Rabu, 25 Februari 2009

Kembalinya Masa Kejayaan Zaman Batu

Zaman Paleolitikum, Mesolitikum atau Megalitikum suatu masa kejayaan peradaban di jaman batu mungkin sudah lama ditinggalkan manusia. Pada zaman ini, batu adalah merupakan suatu yang sangat istimewa, karena segala sesuatu peralatan yang digunakan oleh manusia adalah dari batu. Dari mulai kampak untuk menebang pohon, peralatan makan, bahkan sampai pada tempat-tempat untuk memuja roh-roh nenek moyang, semua dari batu. Batu juga dianggap sesuatu yang mempunyai kekuatan yang dapat mengabulkan beberapa permintaan manusia. 

Di zaman modern saat ini, peradaban itu sudah ditinggalkan. Semua peralatan yang digunakan oleh manusia, lebih bersifat praktis dan fungsional. Semua terbuat dari bahan-bahan yang lebih ringan, mudah dibawa kemana-mana dan canggih. Manusia sudah tidak lagi menyembah batu-batuan, tetapi lebih menggunakan akal pikiran rasionalnya untuk mencari kebenaran, dan meyakini yang namanya “Tuhan” sebagai penciptanya. “Batu” hanya sebagai sebuah matrial untuk membangun infrastruktur bangunan, juga sebagai cobek penghalus sambal terasi di dapur. 

Tetapi fenomana kejayaan batu mulai muncul lagi, ketika “Ponari” seorang anak kecil di Jombang Jawa Timur memopulerkan batu temuannya yang dipercaya dapat mengobati segala macam jenis penyakit. Orang pun berbondong-bondong datang kepadanya untuk minta kesembuhan. Caranya pun sangat gampang, batu sakti Ponari yang didapat dari saat dia bermain hujan-hujanan lalu lantas melihat pohon disambar petir, dan menemukan batu itu tertancap di pohon itu, dicelupkan di air yang dibawa para pasiennya, tanpa diberi ramuan tambahan atau jumpa-jampi lain. Langsung gleg, khasiatnya pun langsung bisa dirasakan (katanya, yang saya tonton di berita). Tidak hanya Ponari saja yang punya batu sakti, ada Dewi Setiawati anak perempuan berusia 14 tahun, sama-sama dari Jombang juga mempunyai batu sakti seperti milik Ponari, dan beberapa orang lain yang mengaku juga memiliki batu yang sama, didapat setelah ada petir dan tertancap di pohon. 

Batu-batu tersebut sangat dipercayai dapat mengobati segala macam jenis penyakit. Tak heran jika pasien Ponari hingga mencapai ribuan orang, dan mengakibatkan antrian hingga radius 5 km dari rumah Ponari. Pemilik-pemilik batu lain seperti Dewi Setiawati pun tak kalah bersaing untuk mendapatkan pasiennya. Mereka tiba-tiba menjadi popular, dan mendapat penghasilan yang tak tanggung-tanggung. Milyaran rupiah dapat mereka raup dari hasil mengobok-obok air minum, yang dibawa para pencari kesembuhan. 

Sungguh tidak masuk akal, ditengah peradaban jaman yang sangat modern saat ini. Dimana orang sudah mulai meninggalkan irasonalnya dan lebih mencari yang rasional, disamping itu untuk masalah pengobatan, berbagai peralatan medis yang sudah begitu canggih, dapat menditeksi berbagai penyakit dan temuan-temuan obat-obatan kedokteran yang sangat mujarab, tetapi beberapa orang khususnya masyarakat pinggiran ternyata masih menggunakan yang irasonal untuk mencari jalan keluar. 

Mungkin mereka menganggap, pengobatan yang rasional itu harganya mahal. Untuk dapat mengetahui jenis penyakit apa yang kita idap, kita harus melakukan cek-up kesehatan di rumah sakit yang sudah punya peralatan canggih, disamping itu harga obat-obatan yang mempunyai khasiat bagus pun harganya selangit. Untuk warga miskin, meskipun sudah punya kartu miskin dan punya hak pengobatan gratis, tetapi pelayanan yang mereka terima layaknya seperti binatang, ditelantarkan begitu saja. Jika baru mau mati baru “pura-pura” ditangani dengan setengah hati. 

Tak heran lah jika masyarakat pedesaan yang kurang mampu, lebih memilih suatu pengobatan alternative, entah itu yang masuk akal maupun yang tidak masuk akal sekalipun. Jangankan air bekas celupan batu Ponari, air comberan yang kotor dekat rumahnya Ponari pun mereka percaya dapat menyembuhkan penyakitnya. 

Ya inilah dimulainya masa kejayaan zaman batu lagi, yaitu suatu "zaman Ponarilitikum”, dimana batu kembali menjadi sesuatu yang penting bagi manusia, terutama untuk kesehatan dan pengobatan. Mengalahkan kepopuleran pengobatan medis yang modern sekalipun. 




Minggu, 15 Februari 2009

Warna Persahabatan

Di suatu masa warna-warna dunia mulai bertengkar Semua menganggap dirinyalah yang terbaik yang paling penting yang paling bermanfaat yang paling disukai HIJAU berkata:"Jelas akulah yang terpenting. Aku adalah pertanda kehidupan dan harapan. Aku dipilih untuk mewarnai rerumputan, pepohonan dan dedaunan. Tanpa aku, semua hewan akan mati. Lihatlah ke pedesaan, aku adalah warna mayoritas..."

BIRU menginterupsi: "Kamu hanya berpikir tentang bumi, pertimbangkanlah langit dan samudra luas. Airlah yang menjadi dasar kehidupan dan awan mengambil kekuatan dari kedalaman lautan. Langit memberikan ruang dan kedamaian dan ketenangan. Tanpa kedamaian, kamu semua tidak akan menjadi apa-apa"

KUNING cekikikan: "Kalian semua serius amat sih? Aku membawa tawa, kesenangan dan kehangatan bagi dunia. Matahari berwarna kuning, dan bintang-bintang berwarna kuning. Setiap kali kau melihat bunga matahari, seluruh dunia mulai tersenyum. Tanpa aku, dunia tidak ada kesenangan."

ORANYE menyusul dengan meniupkan trompetnya: "Aku adalah warna kesehatan dan kekuatan. Aku jarang, tetapi aku berharga karena aku mengisi kebutuhan kehidupan manusia. Aku membawa vitamin-vitamin terpenting. Pikirkanlah wortel, labu, jeruk, mangga dan pepaya. Aku tidak ada dimana-mana setiap saat, tetapi aku mengisi lazuardi saat fajar atau saat matahari terbenam. Keindahankubegitu menakjubkan hingga tak seorangpun dari kalian akan terbetik di pikiran orang."

MERAH tidak bisa diam lebih lama dan berteriak: "Aku adalah Pemimpin kalian. Aku adalah darah - darah kehidupan! Aku adalah warna bahaya dan keberanian. Aku berani untuk bertempur demi suatu kausa. Aku membawa api ke dalam darah. Tanpa aku, bumi akan kosong laksana bulan. Aku adalah warna hasrat dan cinta, mawar merah, poinsentia dan bunga poppy."

UNGU bangkit dan berdiri setinggi-tingginya ia mampu: Ia memang tinggi dan berbicara dengan keangkuhan. "Aku adalah warna kerajaan dan kekuasaan. Raja, Pemimpin dan para Uskup memilih aku sebagai pertanda otoritas dan kebijaksanaan. Tidak seorangpun menentangku. Mereka mendengarkan dan menuruti kehendakku." Akhirnya

NILA berbicara lebih pelan dari yang lainnya, namun dengan kekuatan niat yang sama: "Pikirkanlah tentang aku. Aku warna diam. Kalian jarang memperhatikan daku, namun tanpaku kalian semua menjadi dangkal. Aku merepresentasikan pemikiran dan refleksi, matahari terbenam dan kedalaman laut. Kalian membutuhkan aku untuk keseimbangan dan kontras, untuk doa dan ketentraman batin."

Jadi, semua warna terus menyombongkan diri, masing-masing yakin akan superioritas dirinya.
Perdebatan mereka menjadi semakin keras. Tiba-tiba, sinar halilitar melintas membutakan.
Guruh menggelegar. Hujan mulai turun tanpa ampun. Warna-warna bersedeku bersama ketakutan,
berdekatan satu sama lain mencari ketenangan.

Di tengah suara gemuruh, hujan berbicara:
"WARNA-WARNA TOLOL, kalian bertengkar satu sama lain, masing-masing ingin mendominasi yang lain. Tidakkah kalian tahu bahwa kalian masing-masing diciptakan untuk tujuan khusus, unik dan berbeda? Berpegangan tanganlah dan mendekatlah kepadaku!" Menuruti perintah, warna-warna berpegangan tangan mendekati hujan, yang kemudian berkata:

"Mulai sekarang, setiap kali hujan mengguyur, masing-masing dari kalian akan membusurkan diri sepanjang langit bagai busur warna sebagai pengingat bahwa kalian semua dapat hidup bersama dalam kedamaian.

Pelangi adalah pertanda Harapan hari esok."
Jadi, setiap kali HUJAN deras menotok membasahi dunia,
dan saat Pelangi memunculkan diri di angkasa marilah kita
MENGINGAT untuk selalu MENGHARGAI satu sama lain.
MASING-MASING KITA MEMPUNYAI SESUATU YANG UNIK KITA SEMUA DIBERIKAN KELEBIHAN UNTUK MEMBUAT PERUBAHAN DI DUNIA DAN SAAT KITA MENYADARI PEMBERIAN ITU, LEWAT KEKUATAN VISI KITA,
KITA MEMPEROLEH KEMAMPUAN UNTUK MEMBENTUK MASA DEPAN ....
Persahabatan itu bagaikan pelangi:
Merah bagaikan buah apel, terasa manis di dalamnya.
Jingga bagaikan kobaran api yang tak akan pernah padam.
Kuning bagaikan mentari yang menyinari hari-hari kita.
Hijau bagaikan tanaman yang tumbuh subur.
Biru bagaikan air jernih alami.
Ungu bagaikan kuntum bunga yang merekah.
Nila-lembayung bagaikan mimpi-mimpi yang mengisi kalbu


disadur dari : renungan harian

Minggu, 01 Februari 2009

Masyarakat Manado, menutup rangkaian kegiatan Natal dengan Festival Pigura

Menutup semua rangkaian acara pelaksanaan Natal yang telah diselenggarakan selama bulan Desember tahun lalu, masyarakat Minahasa, mempunya tradisi unik yaitu tradisi “Kunci Taon”, atau disingkat “Kuncikan” disebut juga dengan nama “Pigura”. Tradisi ini diselenggarakan setahun sekali, yaitu setiap hari Minggu pada bulan Januari.

Biasanya di setiap kampung, saat moment-moment tersebut beberapa kelompok masyarakat yang biasanya terdiri dari kelompok lingkungan maupun gereja, mengadakan pawai keliling kampung dengan mengenakan pakaian-pakaian yang lucu-lucu, atau dengan mengangkat tema-tema sosial, seperti layaknya pergelaran pawai karnaval 17 Agustus.

Dari pawai-pawai di kampung-kampung tersebut yang dapat menarik perhatian pengunjung dari berbagai daerah maka, sudah hampir tiga tahun ini pemerintah kota Manado dalam rangka menunjang Manado sebagai kota pariwisata dunia, tradisi “Kuncikan” diselenggarakan dalam sebuah festival, dengan melakukan penilaian pada atraksi dan penampilan yang terbaik. Dan kegiatan ini pun menjadi puncak dari perayaan Pigura, yang diselenggarakan pada hari Minggu akhir bulan Januari.

Kegiatan ini mendapat apresiasi yang luar biasa dari masyarakat, dengan banyaknya peserta yang mengikuti event tersebut. Tua dan muda turut ambil bagian dalam pelaksanaan Pigura, dengan melakukan pawai keliling kota Manado. Bahkan ada seorang Nenek yang berusia sekitar 80 tahunan, tampak bersemangat menjadi peserta dalam festival tersebut dengan mengenakan seragam anak SMA, mengusung tema pendidikan. Para penonton pun berjubel memadati ruas-ruas jalan yang dilewati pawai Pigura ini.

Menurut salah seorang pengunjung Pak Yansen, tradisi Kunci Taon atau Pigura ini merupakan sebuah tradisi untuk menutup semua rangkaian kegiatan pelaksanaan perayaan Natal yang dirayakan di bulan Desember. Dan tradisi ini sudah ada turun-menurun di daerah Minahasa pada umumnya. Sehingga setiap tahun pasti ada pawai semacam ini yang di gelar di kampung-kampung maskipun hanya skala kecil.
Snapshot Kunci Taon 2009

Peserta dari salah satu Kelurahan
Insert koruptor
Walikota Manado (katanya sih..)

Para penonton yang memadati jalan.

Neli (nenek lincah), biar tua asal aksi
Ayoo... Sekolah (biar tua yang penting rajin sekolah)

Simbol kerukunan antar Umat beragama
Tarian Cakalele
Kesenian Musik Bambu
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...