Kamis, 10 Januari 2013

SEHARUSNYA DUNIA INDUSTRI BELAJAR DARI TRAGEDI MINAMATA


PENGANTAR

Harapan akan adanya aktivitas Industrialisasi yang ramah lingkungan, nampaknya menjadi impian banyak orang di saat ini. Dengan perubahan iklim yang semakin dratis, udara yang kotor, air yang keruh dan bau, menandakan akan perubahan keseimbangan alam yang semakin tidak nyaman lagi bagi kehidupan manusia. Berbagai macam bahan polutan berbahaya akibat akitivitas industri, tanpa kita sadari merasuki tubuh kita melalui udara yang kita hirup, air yang kita minum maupun makanan yang kita makan. Semua seakan menuju pada satu titik, yaitu “kehancuran”. Aktivitas industri, merupakan bagian dari salah satu olah budaya manusia dalam mencapai kehidupannya yang lebih baik, dan sampai pada titik ini tidak ada sesuatu yang perlu disalahkan. Namun terkadang, para kapital sebagai kelompok yang mampu menjalankan roda industrialisasi,  dengan berbagai macam alasan untuk mencapai tingkat keuntungan yang diinginkannya, menjalankan aktivitas industrinya selalu berkecenderungan untuk semakin merusak alam. Baik melalui kegiatan eksplorasinya dengan mendapatkan bahan baku yang didapat dari alam, maupun dengan efek sampingnya berupa polutan yang dihasilkan dari aktivitas industri yang dapat mencemari udara, air dan tanah yang merupakan tiga bagian vital dalam kehidupan manusia dan maklhuk hidup lain.
Tulisan ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Sustainable Development, yang diminta oleh dosen pengampu untuk mengkaji dan mentelaah dampak aktivitas industri yang berkontribusi pada kerusakan lingkungan dan mengakibatkan bencana bagi umat manusia. Dengan mengacu dari tugas bacaan dari buku Tragedi Minamata yang ditulis oleh Harada Masazumi, penulis akan membagi menjadi tiga bagian penulisan dari tugas ini. Pertama; memaparkan dengan singkat review buku Tragedi Minamata dari Harada Masazumi, mengapa penyakit itu bisa terjadi?, apa masalahnya dan apa sebabnya?; Kedua: Analisa kasus dampak industri di Indonesia, dengan contoh kasus bencana ekologi teluk Buyat dan luapan lumpur Lapindo, mengapa mereka tidak belajar dari tragedi Minamata, dan bagaimana arah kebijakan pemerintah kita pada konsep industri berbasis lingkungan?; Ketiga: Landasan filosofi etis apa yang seharusnya dipakai dalam bidang industrialisasi untuk pembangunan berkelanjutan.
Topik ini mendiskripsikan bagaimana industrialisasi yang merupakan bagian dari aktivitas manusia itu dapat mengubah tatanan alam, yang berdampak buruk pada kehidupan manusia itu sendiri. Kemudian bagaimana seharusnya dilakukan untuk menunjang konsep Pembangunan Berkelanjutan.

TRAGEDI MINAMATA

Tahun 1950 an, Jepang dihentak oleh kasus ditemukannya  penyakit aneh yang menyerang warga yang tinggal di sekitar perkampuangan nelayan yang berada di sepanjang pesisir teluk Minamata. Penyakit yang diderita ribuan warga tersebut gejala utamanya adalah bersifat Neurologik, atau gangguan pada sistem sensorik, dimana pasien mengalami kesulitan menggerakan kaki dan tangan-tangannya sehingga susah untuk berjalan dan memegang sesuatu, karena terjadi nyeri pada lutut dan jari-jarinya, susah untuk berbicara dan susah untuk menelan,  menurunnya fungsi koordinasi, bentangan pandang yang menyempit, tampak pucat dan mengalami susah tidur  serta  mengalami kejang-kejang.
Kejadian ini mengundang keprihatinan berbagai kalangan dan menjadi pekerjaan besar dari banyak ahli dalam mengungkap asal muasal penyebab yang dapat menimbulkan penyakit aneh yang diderita oleh ratusan warga tersebut. Karena rata-rata korban atau pasien penyakit ini hanya ditemukan di sekitar teluk Minamata, maka penyakit aneh tersebut diberi nama penyakit Minamata.
Harada Masazumi, seorang guru besar dari Depertemen Kesejahteraan Sosial Universitas Gakuen Kumamoto Japan, merupakan salah satu dari para peneliti yang melakukan kajian penelitian yang mengungkap penyebab terjadinya penyakit Minamata tersebut. Dalam bukunya “Tragedi Minamata” yang diterbitkan tahun 1972, dan telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia edisi cetakan tahun 2005, Ia memaparkan secara gamblang bagaimana tragisnya derita para korban pengidap penyakit Minamata yang diakibatkan keserakahan para kapital dalam menjalankan roda bisnisnya untuk mengeruk keuntungan, tanpa memikirkan dampak terhadap lingkungan disekitarnya, yang berefek pada timbulnya suatu penyakit baru yang tidak ada cara atau metode pengobatannya, dan berujung pada kematian kepada mereka yang tak berdosa.  

 Penyebab Penyakit Minamata
Masyarakat Jepang pada umumnya adalah masyarakat pengkonsumsi ikan nomer satu dunia, dan mereka mempunyai cara terbaik untuk menikmati hasil tangkapan laut tersebut, yaitu dengan memakannya secara mentah, atau dibuat sasimi, tanpa melalui proses dimasak. Begitu pula bagi masyarakat yang tinggal di sekitar teluk Minamata, yang sebagian besar diantaranya adalah bermatapencaharian sebagai nelayan dan semua masyarakatnya adalah pengkonsumsi ikan yang ditangkap di sekitar teluk tersebut.
Kota Minamata sendiri adalah merupakan kota industri, disitu berdiri sebuah pabrik kimia terbesar di Jepang dengan nama perusahaan Shin Nihon Chisso Hiryo Kabushik Kaisha, atau New Japan Nitrogenous Fertilizaers, Inc, atau terkenal dengan nama Chisso. Perusahaan ini mulai beroprasi sejak tahun 1908, dan tahun 1909 perusahaan ini memiliki hak paten untuk memproduksi pupuk nitrigenus dengan menggabungkan kalsium karbid dengan nitrogen atmosforik, yang kemudian dikembangkan pada satu perusahaan elektro kimia dengan skala besar. Seiring pesatnya kemajuan perusahaan, Chisso memperluas oprasinya untuk memproduksi juga sintesis amonia, produksi kalsium karbid dari asetelin, asetaldehida dan asam asetat, resin vinil klorida dari asetilen, sintesis oktanol dari asetaldehida dan masih banyak lagi, sehingga Chisso merupaka pabrik kimia paling maju di Jepang, sebelum atau sesudah PD II.
Namun pabrik sebesar Chisso ini tidak mempunyai sistem pengelolaan limbah yang memadai, sehingga semua limbah-limbah kimia, hasil indurstri yang beracun tersebut hanya dibuang langsung begitu saja melalui pipa-pipa pembuangan ke laut yang bermuara di teluk Minamata tanpa proses penetralisir limbah. Tak pelak, berbagai ekosistem yang mendiami teluk Minamata semua tercemar.
Beberapa ikan dikabarkan mati mengapung, rumput laut tidak bisa bertumbuh dengan baik dan berubah warna menjadi putih, kerang-kerang pun mati membusuk dan hasil tangkapan nelayan menurun dratis. Ikan-ikan dan berbagai ekosistem yang masih bertahan hidup dan tinggal di teluk tersebut ternyata telah menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang tercemar tersebut, namun sangat berbahaya untuk dikonsumsi, karena dagingnya mengandung mercuri organik, yang merupakan limbah dari perusahaan Chisso dan menjadi penyebab dari penyakit Minamata ini.
Awal mula, orang-orang tidak tahu jika ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan tersebut sangat berbahaya jika dikonsumsi. Namun sejak penyakit Minamata diketemukannya secara resmi pada tahun 1956 dari salah seorang pasien pertama yang dibawa pada Bagian Anak Rumah Sakit Perusahaan Chisso, dan pasien-pasien lain yang menyusul dengan gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas. Maka setelah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli, mereka menyimpulkan bahwa ikan dan semua hasil laut yang mereka tangkap di perairan teluk Minamata, dan mereka konsumsi sehari-hari inilah yang mengakibatkan penyakit aneh yang diderita oleh masyarakat disana.

Bantahan Perusahaan Chisso
Setelah diketahui bahwa ikan dan kerang yang ditangkap di perairan teluk Minamata ini telah tercemar oleh limbah dari  pabrik Chisso, dan menyebabkan penyakit Minamata. Namun perusahaan ini membantah, bahwa limbahnya menjadi penyebab penyakit Minamata tersebut. Berbagai upaya dilakukan oleh pihak perusahaan untuk berkelit dari tanggung jawab yang harus mereka emban. Sebelumnya perusahaan hanya memberi kompensasi berupa uang simpati kepada warga. Namun perusahaan terus menyangkal dari tuduhan banyak ahli yang telah banyak melakukan penelitian tentang penyakit Minamata yang menyatakan limbah pabrik kimia inilah yang menjadi penyebab penyakit tersebut. Namun pihak perusahaan Chisso beralasan bahwa ada banyak perusahaan seperti ini di Jepang, tapi kenapa hanya Chisso saja yang disalahkan. Sebelum benar-benar diketemukan secara pasti penyebab penyakit Minamata ini yang dapat dibuktikan secara ilmiah, pihak Chisso belum mau bertanggung jawab dan menghentikan pembuangan limbah ke teluk Minamata.  
Para peneliti dibawah Kementrian Kesehatan Masyarakat Jepang, yang kelompok penelitinya berasal dari Fakultas Kedokteran Universitas Kumamoto terus melakukan upaya keras untuk mencari sedetil-detilnya penyebab penyakit Minamata ini, mereka menganalisis satu persatu korban dengan menelusuri apa saja yang dikonsumsi, dan apakah penyakit tersebut adalah penyakit turunan atau kutukan. Selain melakukan penelitian dari para korban, mereka juga melakukan penelitian tentang air, lumpur, ikan dan kerang yang ada di sekitar teluk Minamata. Mereka juga melakukan berbagai percobaan dengan menggunakan kucing dan tikus yang diberikan makanan dari ikan yang ditangkap di perairan teluk Minamata, hasilnya kucing-kucing dan tikus-tikus tersebut menjadi gila lalu mengalami kejang-kejang dan akhirnya mati.
Berbagai teori yang diungkapkan  oleh para ahli untuk menyimpulkan penyebab penyakit Minamata ini, masih bisa dibantah oleh perusahaan Chisso, namun pada akhirnya para ahli menyimpulkan bahwa terdapat kadar kandungan  merkuri yang cukup tinggi yang ditemukan dalam lumpur yang diambil  di dasar teluk di sekitar pembuangan limbah dan diketemukan juga kandungan merkury tersebut pada ikan dan kerang  yang tercemar, serta pada rambut si penderita. Akhirnya mereka mengambil kesimpulan, larutan merkuri yang ikut terbuang dalam limbah perusahaan inilah yang mengakibatkan penyakit tersebut.
Kemudian tanggal 12 November 1959, anggota Komite Dewan Investigasi Makanan dan Sanitasi Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan memaparkan laporannya kepada menteri, yang menyatakan bahwa “Penyakit Minamata adalah suatu penyakit keracunan yang utamanya mempengaruhi sistem saraf pusat akibat mengkonsumsi ikan dan kerang-kerangan dari teluk Minamata dan sekitarnya dalam jumlah banyak, dimana agen penyebabnya adalah semacam campuran merkuri organik”.

Sikap Pemerintah Yang Melindungi Perusahaan.
Meski sudah diketahui secara gamblang tentang penyebab dari penyakit Minamata ini, seperti yang dikemukakan oleh Tim Survey Penyakit Minamata/Keracunan Makanana dari Dewan Investigasi dan Sanitasi, dengan memberikan laporan pada menteri, namun hari berikutnya yaitu tanggal 13 November, tim survey tersebut malah dibubarkan oleh Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan, alasanya karena adanya tarik menarik kewenangan dalam mengangani kejadian ini. Sehingga  membuat Rektor Universitas Kumamoto Wanaguchi dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Kumamoto Sera, yang merupakan bagian dari tim peneliti menjadi marah atas pembubaran tersebut, mengingat korban akan terus berjatuhan dan perusahaan terus melakukan oprasinya, dan tidak mengizinkan tim peneliti untuk mengambil sampel limbah secara langsung di dalam pabrik.
Kejadian ini menggambarkan Pemerintah setempat tidak serta merta segera mengambil tindakan untuk menghentikan pencemaran dari perusahaan tersebut, bahkan mereka seakan-akan melindungi perusahaan ini. Untuk meredam berkecamuknya dinamika yang terjadi di masyarakat, karena dianggap mencemari teluk Minamata, Perusahaan Chisso malah mengubah jalur pembuangan limbahnya ke sungai Minamata. Bukannya meminimalisir masalah namun semakin menambah masalah baru, karena dengan dibuangnya limbah pabrik ke sungi minamata maka semakin meluaslah dampak pencemaran yang ditimbulkan dari hasil pencemaran perusahaan tersebut. Beragagam ekosistem ikan air tawar dari sungai Minamata juga mati, dan yang bertahan hidup pun juga berbahaya untuk di konsumsi, sehingga korban penyakit Minamata juga semakin bertambah dan meluas. Meluasnya dampak pencemaran ini telah menyerang  dua provinsi di Jepang yang berada di pesisir teluk Minamata yaitu Provinsi Komamoto dan Provinsi Koghosima yang ribuan warganya teridentfikasi mengidap penyakit Minamata.

Derita Para Korban
Berbagai upaya untuk mencegah warga menangkap dan mengkonsumsi ikan diperairan itu pun menjadi agak susah, karena sudah menjadi kebiasaan sehari-hari mereka untuk mengkonsumsi ikan, dan bagi nelayan tidak ada pilihan lain selain harus menangkap ikan lagi di perairan tersebut, karena harus terus menghidupi keluarganya dari hasil tangkapannya. Namun yang lebih memprihatinkan  adalah, selain hasil tangkapannya sudah sangat menurun akibat pencemaran tersebut, ikan yang mereka tangkap pun sudah tidak laku lagi di jual dipasar. Sehingga keadaan ekonomi mereka semakin memprihatinkan.
Bagi si penderita penyakit Minamata sendiri, mereka juga mendapat diskriminasi di lingkungan masyarakatnya.  Mereka seakan dikucilkan dari lingkungannya, karena penyakit ini dianggap penyakit menular atau merupakan penyakit kutukan. Anggota keluarga yang lain, merasa malu jika ada salah seorang dari anggota keluarganya yang mengidap penyakit Minamata, karena gejala yang nampak dari si penderita adalah seperti orang yang sakit mental atau ideot.
Disamping itu, perhatian pemerintah saat itu masih kurang, hak-hak para korban yang seharusnya mendapat kompensasi yang layak dari perusahaan akibat kerugian yang ditimbulkan dari pencemaran industrinya, tidak juga dipenuhi oleh perusahaan. Bahkan perusahaan membuat semacam perjanjian untuk memberikan kompensasi kepada para korban, namun isinya lebih banyak memberikan keuntungan bagi perusahaan, sedangkan masyarakat tidak punya kekuatan yang bisa menuntut lebih hak-hak mereka.
Campur tangan pemerintah pusat juga terkesan lamban dalam menangani para pasien dan dalam menghadapi kekuatan kapital yaitu persuaan Chisso. Beruntung seiring berjalannya waktu, banyak karyawan dari Chisso sendiri merasa prihatin dengan para korban, dan akhirnya mereka menuntut pihak menejemen untuk bertanggung jawab kepada para pasien.

Penyakit Minamata Bawaan
Menurut para ahli yang tergabung dalam tim peneliti penyakit Minamata dari Universitas Kumamoto, untuk menentukan gejala yang diidap pasien dari awal cukup sulit, karena perubahan yang terjadi pada pada pasien membutuhkan waktu yang cukup lama, namu jika gejala itu sudah nampak dan dan terlihat secara fisik, maka perubahan yang terjadi pada pasien akan begitu cepat terlihat.  Jika yang menderita adalah seorang pasangan yang akan mempunyai anak, maka pada seorang ibu yang sudah terkontiminasi merkuri melalui makanan yang ia konsumsi juga akan berpengaruh pada janin yang ada dalam kandungannya. Ketika bayi itu lahir, biasanya secara fisik bayi yang dilahirkan tersebut mempunyai fisik yang tidak normal. Oleh sebab itulah, penyakit yang diakibatkan oleh polusi atau pencemaran ini sangat berbahaya bagi kehidupan manusia dan kehidupan makhluk hidup lain.

Arah Kebijakan Pemerintah Jepang Setelah Tragedi Minamata
Pengusutan kasus tragedi Minamata ini cukup panjang, sejak awal mula ditemukan secara resmi tahun 1956 dan baru bisa diperadilkan sekitar tahun 1970-an. Itu pun dengan berbagai dorongan dan desakan dunia internasional supaya kasus tersebut di usut secara tuntas. Setelah peristiwa tersebut, pemerintah Jepang menerapkan kebijakan baru untuk aktivitas industrialisasi dan melakukan pengawasan dan kontrol yang sangat ketat tentang pembuangan limbah industri yang dapat berdampak pada pencemaran lingkungan. Serta menindak dengan tegas apabila masih ada perusahaan yang masih nakal dan mengabaikan kebijakan pemerintah tersebut, dan meminta industri-industri  yang  menggunakan air raksa dan merkuri untuk bahan baku produksinya, untuk diganti dengan dengan bahan baku lain yang lebih aman bagi kesehatan dan lingkungan disekitarnya, supaya kejadian tragedi Minamata ini tidak terjadi lagi di Jepang.
Dengan diberlakukan kebijakan tersebut, saat ini Teluk Minamata menjadi teluk terbersih dan aman bagi kehidupan manusia dan ekosistem didalamnya. Begitu pula untuk kawasan-kawasan industri lain di Jepang, yang lebih mengedepankan teknologi ramah lingkungan untuk pengembangan industrinya.


[1] Sebuah revew buku Tragedi Minamata karya Harada Masazumi
[2] Mulai dari teori Thallium, teori Selenium, Teori Mangan, dan teori kontaminasi ganda yang mulanya dicurigai sebagai penyeban penyakit Minamata.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...