inilah karakter seseorang itu dibentuk sejak usia dini. Sikap mental dan moral dapat menjadi sangat baik dan sangat buruk, bisa terjadi dalam lingkungan keluarga. Jika dalam keluarga sudah ada kehangatan kasih sayang, ditanamkan nilai-nilai keagamaan yang mendalam, mengajarkan sikap sopan dan santun, memberi tahu mana yang baik dan yang buruk pada anak, tanpa harus membentak atau dengan kekerasan tetapi dengan lembut menasihati, sambil membelai dan mengajarkan anak tentang kasih. Pasti nantinya hal-hal yang berbau negatif dapat ditangkal dengan sendirinya. Orang tua juga mulai dini sudah harus memberikan pendidikan dan pengertian sex yang benar, supaya anak tidak mencari tahu sendiri.

Intinya adalah, lebih baik mengoptimalkan saja Undang-Undang yang sudah ada sekarang yang mengatur tentang pornografi dan pornoaksi, tanpa harus membuat undang-undang baru yang banyak makan biaya. Dan optimalkan peran agama sebagai pembina kerohanian dan akhlak yang baik, supaya rakyat tidak terjerumus dalam pengaruh pornografi dan pornoaksi. Dan yang terpenting adalah kesejahteraan rakyat yang merata. Jika kesejahteraan itu sudah dapat dirasakan bersama, dan para birokrat sudah tidak ada yang korupsi, niscaya bangsa ini akan menjauhi pornografi dan pornoaksi.

Bagaimana mau memberantas pornografi dan pornoaksi, lha wong wakil rakyatnya aja ada yang cari penghasilan tambahan sebagai pemain film bokep, nlingsepin uang rakyat sambil membawa PSK ke kamar hotel, mencabuli sekretaris pribadinya, korupsi dan lain-lain. Ck...ck... ck... ngaca dulu deh kalau mau ngesahin nih RUU APP.

Wassallam..

Rabu, 15 Oktober 2008

Urus SIM, Calo liar diusir, diganti "Calo berseragam".


Sebagai warga negara yang baik, tentunya wajib mentaati peraturan undang-undang yang berlaku. Terutama dalam hal ini adalah peraturan lalu lintas yang menunjukan setiap pengendara kendaraan bermotor wajib mempunyai SIM (Surat Izin Mengemudi). Karena saya sudah mahir mengendarai mobil, tanpa harus ikut kursus mengemudi di tempat pelatihan mengemudi, sehingga saya tidak mempunyai sertifikat mengemudi, serta belum punya SIM. Mengendarai mobil tanpa mempunyai SIM, tentu saja melanggar undang-undang. Maka saya pun berniat untuk mengurus SIM A sebagai syarat mengendarai kendaraan bermotor roda empat pribadi.


Setelah meminta surat keterangan domisili dari kantor Lurah setempat, maka saya segera menuju kantor Polres Minahasa Utara yang ”katanya” pengurusan SIM disana lebih murah, dibanding dengan di Manado.


Hari itu Rabu, 8 Oktober 2008, saya bersama teman yang juga akan mengurus perpanjangan SIM, dan saya SIM A baru, sama-sama berangkat ke Polres Minut. Tampak terpampang dengan jelas, informasi pengurusan SIM seperti bagan prosedure atau tahap-tahap yang harus dilewati dalam mengurus SIM yang di pasang di tembok ruangan depan loket pengurusan. Disitu juga di tempel dengan tulisan yang sangat jelas, sebuah informasi yang berisi ”Urus SIM jangan lewat calo, SIM baru : Rp. 75.000,- dan SIM perpanjangan : Rp. 60.000,-” yang ditempel di kaca loket pengurusan SIM.


Karena kami datang sudah agak siang, maka kami hanya sekedar tanya-tanya informasi tentang syarat-syarat dan biaya yang harus kami keluarkan dalam mengurus SIM tersebut, lagi pula saat itu kami belum membawa berkas-berkas seperti pas foto sebagai salah satu syarat yang harus disertakan. Kami pun bertanya pada salah satu petugas yang berjaga di dalam loket tersebut, dia katakan bahwa untuk SIM baru, biayanya Rp. 75.000,- lalu dia bertanya ”sudah ada sertifikat mengemudi ?”, saya jawab ”belum punya, karena saya tidak ikut kursus mengemudi, hanya belajar sendiri”. Lalu saya juga bertanya, bagaimana cara mengurus sertifikat, dan berapa biayanya. Petugas tersebut pun menjelaskan ”untuk memperoleh sertifikat, dapat langsung dibeli disini dengan biaya Rp. 150.000,-” baiklah kalau begitu, besok saya akan datang kembali untuk melengkapi berkas-berkas persyaratannya.


Besoknya, Kamis, 9 Oktober 2008. Saya dan teman kembali lagi untuk mengurus SIM tersebut, dengan membawa sejumlah uang yang sudah saya perkirakan cukup untuk proses pengurusan SIM itu. Setelah sampai didepan loket, saya dipersilahkan dulu untuk melakukan pengambilan sidik jari, dengan membayar Rp. 10.000,-. Setelah itu saya kembali lagi ke loket, tetapi petugas menyuruh langsung untuk melakukan tes kesehatan, dan membawa surat keterangan kesehatan. Tempat melakukan tes kesehatan, berada di ruangan tersendiri di samping loket utama. Ada satu petugas disitu, tetapi ternyata saya tidak di tes kesehatan, meskipun disitu saya melihat ada peralatan untuk mengetes tensi darah, timbangan badan, tes warna untuk mata dan lain-lain, tetapi ternyata tidak dipergunakan. Saya hanya ditanya, berapa tinggi badan, berat badan, dan tanggal lahir. Setelah ia ketik, tidak sampai 5 menit, saya pun diharuskan membayar Rp.30.000,- untuk selembar kertas tersebut.


Kemudian saya membawa surat keterangan kesehatan tersebut, ke loket utama, lalu seorang bapak salah satu petugas tersebut menanyakan kembali, ”bapak belum ada sertifikat mengemudi ya?” iya jawabku. ”begini pak, untuk sertifikat harganya Rp.200.000,-”. Saya pun lantas terperanjat dan kaget, lho kok sudah berubah harganya, katanya kemaren saya datang kesini harganya Rp.150.000,- sekarang kok sudah dua ratus, bantahku. ”emmm.... kata siapa pak” tanya petugas itu. ”kata bapak (saya lupa namanya), yang kemaren ada disini, dan ibu itu pun tahu saya kemaren datang kemari (sambil menunjuk ibu, salah satu petugas disana)” petugas tersebut pun lantas terdiam.


Saya melihat mimik muka petugas tersebut agak kecut, lantas mereka mulai main mata satu dengan yang lain untuk mengadakan konspirasi kepada saya. Berkas saya pun tidak segera diurusnya, dan mendahulukan yang datang dibelakang saya. Kemudian dia (petugas), keluar dari loket menemui saya di ruang tunggu. Kemudian berbicara, sambil berbisik, ”mmm.... tentang administrasinya bagaimana pak?” dia tanyakan kepadaku, lantas saya jawab ”lho khan belum to pak, 75 ribu to?” tegasku, sambil menunjuk informasi biaya SIM yang dipasang di depan kaca loket. ”ahh... bukan, 200 ribu kalau mau cepat !!”, saya kembali terperanjat, ”lho lantas yang dipasang itu apa!!” tanyaku agak keras. ”dia pun lantas kasih solusi, oo... baik lah, kalau gitu bapak ikut tes aja ya.., itu prosedurnya”, (sambil dia menunjuk papan bagan prosedur pengurusan SIM). ”Oke, saya khan mau ikut prosedur resmi, khan disitu nda boleh pake calo” jawabku.


Kemudian dia menyodorkan soal tes kepada saya, yang sesuai dengan golongan SIM yang akan saya urus. Setelah memberikan soal dan lembar jawaban, saya pun mulai mengisi soal-soal yang jumlahnya sekitar 30 soal. Isinya tentang pengetahuan rambu-rambu lalu-lintas, prioritas penggunaan jalan, juga beberapa soal tentang pengetahuan teknis kendaraan. Setelah selesai saya kerjakan, lembar soal dan lembar jawaban, kembali saya serahkan kepada petugas tersebut. Setelah dia ”pura-pura koreksi” dengan mencoret beberapa jawaban yang dianggap salah, lantas kembali dia memanggil saya. ”Wahh... hampir aja pak, hampir bapak lulus. Bapak hanya benar 17 soal, dan salah 13 soal. Sedangkan standar untuk lulus harus benar 18 soal” katanya. Dilihat dari mimik mukannya, dan sorot matanya, saya tahu dia membohongi saya. Saya tahu, saya dapat mengerjakan soal-soal tersebut, sebenarnya dari awal saya sudah bisa membaca niatnya supaya saya, mengurus dengan cara menembak saja. Tetapi tidak saya lakukan. Dengan kekecewaan, saya pun terdiam sedikit lesu.


Lantas dia berkata”bagaimana pak, berarti bapak harus ikut tes ulang lagi, tetapi dua minggu lagi sesuai dengan peraturan. Tetapi sebenarnya kami bisa membantu sih pak, kalau bapak mau butuh cepat”, katanya. Saya pun berpikir, kalau mau cepat, berarti harus dengan cara ”menembak” (menyogok petugtas tersebut), tetapi uang saya sangat ngepas. Lagipula saya pun tidak mau untuk menembak. Lalu saya pura-pura tanya, ”emang berapa pak, kalau saya mau butuh cepat”, dia jawab, ”besok saja pak, bapak kembali kesini, soalnya ini sudah siang” katanya. Tetapi saya desak dia supaya menyebutkan nominal yang akan saya keluarkan, dia pun lantas menyebutkan sebesar Rp. 400.000,-. Dalam hati saya berkata, ”gila, masak dari Rp.75.000,- biaya SIM dan Rp. 150.000,- untuk sertifikat berubah naik menjadi Rp.400.000,-, peraturan dari mana ini”, gerutuku. Belum lagi ditambah biaya surat keterangan kesehatan Rp. 30.000,- dan administrasi sidik jari Rp. 10.000,-. Pelayanan mudah apa semacam ini.


Dengan perasaaan jengkel dan kecewa saya pun pulang, memang benar disitu tidak ada lagi calo-calo liar yang berkeliaran, tetapi ternyata semua petugas polisi yang ada di bagian administrasi pengurusan SIM disana ternyata sudah kong-kalikong untuk menjadi calo berseragam. Kebetulan, saat saya mau keluar meninggalkan kantor Polres, saya bertemu secara singkat salah seorang kenalan Polisi, yang bertugas di bagian Samsat yang katanya juga sebagai ajudan Kapolres Minut. Tetapi saya tidak sempat ngobrol saat itu juga, karena kelihatannya dia buru-buru mengantarkan komendannya. Saya pun lantas mencari nomer Hpnya pada salah seorang teman, orang Toraja satu daerah dengannya. Setelah mendapat nomernya, lantas saya telephon dia. Saya katakan bahwa, semua berkas saya sudah masuk, bisakah saya dibantu, dia bilang ”waduh, kalau sudah masuk berkas saya tidak bisa bantu banyak” katanya. Trus saya ceritakan tentang kejengkelan saya, tidak lulus tes, padahal saya tahu banyak yang benar. Dia jawab ”wah... kalo ikut tes, jarang yang ada diluluskan, dan rata-rata nda ada pengurus SIM yang diluluskan dalam tes tertulis”. ”Ooo... begitu ya...ternyata kelakuan para petugas-petugas itu, ”gerutuku. Besoknya, saya tidak kembali lagi kesana, mungkin saya akan coba untuk ikut tes berikutnya, dengan mengumpulkan bukti-bukti, yang dapat dipertanggung jawabkan. Apakah saya masih diperlakukan hal yang sama, atau sudah menggunakan prosedure yang benar.


Ternyata tidak hanya di jalan raya, citra Polisi yang mulia itu dinodai oleh para oknum-oknum petugas korup, dengan menilang mencari-cari kesalahan para pengendara yang sebenarnya, tidak melanggar aturan. Dan kalau kena tilang, para oknum Polisi itu lebih suka dengan cara ”KUHP” (Keluar Uang Habis Perkara), atau sering disebut dengan istilah ”cara damai”, daripada memberikan surat tilang. Di urusan administrasi pengurusan surat izin mengendara pun, mereka tak kurang akal untuk mencari peluang menguras dompet, warga negara yang hendak mematuhi peraturan dengan mengurus SIM, dengan mengusir calo-calo liar, supaya para putugas tersebut dapat merangkap menjadi calo.


Saya tidak tahu, dengan Polres-Polres didaerah lain, tetapi itu yang saya rasakan ketika hendak mengurus SIM di Polres Minahasa Utara, sungguh sangat mengecewakan dan memalukan citra polisi, yang sebenarnya dari sistemnya sudah baik, tetapi pelaksana sistemnya yang bobrok. Semoga para atasan, dapat mengehahui hal ini, dengan apa yang dilakukan oleh para bawahannya. Atau hal ini memang dibiarkan untuk dilakukan, supaya ada bagi hasil antara bawahan dan atasan. Semoga saja tidak.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...