Selasa, 19 Mei 2009

Mesin-Mesin Pembunuh



Heran.. kenapa dalam peradaban manusia, sikap untuk membunuh itu terlalu besar. Hanya karena kekuasaan, harta, dan keserakahan. Sehingga mereka pun menciptakan mesin-mesin pembunuh masal yang canggih dan modern, dan terus akan berkembang sesuai dengan teknologi jaman yang baru.
Adakah mesin-mesin kasih yang mereka ciptakan...???



Rabu, 15 April 2009

Mengubah Pala Menjadi Anggur

Judul diatas nampaknya agak sedikit janggal, dan mustahil. Mana bisa buah pala dapat dirubah menjadi anggur, itu khan sesuatu yang tidak mungkin dan menyalahi kodratnya. Buah pala ya buah pala yang rasanya getir-getir pedas, nda mungkin dapat berubah menjadi anggur yang berasa asam-asam manis. Tapi tenang dulu pembaca, yang dimaksud disini sebenarnya adalah mengubah sari kulit buah pala, menjadi minuman berfermentasi semacam “Wine“. Bukankah wine itu anggur? Nah itulah yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri.

Begini ceritanya....


Pada awal bulan April lalu, tepatnya pada tanggal (1-2 /04/09) saya mendapat kesempatan langsung untuk dapat melihat pelatihan pembuatan Wine Pala yang diminta oleh pemerintah kabupaten Kep. Sitaro, yang notabene daerah tersebut memang merupakan penghasil buah pala terbesar di Indonesia, yang bertempat di SAL (Sentrum Agraris Lotta) Pineleng. Pesertanya semua adalah ibu-ibu berjumlah 5 orang, hanya saya dan satu teman saya Marthen yang laki-laki. Tapi saya dan teman saya tidak tercatat sebagai peserta lho, hanya sebagai pengawas, ce ileh pengawas he..he...he... , sebenarnya sih hanya pingin ngikut secara illegal aja, karena sebenarnya kalo saya tidak merengek-rengek sama pelatihnya, kami berdua tidak diperkenankan untuk mengikuti pelatihan tersebut. Apalagi mendokumentasikannya, tapi karena saya sedikit mempunyai jurus “bujuk rayu” yang diajarkan oleh salah satu guru saya, maka luluhlah hati si Cecil, traiener asal Prancis yang mempunyai nama lengkap Ir. Cecile Kutschuiter yang mengajarkan pembuatan Wine Pala tersebut.

Maksud saya tertarik mengikuti pelatihan Wine Pala ini sebenarnya karena merupakan wujud dari penyaluran sebuah hobby. Kebetulah hobby saya adalah minum Wine, tetapi tidak untuk membuat mabuk lho ya.. hanya sekedar menikmati cita rasanya saja, sekaligus menikmati sensasinya dari segelas Wine. Nah dari pada beli, lebih baik kalo bisa bikin sendiri khan malah lebih bagus, tetapi sayang untuk mencari buah anggur di Manado tempat saya tinggal sekarang agak susah, lagian disini daerah Sulut memang tidak ada orang menanam buah anggur, yang ada buah pala banyak di daerah Sitaro dan sekitarnya. Akhirnya alternative itulah yang dikembangkan oleh Cecil, yang merupakan volentire dari sebuah lembaga internasional FIDESCO yang sudah hampir empat tahun tinggal di Manado, khususnya di SAL Lotta untuk memberikan pelatihan-pelatihan mengenai pengolahan hasil pertanian, dan dia memang pakar dibidang tersebut.

Setelah acara perkenalan selesai, saya langsung menyiapkan kamera yang saya bawa untuk mendokumentasikan semua proses pembuatan wine pala tersebut. Tahap pertama yang menjadi focus penekanan Cecil adalah bahwa semua tempat dan alat yang digunakan harus bersih dan steril. Di SAL Lotta sudah disediakan tempat khusus semacam laboratorium yang biasa digunakan Cecil untuk memproduksi Wine Pala. Dari pada panjang lebar berbasa-basi lebih baik langsung aja yuk untuk menyimak prosesnya pembuatannya saja.


Persiapan Alat dan Bahan

Sebelumnya adalah harus mempersiapkan alat. Peralatan yang digunakan antara lain : Baskom, Panci, kain bersih, gelas takaran, saringan halus, sendok panjang dari kayu, dua toples dan corong. Sebelum digunakan peralatan tersebut harus dipastikan bersih, dan telah dicuci dengan menggunakan sabun, lalu dikeringkan. Setelah semua peralatan bersih dan kering, persiapkan panci yang sudah bersih tersebut untuk memanaskan air bersih, sebanyak sekitar 7 liter sampai mendidih, setelah mendidih biarkan mendidih selama 20 menit, supaya kuman-kuman dan bakteri yang tidak diperlukan dapat mati.

Kemudian, persiapkan bahannya yaitu buah pala yang tua dan telah dibelah menjadi dua untuk dikeluarkan bijinya. Kita ambil sebanyak 2 Kg kulit daging buah pala, lalu kita cuci hingga bersih dalam baskom. Untuk menghilangkan kuman dan mungkin ada sisa-sisa racun, Cecil menyarakan untuk mencucinya dengan mencampurnya dengan sedikit bayclin, pemutih yang biasa digunakan untuk mencuci pakean. Lalu dibilas lagi hingga bersih. Setelah bersih, persiapkan panci untuk mengukus kulit buah pala tersebut hingga matang dan menjadi lembek.


Mempersiapkan sari Pala


Setelah kulit buah pala tersebut matang dan menjadi lembek, kita juga harus mempersiapkan air bersih yang telah kita rebus tadi, dan kita ambil sebanyak 1,5 liter. Kemudian ambil piring, garpu, kain penyaring dan sebuah baskom. Kita ambil kulit buah pala dari panci dengan menggunakan garpu satu persatu pada sebuah piring, lalu mulai kita haluskan dengan menggunakan gerapu, sedikit demi sedikit. Setelah halus kita taruh kedalam baskom, dan campur dengan sedikit air yang telah kita persiapkan sebanyak 1,5 Lt tadi. Kemudian masukkan kedalam kain pemeras, lalu peras sarinya yang kita tampung langsung pada sebuah gelas takaran, hingga kita dapatkan 1,5 – 2 liter sari Pala. Lalu tambahkan sekitar 3 – 3.5 liter air masak, sehingga kita mendapatkan 5 liter air sari pala.


Mempersiapkan Media Fermentasi


Ambil touge sebanyak 200 gr yang telah kita bersihkan, lalu rebus dengan 1 liter air masak hingga mendidih selama 5 menit. Setelah mendidih disaring airnya ditampung dalam suatu wadah, lalu ambil tougenya masukkan pada kain pemeras yang bersih, lalu peras dan ambil sarinya untuk ditampung pada air rebusan touge tadi, hingga mendapatkan 1 liter sari touge, jika kurang dari 1 Lt, dapat ditambah dengan air masak hingga kita mendapatkan ukuran yang sesuai.

Sari pala dan sari touge kemudian dicampurkan, lalu direbus lagi hingga mendidih 100o C dan panci harus dalam keadaan tertutup. 6 liter bahan untuk wine tadi tambahkan 2 kg gula pasir, diaduk hingga semua gula larut. Sebelumnya kita juga harus mempersiapkan dua toples kaca besar kapasitas 3 Lt yang telah tercuci bersih dan higenis, supaya toples tidak pecah maka toples lebih baik ditaruh pada sebuah loyang plastik yang telah diisi setengah air dingin. Kemudian perlahan-lahan kita masukkan bahan wine yang masih panas tadi pada kedua toples, perlu sebuah corong supaya bahan wine tidak tumpah. Kemudian tutup kedua toples yang telah terisi bahan wine tadi, tapi ingat tutupnya tidak perlu rapat-rapat supaya toples tidak pecah, dan biarkan hingga dingin dan mengendap selama 5 jam.


Proses Inoklasi


Sesudah 5 jam, bahan wine tadi telah dingin dan mengendap maka siap untuk dilakukan Inkolasi atau peragian. Ambil sedikit ragi kira-kira ukuran setengah 1 sendok kecil, dan sedikit pektinase. Pektinase ini fungsinya adalah untuk menjernihkan wine, tidak ditambahkan juga tidak apa-apa tetapi hasilnya agak sedikit kabur dan tidak jernih, dan tidak mempengaruhi rasa. Lalu taruh pada wadah kecil kedap udara, dapat juga menggunakan wadah rol film, lalu ambil beberapa sendok sari untuk melarutkan ragi tersebut dalam wadah kedap udara. Tutup campuran tersebut, lalu kocok-kocok hingga larutan ragi dapat tercampur sempurna. Kemudian tuangkan pada satu toples tadi, dan bilas sekali lagi. Untuk toples selanjutnya prosesnya sama, setelah semua sudah diberi ragi maka toples harus diaduk hingga larutan ragi dapat tercampur merata. Paket ragi dan petinase tadi harus disimpan pada lemari es dengan suhu + 18o C.

Kemudian toples ditutup, tetapi jangan terlalu rapat supaya udara masih dapat masuk kedalam, dan simpan pada tempat yang aman (dalam lemari kayu) selama 3 minggu atau bisa juga sampai 4 minggu lebih. Jangan lupa untuk memberikan tanda pada toples, semacam label yang isinya tentang tanggal pembuatan pada hari itu, lalu catat juga pada sebuah buku control tentang proses produksi pada hari itu, supaya dapat melakukan pengontrolan dengan mudah.


Penghentian Prosen Fermentasi


Pada H + 7 dan H + 14 isi toples harus diaduk, supaya proses fermentasi dapat sempurna. Kemudian pada H + 28 isi toples atau hasil fermentasi dikeluarkan tanpa mengambil endapan dibawah. Bahan wine yang sudah terfermentasi tersebut disedot dengan menggunakan selang tanpa harus menyertakan endapannya dan ditampung pada sebuah panci yang sudah bersih dan higenis.

Bahan tadi kemudian dipanaskan lagi hingga mendidih, supaya semua bakteri yang melakukan fermentasi dapat mati dan tidak melakukan fermentasi lagi. Kemudian persiapkan toples lagi yang sudah bersih dan kering, dan tuang bahan wine tadi pada kedua toples tersebut, kemudian tutup hingga rapat, dan simpan pada tempat aman (dalam lemari kayu), pada 2 – 3 hari wine tadi siap untuk dikemas dalam botol.


Pengemasan dalam botol


Bersihkan 9 botol 620 ml dengan air sabun hingga bersih. Untuk mensterilkan, botol yang telah dicuci bersih itu lalu isi dengan 5 cm air, kemudian masukkan dalam panci yang telah terisi sebanyak kira-kira 5 cm air. Tinggi panci diharapkan sekitar 10 cm, supaya semua botol dapat masuk dan ditutup sempurna. Kemudian masukkan juga penutup botol, selang, alat atau pompa penghirup wine, sendok besar, corong, alat jepit, (semua peralatan yang digunakan untuk pengemasan) , lalu rebus hingga mendidih selama 20 menit.

Ada dua cara pengemasan dalam botol, yaitu dengan menyedot menggunakan selang, dapat juga dengan menyendok dengan menggunakan sendok besar dibantu dengan corong kecil supaya cairan tidak tumpah.

Ambil botol perlahan-lahan dalam panci dengan menggunakan sarung tangan anti panas (hati-hati botol panas sekali), dan jangan memegang bibir botolnya supaya tetap steril. Lalu tuang air yang masih dalam botol tersebut kedalam panci, dan tiriskan botol sebentar hingga kering. (biasanya dalam keadaan panas, botol akan cepat kering). Lalu letakkan pada meja, dan apabila menggunakan selang. Taruh bahan wine yang masih terisis dalam toples tersebut pada tempat yang lebih tinggi dari botol. Kemudian sedot dengan menggunakan pompa penyedot (jangan menggunakan mulut), lalu salurkan dengan menggunakan selang dalam botol, hingga sesuai dengan ukuran botol. Lalu ambil penutup yang masih didalam panci, dengan menggunakan pencepit panjang, lalu langsung taruh pada bibir botol (jangan memegang didalam tutup botol supaya tetap steril), lalu langsung dirapatkan dengan alat penutup botol khusus. Begitu seterusnya untuk botol-botol yang lain.


Proses Pelabelan dan Penjualan


Jika semua wine sudah terisi dalam botol, maka kita dapat segera melakukan pelebelan dari hasil yang kita produksi sendiri. Lebel dapat kita buat sendiri, dengan disain yang sesuai dengan selera kita. Tapi ingat ini adalah minuman beralkohol dengan kandungan alcohol 10 %, sehingga kita tidak bisa menjual bebas minuman ini. Jika mau menjual secara resmi, harus ada izin dari pemerintah. Tetapi harga per botol dari Wine pala ini dapat kita jual untuk satu botolnya antara Rp. 25.000,- sampai dengan Rp. 30.000,- lumayan juga khan.

Lalu berapa biaya produksinya? Mari kita sama-sama menghitungnya.

Bahan baku :

  • 2 Kg buah pala : Rp. 5000,-
  • 2 Kg gula pasir : Rp. 16.000,-
  • 200 gr Touge : Rp. 2000,-
  • Minyak tanah : Rp. 8000,-
  • Pektinase dan ragi : Rp. 1500,-
  • Pengemasan (botol, penutup botol, lebel, lem) : Rp. 20.000,-
  • Air 7 liter : gratis +

Nah biaya produksi secara umum aja hanya Rp.52.500,- lalu berapa keuntungan yang kita dapat : Jika 1 botol kita jual Rp. 25.000,- maka 9 botol kita dapat : Rp. 225.000,-
Dan jika kita jua per botolnya Rp.30.000,- maka kita dapat : Rp.270.000,-

Rabu, 25 Februari 2009

Kembalinya Masa Kejayaan Zaman Batu

Zaman Paleolitikum, Mesolitikum atau Megalitikum suatu masa kejayaan peradaban di jaman batu mungkin sudah lama ditinggalkan manusia. Pada zaman ini, batu adalah merupakan suatu yang sangat istimewa, karena segala sesuatu peralatan yang digunakan oleh manusia adalah dari batu. Dari mulai kampak untuk menebang pohon, peralatan makan, bahkan sampai pada tempat-tempat untuk memuja roh-roh nenek moyang, semua dari batu. Batu juga dianggap sesuatu yang mempunyai kekuatan yang dapat mengabulkan beberapa permintaan manusia. 

Di zaman modern saat ini, peradaban itu sudah ditinggalkan. Semua peralatan yang digunakan oleh manusia, lebih bersifat praktis dan fungsional. Semua terbuat dari bahan-bahan yang lebih ringan, mudah dibawa kemana-mana dan canggih. Manusia sudah tidak lagi menyembah batu-batuan, tetapi lebih menggunakan akal pikiran rasionalnya untuk mencari kebenaran, dan meyakini yang namanya “Tuhan” sebagai penciptanya. “Batu” hanya sebagai sebuah matrial untuk membangun infrastruktur bangunan, juga sebagai cobek penghalus sambal terasi di dapur. 

Tetapi fenomana kejayaan batu mulai muncul lagi, ketika “Ponari” seorang anak kecil di Jombang Jawa Timur memopulerkan batu temuannya yang dipercaya dapat mengobati segala macam jenis penyakit. Orang pun berbondong-bondong datang kepadanya untuk minta kesembuhan. Caranya pun sangat gampang, batu sakti Ponari yang didapat dari saat dia bermain hujan-hujanan lalu lantas melihat pohon disambar petir, dan menemukan batu itu tertancap di pohon itu, dicelupkan di air yang dibawa para pasiennya, tanpa diberi ramuan tambahan atau jumpa-jampi lain. Langsung gleg, khasiatnya pun langsung bisa dirasakan (katanya, yang saya tonton di berita). Tidak hanya Ponari saja yang punya batu sakti, ada Dewi Setiawati anak perempuan berusia 14 tahun, sama-sama dari Jombang juga mempunyai batu sakti seperti milik Ponari, dan beberapa orang lain yang mengaku juga memiliki batu yang sama, didapat setelah ada petir dan tertancap di pohon. 

Batu-batu tersebut sangat dipercayai dapat mengobati segala macam jenis penyakit. Tak heran jika pasien Ponari hingga mencapai ribuan orang, dan mengakibatkan antrian hingga radius 5 km dari rumah Ponari. Pemilik-pemilik batu lain seperti Dewi Setiawati pun tak kalah bersaing untuk mendapatkan pasiennya. Mereka tiba-tiba menjadi popular, dan mendapat penghasilan yang tak tanggung-tanggung. Milyaran rupiah dapat mereka raup dari hasil mengobok-obok air minum, yang dibawa para pencari kesembuhan. 

Sungguh tidak masuk akal, ditengah peradaban jaman yang sangat modern saat ini. Dimana orang sudah mulai meninggalkan irasonalnya dan lebih mencari yang rasional, disamping itu untuk masalah pengobatan, berbagai peralatan medis yang sudah begitu canggih, dapat menditeksi berbagai penyakit dan temuan-temuan obat-obatan kedokteran yang sangat mujarab, tetapi beberapa orang khususnya masyarakat pinggiran ternyata masih menggunakan yang irasonal untuk mencari jalan keluar. 

Mungkin mereka menganggap, pengobatan yang rasional itu harganya mahal. Untuk dapat mengetahui jenis penyakit apa yang kita idap, kita harus melakukan cek-up kesehatan di rumah sakit yang sudah punya peralatan canggih, disamping itu harga obat-obatan yang mempunyai khasiat bagus pun harganya selangit. Untuk warga miskin, meskipun sudah punya kartu miskin dan punya hak pengobatan gratis, tetapi pelayanan yang mereka terima layaknya seperti binatang, ditelantarkan begitu saja. Jika baru mau mati baru “pura-pura” ditangani dengan setengah hati. 

Tak heran lah jika masyarakat pedesaan yang kurang mampu, lebih memilih suatu pengobatan alternative, entah itu yang masuk akal maupun yang tidak masuk akal sekalipun. Jangankan air bekas celupan batu Ponari, air comberan yang kotor dekat rumahnya Ponari pun mereka percaya dapat menyembuhkan penyakitnya. 

Ya inilah dimulainya masa kejayaan zaman batu lagi, yaitu suatu "zaman Ponarilitikum”, dimana batu kembali menjadi sesuatu yang penting bagi manusia, terutama untuk kesehatan dan pengobatan. Mengalahkan kepopuleran pengobatan medis yang modern sekalipun. 




Minggu, 15 Februari 2009

Warna Persahabatan

Di suatu masa warna-warna dunia mulai bertengkar Semua menganggap dirinyalah yang terbaik yang paling penting yang paling bermanfaat yang paling disukai HIJAU berkata:"Jelas akulah yang terpenting. Aku adalah pertanda kehidupan dan harapan. Aku dipilih untuk mewarnai rerumputan, pepohonan dan dedaunan. Tanpa aku, semua hewan akan mati. Lihatlah ke pedesaan, aku adalah warna mayoritas..."

BIRU menginterupsi: "Kamu hanya berpikir tentang bumi, pertimbangkanlah langit dan samudra luas. Airlah yang menjadi dasar kehidupan dan awan mengambil kekuatan dari kedalaman lautan. Langit memberikan ruang dan kedamaian dan ketenangan. Tanpa kedamaian, kamu semua tidak akan menjadi apa-apa"

KUNING cekikikan: "Kalian semua serius amat sih? Aku membawa tawa, kesenangan dan kehangatan bagi dunia. Matahari berwarna kuning, dan bintang-bintang berwarna kuning. Setiap kali kau melihat bunga matahari, seluruh dunia mulai tersenyum. Tanpa aku, dunia tidak ada kesenangan."

ORANYE menyusul dengan meniupkan trompetnya: "Aku adalah warna kesehatan dan kekuatan. Aku jarang, tetapi aku berharga karena aku mengisi kebutuhan kehidupan manusia. Aku membawa vitamin-vitamin terpenting. Pikirkanlah wortel, labu, jeruk, mangga dan pepaya. Aku tidak ada dimana-mana setiap saat, tetapi aku mengisi lazuardi saat fajar atau saat matahari terbenam. Keindahankubegitu menakjubkan hingga tak seorangpun dari kalian akan terbetik di pikiran orang."

MERAH tidak bisa diam lebih lama dan berteriak: "Aku adalah Pemimpin kalian. Aku adalah darah - darah kehidupan! Aku adalah warna bahaya dan keberanian. Aku berani untuk bertempur demi suatu kausa. Aku membawa api ke dalam darah. Tanpa aku, bumi akan kosong laksana bulan. Aku adalah warna hasrat dan cinta, mawar merah, poinsentia dan bunga poppy."

UNGU bangkit dan berdiri setinggi-tingginya ia mampu: Ia memang tinggi dan berbicara dengan keangkuhan. "Aku adalah warna kerajaan dan kekuasaan. Raja, Pemimpin dan para Uskup memilih aku sebagai pertanda otoritas dan kebijaksanaan. Tidak seorangpun menentangku. Mereka mendengarkan dan menuruti kehendakku." Akhirnya

NILA berbicara lebih pelan dari yang lainnya, namun dengan kekuatan niat yang sama: "Pikirkanlah tentang aku. Aku warna diam. Kalian jarang memperhatikan daku, namun tanpaku kalian semua menjadi dangkal. Aku merepresentasikan pemikiran dan refleksi, matahari terbenam dan kedalaman laut. Kalian membutuhkan aku untuk keseimbangan dan kontras, untuk doa dan ketentraman batin."

Jadi, semua warna terus menyombongkan diri, masing-masing yakin akan superioritas dirinya.
Perdebatan mereka menjadi semakin keras. Tiba-tiba, sinar halilitar melintas membutakan.
Guruh menggelegar. Hujan mulai turun tanpa ampun. Warna-warna bersedeku bersama ketakutan,
berdekatan satu sama lain mencari ketenangan.

Di tengah suara gemuruh, hujan berbicara:
"WARNA-WARNA TOLOL, kalian bertengkar satu sama lain, masing-masing ingin mendominasi yang lain. Tidakkah kalian tahu bahwa kalian masing-masing diciptakan untuk tujuan khusus, unik dan berbeda? Berpegangan tanganlah dan mendekatlah kepadaku!" Menuruti perintah, warna-warna berpegangan tangan mendekati hujan, yang kemudian berkata:

"Mulai sekarang, setiap kali hujan mengguyur, masing-masing dari kalian akan membusurkan diri sepanjang langit bagai busur warna sebagai pengingat bahwa kalian semua dapat hidup bersama dalam kedamaian.

Pelangi adalah pertanda Harapan hari esok."
Jadi, setiap kali HUJAN deras menotok membasahi dunia,
dan saat Pelangi memunculkan diri di angkasa marilah kita
MENGINGAT untuk selalu MENGHARGAI satu sama lain.
MASING-MASING KITA MEMPUNYAI SESUATU YANG UNIK KITA SEMUA DIBERIKAN KELEBIHAN UNTUK MEMBUAT PERUBAHAN DI DUNIA DAN SAAT KITA MENYADARI PEMBERIAN ITU, LEWAT KEKUATAN VISI KITA,
KITA MEMPEROLEH KEMAMPUAN UNTUK MEMBENTUK MASA DEPAN ....
Persahabatan itu bagaikan pelangi:
Merah bagaikan buah apel, terasa manis di dalamnya.
Jingga bagaikan kobaran api yang tak akan pernah padam.
Kuning bagaikan mentari yang menyinari hari-hari kita.
Hijau bagaikan tanaman yang tumbuh subur.
Biru bagaikan air jernih alami.
Ungu bagaikan kuntum bunga yang merekah.
Nila-lembayung bagaikan mimpi-mimpi yang mengisi kalbu


disadur dari : renungan harian

Minggu, 01 Februari 2009

Masyarakat Manado, menutup rangkaian kegiatan Natal dengan Festival Pigura

Menutup semua rangkaian acara pelaksanaan Natal yang telah diselenggarakan selama bulan Desember tahun lalu, masyarakat Minahasa, mempunya tradisi unik yaitu tradisi “Kunci Taon”, atau disingkat “Kuncikan” disebut juga dengan nama “Pigura”. Tradisi ini diselenggarakan setahun sekali, yaitu setiap hari Minggu pada bulan Januari.

Biasanya di setiap kampung, saat moment-moment tersebut beberapa kelompok masyarakat yang biasanya terdiri dari kelompok lingkungan maupun gereja, mengadakan pawai keliling kampung dengan mengenakan pakaian-pakaian yang lucu-lucu, atau dengan mengangkat tema-tema sosial, seperti layaknya pergelaran pawai karnaval 17 Agustus.

Dari pawai-pawai di kampung-kampung tersebut yang dapat menarik perhatian pengunjung dari berbagai daerah maka, sudah hampir tiga tahun ini pemerintah kota Manado dalam rangka menunjang Manado sebagai kota pariwisata dunia, tradisi “Kuncikan” diselenggarakan dalam sebuah festival, dengan melakukan penilaian pada atraksi dan penampilan yang terbaik. Dan kegiatan ini pun menjadi puncak dari perayaan Pigura, yang diselenggarakan pada hari Minggu akhir bulan Januari.

Kegiatan ini mendapat apresiasi yang luar biasa dari masyarakat, dengan banyaknya peserta yang mengikuti event tersebut. Tua dan muda turut ambil bagian dalam pelaksanaan Pigura, dengan melakukan pawai keliling kota Manado. Bahkan ada seorang Nenek yang berusia sekitar 80 tahunan, tampak bersemangat menjadi peserta dalam festival tersebut dengan mengenakan seragam anak SMA, mengusung tema pendidikan. Para penonton pun berjubel memadati ruas-ruas jalan yang dilewati pawai Pigura ini.

Menurut salah seorang pengunjung Pak Yansen, tradisi Kunci Taon atau Pigura ini merupakan sebuah tradisi untuk menutup semua rangkaian kegiatan pelaksanaan perayaan Natal yang dirayakan di bulan Desember. Dan tradisi ini sudah ada turun-menurun di daerah Minahasa pada umumnya. Sehingga setiap tahun pasti ada pawai semacam ini yang di gelar di kampung-kampung maskipun hanya skala kecil.
Snapshot Kunci Taon 2009

Peserta dari salah satu Kelurahan
Insert koruptor
Walikota Manado (katanya sih..)

Para penonton yang memadati jalan.

Neli (nenek lincah), biar tua asal aksi
Ayoo... Sekolah (biar tua yang penting rajin sekolah)

Simbol kerukunan antar Umat beragama
Tarian Cakalele
Kesenian Musik Bambu

Selasa, 06 Januari 2009

Berlibur ke "Swis" dan berburu barang Filipina

Harusnya liburan kali ini kugunakan untuk pulang kampung di Jawa mengunjungi orang tua dan sanak saudara disana, namun berhubung terkendala dana taktis yang sudah habis sebelum akhir tahun. Akhirnya kuputuskan untuk mencari alternative tempat liburan yang sesuai dengan kocek pribadi saat itu, apalagi kalau berfikir pulang jawa, harga tiket pesawat pas mendekati Natal dan Tahun Baru naik gila-gilaan. Yah beginilah kalau hidup masih belum terbebas secara financial, Semua mesti diperhitungkan baik-baik, apalagi kalau tinggal di daerah rantau yang jaraknya jauh seperti saya.

Kebetulan kali ini aku mendapat alternative tempat liburan yang lumayan menarik, dan cukup keren yaitu pergi ke “SWIS”. Untuk dapat pergi ke Swis (Sekitar Wilayah Sanger) cukup naik kapal dari pelabuhan Manado dengan membeli tiket Rp.110.000,- untuk kelas ekonomi dan Rp.230.000,- untuk kelas VIP, dengan waktu perjalanan sekitar 10 jam perjalanan laut. Ya… tujuanku kali ini adalah menuju ke kepulauan Sangihe, yaitu sebuah Pulau yang terletak di sebelah utara Kota Manado atau secara geografis Kepulauan Sangihe terletak di 2o 04’13” – 4o 44’22” LU dan 125o 9’28 – 26’57” BT dan posisinya terletak diantara Kab. Kepulauan SITARO dan Pulau Mindanau (Filipina).

Saat itu aku berangkat bersama dua orang teman “Stenly dan Ferdy”, satu diantaranya (Ferdy) adalah orang asli “Prancis” (Peranakan Cina Sanger) sehingga kami panggil “Opo” panggilan sayang-sayang untuk anak laki-laki di pulau itu. Dialah yang mengajak kami, dan menjadi tour gaed kami selama disana. Perjalanan kami, kami mulai dari pelabuhan Manado dengan menggunakan kapal Mekar Teratai. Berangkat dari pelabuhan sekitar pukul 19.00 Wita, pas malam Natal 24 Des 08. Beruntung cuaca saat itu cerah, sebab kapal yang kami tumpangi pada saat itu full dengan penumpang. Bahkan kami bertiga hanya kebagian satu tempat tidur saja, sehingga terpaksa kami harus berbagai siff waktu tidur. Karena rasa kantuk yang semakin kuat menyerang kami, dan tak kuasa kami tahan akhirnya motor yang dibawa penumpang lain pun menjadi tempat tidur yang nyaman saat itu, sambil menunggu sift untuk tidur di tempat tidur bergantian dengan teman saya.

Pukul 05.00 Wita, kapal merapat di pelabuhan Tahuna. Meskipun masih pagi sekali, tetapi suasana di pelabuhan sudah sangat ramai dengan para penjemput dan para porter yang menawarkan jasa angkat barang. Setelah turun dari kapal, kami lantas segera mencari kendaraan yang mengantarkan kami ke Petta, salah satu daerah yang kami tuju. Beruntung kami mendapatkan mobil bak terbuka, meskipun sudah diminta untuk duduk dimuka, tetapi saya lebih memilih untuk duduk di belakang supaya dapat melihat pemandangan secara lebih leluasa.

Perjalanan ke Petta dari pelabuhan Tahuna kami tempuh sekitar 30 menit, dengan jalan beraspal dengan lebar 3 m. Kondisi jalannya naik turun dan berbelok-belok, sebelah kiri kami dihadapkan dengan tebing-tebing curam yang rawan longsor, sedangkan sebelah kanannya adalah jurang yang dalam. Meskipun sedikit memacu andrenalin kami dengan kondisi jalan seperti itu, tetapi kami cukup dihibur dengan indahnya pemandangan teluk Tahuna yang kami lihat dari atas mobil yang kami tumpangi.


Tentang Kabupaten Kepulauan Sangihe

Kep. Sangihe merupakan daerah administrative Kabupaten, dengan kepala daerah yang dipimpin oleh seorang Bupati, dengan kota administratifnya di Tahuna. Luas wilayah Kab. Kep. Sangihe secara keseluruhan adalah 11.863.58 Km2 yang terdiri dari luas wilayah laut : 11.126.61 Km2 dan luas wilayah darat : 736.97 Km2. Kabupaten ini sudah mengalami dua kali pemekaran, yang sebelumnya luas wilayah administratifnya sebelum tahun 2002 meliputi Kab. Kep. Talaud dan Kab. Kep. SITARO. Tetapi setelah pemekaran pertama pada tahun 2002, Kabupaten ini telah memisahkan Kepulauan Talaud untuk menjadi daerah kabupaten sendiri, dan pemekaran kedua terjadi pada tahun 2007 untuk memekarkan daerah Siau, Tanggulandang dan Biaro (SITARO) menjadi daerah kabupaten sendiri.

Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten ini secara keseluruhan mempunyai 105 gugusan pulau, dan hanya 26 pulau saja yang berpenghuni, sedangkan sisanya 79 pulau tidak berpenghuni. Kepulauan ini mempunyai topografi yang berbukit, dengan kondisi tanah yang labil / mudah longsor. Disamping itu, di pulau Sangihe terdapat dua gunung api, yaitu Gunung Awu dan satu lagi adalah gunung berapi yang berada di bawah laut, yang terletak di dekat pulau Mahengetang. Karena mempunyai gunung api, tanah-tanah disekitarnya menjadi tampak subur dengan tanaman perkebunan kelapa dan pala serta tanaman-tanaman tropis lainnya.

Rata-rata sebagian besar mata pencaharian penduduknya adalah nelayan, dan sebagaian lainya adalah petani dan pedagang. Hasil utama pertaniannya adalah kelapa dan pala. Agama yang dianut oleh masyarakat Kep. Sangihe adalah sebagian besar beragama Kristen Protestan dan Islam. Sedangkan etnis yang ada disana adalah etnis Sanger, tionghua, dan minahasa atau etnis-etnis lain yang datang dari jawa dan daerah lain.

Meskipun digolongkan dalam daerah terpencil, tetapi aktivitas bisnis di kota Tahuna dan kota-kota lain disekitarnya termasuk di Petta begitu hidup. Khusus di kota Tahuna, berbagai toko-toko milik pedagang keturunan Tionghoa dan lokal yang menjajakan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari, pakaian sampai peralatan elektronik dan computer ada disana. Diantara barang-barang itu, sebagaian adalah barang-barang dari Negara tetangga yaitu Filipina yang memang sengaja di pasok oleh pedagang local, mengambil atau membeli barang-barang dari Filipina untuk di pasarkan di pasar-pasar kepulauan Sangihe.


Berburu barang Filipina di Kota Petta


Kota Petta merupakan tempat yang kami tinggali selama 5 hari kami disana. Ini adalah merupakan kota kecil yang masuk dalam daerah administrative kecamatan Tambuka Utara. Untuk menuju ke Petta, hanya diperlukan waktu sekitar 30 menit dari kota Tahuna dengan ongkos kendaraan umum sekitar Rp. 15.000,-

Kota ini adalah kota perdagangan, selain di Tahuna. Sehingga nama Petta sendiri sebenarnya adalah nama pasar. Tetapi pasar disini tidak setiap hari ada, dalam seminggu terdapat tiga kali hari pasar yaitu pada hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Pada hari-hari tersebut masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah Petta, seperti dari pulau Nusa tambuka, dan dan daerah-daerah lain semua turun ke Petta untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok dan kebutuhan-kebutuhan lain. Pantas saja, orang tua teman saya yang dari Petta ini adalah salah satu pengusaha yang membuka usaha toko kelontong, dan usahanya tampak eksis disana. Sebab setiap hari pasar, tokonya penuh dipadati oleh pembeli yang datang dari beberapa daerah di sekitar Petta.

Barang-barang yang diperjual belikan juga beberapa diantaranya berasal dari Filipina, apalagi kalau dari Petta lokasi geografisnya langsung menghadap ke Filipina, dan lokasi tempat kami foto ini adalah merupakan pelabuhan bagi kapal-kapal yang biasa berlayar ke Filipina. Tetapi untuk sekarang, masuknya barang-barang Filipina dalam jumlah banyak sudah dilarang, dengan aturan-aturan imigrasi dan perdagangan antar Negara.

Untuk beberapa minuman, seperti Cocacola yang merupakan minuman wajib di kala Natal dan tahun baru, dan minuman Royal adalah made in Filipina, termasuk juga beberapa minuman keras seperti Red Hourse dan beberapa minuman lain, yang semuanya adalah dari sana.

Masyarakat kepulauan Sangihe, pada umumnya adalah masyararakat yang ramah dan terbuka bagi para pendatang. Akses transportasi yang melayani adalah dengan transportasi laut, dilayani dengan beberapa kapal yaitu KM. Tera Sancta, KM. Mekar Teratai, KM. Ave Maria serta KMC. Bahari Express. Hampir tiap hari kapal-kapal ini melayani penyebrangan dari Pelabuhan Manado ke Pelabuhan Tahuna begitupun sebaliknya. Di Kep. Sangihe juga terdapat air port / bandara dengan beberapa maskapai yang melayani penerbangan dari Bandara Sam Ratulagi ke Bandara Naha Sangihe, antara lain adalah Wings Air Line, Deraya, dan Merpati. Tetapi penerbangan ke Naha masih jarang-jarang, mungkin dua minggu sekali karena penumpangnya masih sangat kurang.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...