Travling ala backcaper yang penuh kejutan ke Pulau Siau Kab. Kepulauan Sitaro
Bersandar di Pelabuhan Ulu
Pelabuhan Ulu
Tak terasa, kapal sudah bersandar
di Pelabuhan Ulu, tepat pada pukul 9 pagi. Empunya mobil yang kami bawa yaitu
si Rio sudah menunggu di pelabuhan. Setelah melakukan pembayaran ongkos angkut
sekitar Rp. 800.000,- , kami pun segera turun dari kapal, bersamaan dengan
mobil Mitsubihi Kuda yang kami bawa menuju tempat tinggal Rio, yang tak jauh dari pelabuhan. Rio sendiri
juga merupakan teman se Gereja di Manado, namun dia sudah bekerja di kantor
Pegadaian dan ditugaskan di Ulu Siau dan sudah dua tahun di pulau ini.
Pertokoan di Pusat Kota Ulu-Siau
Kota Ulu sendiri merupakan pusat
kota bisnisnya pulau Siau, yang terlatak tepat berada di lereng gunung api
Karangetan. Aktifitas bisnis disini sudah cukup lumayan rame, bahkan sudah ada
toserba atau toko swalayannya, yaitu Happy Mart, yang baru saja
dilounching pembukaannya pada tiga hari lalu sebelum kami datang kesana. Selain
didominasi oleh toko kelontong yang menjual bahan bangunan, di Ulu banyak terdapat juga ruko-ruko pengumpul hasil bumi
seperti biji dan fuli buah pala, yang merupakan komoditas andalan pulau ini.
Rata-rata aktifitas bisnis perdagangan disini didominasi oleh etnis tionghoa,
seperti layaknya aktifitas bisnis ditempat lain di Indonesia.
Gunung Karangetan, yang tak lelah
beraktifitas.
Gunung Api Karangetan
Gunung ini merupakan salah satu gunung berapi
teraktif di dunia. Setiap hari selalu mengeluarkan larfa pijar. Dahulu katanya, gunung ini pernah meletus dhasyat pada beberpa puluh tahun yang lalu. Pada beberapa bulan lalu gunung Karangetan juga sempat melakukan aktivitas vulkanik dengan status
awas, sehingga sempat menghawatirkan penduduk disekitarnya. Letusan-letusan kecil
memang sering terjadi, dan tak terhitung jumlahnya. Jika melewati pulau Siau akan menuju ke Pulau
Sangihe atau pulau Talaud pada malam hari dengan menggunakan kapal, akan
terlihat jelas luapan larva pijar yang yang menganga kemerahan yang dimuntahkan
oleh gunung ini. Namun masyarakat yang tinggal di lereng gunung ini, sudah
merasa biasa dengan aktivitas vulkanik yang ditimbulkannya. Bahkan
masyarakat disini menganggap bahwa keberadaan gunung Karangetan adalah berkah
tersendiri yang diberikan Tuhan kepada masyarakat di Siau, karena dengan adanya
gunung ini, tanah di seluruh pulau ini menjadi subur dengan pupuk abu
vulkaniknya.
Dua hari dua malam saya tinggal di Ulu, di rumah kontrakan teman kami Rio yang tinggal bersama istrinya Jelly, dan mereka adalah keluarga muda yang baru menikah pada beberapa bulan lalu. Saat hari pertama, sekitar pukul 5 pagi saya sudah bangun dan menikmati pagi di kota Ulu. Didepan rumah, jika kepala mengadah keatas, akan terlihat dengan jelas Gunung Karangetan tepat didepan kami tinggal. Biasanya kalau pagi hari belum ada awan yang menutupinya, sehingga saya puas menikmati keindahan dan keanggunan dari gunung ini.
Mengelilingi Pulau Siau dengan modal motor pinjaman.
Kantor Bupati Sitaro di Ondong
Setelah sarapan pagi, saya
mengajak Fanny untuk jalan-jalan menuju Ondong, dengan meminjam sepeda motornya
Rio. Ondong adalah ibu kota Kabupaten Kepulauan Sitaro. Di Ondong inilah pusat
pemerintahannya, disini terdapat bangunan Kantor Bupati dan kantor-kantor SKPD
lain. Dari Ulu menuju Ondong hanya ditempuh kurang dari 30 menit, atau sekitar
7 Km dengan jalan beraspal hotsmix lebar hanya bisa dilalu dua kendaraan.
Kondisi medan jalannya naik turun dan berkelok-kelok dengan sisi-sisinya tebing
dan jurang yang dalam. Sehingga kami perlu berhati-hati, dalam membawa kendaraan.
Di Ondong juga ada pelabuhan, yaitu pelabuhan Lehi. Biasanya kapal cepat
Express Bahari dan KM. Quin Merry berlabuh di pelabuhan ini.
Jalan dari Ulu menuju ke Ondong
Setelah berputar-putar di Ondong,
kami tidak kembali menggunakan jalan yang sama menuju Ulu, namun kami melanjutkan
menelusuri jalan dari Ondong terus ke arah selatan. Kami tidak tahu, jalan ini
nanti akan berujung dimana, karena rasa penasaran terus menuntun kami
menelusuri jalan itu. Kondisi jalannya bagus namun lebih sempit, bila dibandingkan dari Ulu
ke Ondong, dan medanya masih hampir sama yaitu naik turun serta
berkelok-kelok, namun kali ini melewati pesisir pantai.
Beberapa perkampungan telah kami
lewati, dan sepanjang jalan dari rumah-rumah di perkampungan yang kami lewati
tak ada satupun rumah reyot atau rumah-rumah papan dengan kondisi yang jelek.
Hampir semua rumah penduduk terbuat dari tembok, dan rata-rata rumahnya
bagus-bagus. Lantainya sudah berkeramik, dengan disain arsitekturnya yang semi
modern. Dengan melihat bangunan-bangunan rumah penduduk yang bagus-bagus
tersebut, menandakan akan tingkat
kesejahteraan masyarakat Pulau Siau yang sangat baik, bila dibandingkan dengan
perkampungan ditempat lain yang pernah saya lewati.
Buah Pala sebagai sumber penghidupan utama.
Beberapa rumah yang kami lewati,
di halaman rumahnya banyak yang sedang menjemur biji buah Pala dan fulinya.
Ya... masyarakat disini memang diberkati dengan tanaman Pala yang kualitasnya
nomer satu di dunia. Harga biji buah Pala untuk kualitas A dihargai antara Rp.
130.000 – Rp.150.000,- / kilonya, untuk kualitas dibawanya, antara Rp.80.000
sampai Rp.100.000 an lebih / kilonya. Jika pasaran turun, harganya tidak mati
dibawah Rp.50.000,-/kilonya. Sedangkan fuli atau kulit ari yang menyelimuti
biji pala, harganya lebih mahal. Perkilonya bisa tembus sampai Rp. 200.000 an. Sedangkan
tiap pohon Pala, dapat dipanen setiap tiga bulan sekali, dan tanaman ini tidak
mengenal musim, sehingga selalu ada buah pala yang dihasilkan dari pulau ini.
Rata-rata per pohonnya bisa menghasilkan 2 – 3 karung besar buah Pala.
Sedangkan kulit buahnya bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam produk makanan,
seperti manisan, sirup, selai atau bisa juga dibuat wine pala. Bisa dibayangkan
berapa keuntungannya yang didapat.
Itulah sebabnya, di
kanan-kiri jalan saat kami mengelilingi
pulau ini, dipenuhi oleh pohon buah pala, dan ada juga tanaman cingkeh namun
tidak sebanyak pohon buah pala. Jika didaerah lain si Sulawesi Utara komonditas
kelapa menjadi komonditas utama, namun di pulau Siau tanaman kelapa malah
kurang.
Meskipun tinggal didaerah
kepulauan, namun aktivitas melaut atau profesi sebagai nelayan kurang diminati. Ini bisa
dilihat, sepanjang jalan ketika saya menyusuri jalanan melewati perkampungan
dipinggir pantai, tak ada kapal atau perahu nelayan yang tertambat ditepinya.
Hanya beberapa perahu tradisional kecil saja, yang jumlahnya sangat sedikit.
Dengan hasil pala yang begitu menggiurkan tersebutlah, profesi mencari ikan
hanya dijadikan sebagai sampingan, bila dibandingkan dengan masyarakat yang
tinggal di kepulauan lainya, yang menjadikan profesi nelayan sebagai profesi
utama mata pencaharian mereka.
Harga BBM yang mencekik leher
Motor kami kendarai secara
bergantian. Kami masih belum tahu ujung dari jalan yang kami lalui. Akhirnya
ada sebuah warung, yang disitu juga menjual bensin eceran. Kami pun singgah
untuk menambah bensin motor kami, karena ketika dari Ulu hanya mengisi satu
liter saja, takutnya jalanan masih jauh dan kehabisan bensin dijalan. Harga
bensin disini benar-benar mencikik leher, per liternya rata-rata dijual antara
Rp.12.000,- s/d Rp.15.000,- /liter. Terkadang katanya, pas baru
langka-langkanya BBM, harga bensin bisa tembus Rp.25.000,-/liter. Jika dipikir, harga bensin disini jauh lebih
mahal daripada di Pulau Sangihe dan di Pulau Talaud yang lebih jauh dari pusat
pemerintahan Provinisi. Jika di Pulau Sangihe, tahun 2008 lalu waktu saya pergi
kesana harga bensin eceran mahal-mahalnya antara Rp.6000,- s/d Rp.7000,- /
liternya. Sedangkan di pulau Talaud harga bensin eceran berkisar Rp. 7000,- s/d
Rp. 9000,- / liternya.
Di Pulau Siau ada satu pom bensin
Pertamina, namun setiap kali pasokan BBM datang dari Bitung, langsung habis di
penjual eceran yang telah mengantri lebih dahulu. Itulah sebabnya ongkos
kendaraan umum disini juga lumayan mahal. Sekali jalan menggunakan angkot
sekali naik rata-rata harus keluar Rp.5000,-
jika jaraknya lebih jauh tentu saja lebih mahal. Angkota yang digunakan
disni adalah mobil pickup yang sudah dipasang kap belakang, dan rata-rata
dimodifikasi dengan dipasang sound system yang lengkap. Sehingga sepanjang
perjalanan angkota itu beroprasi, selalu full dengan musik, dengan suara yang
keras.
Tembus di Pelabuhan Sawang
Setelah bertanya kepada penjual
warung akan ujung dari jalan yang kami lalui, katanya nanti kalau kami terus
berjalan mengikuti jalan itu akan tembus di Sawang dan dari Sawang bisa
langsung tembus kembali ke Ulu. Dari situ hati kami sudah tenang, karena pasti
bisa kembali ke Ulu melalui jalan ini. Dari tempat kami bertanya, menuju ke
Pelabuhan Ulu ternyata sudah tidak terlalu jauh. Hanya beberapa tanjakan dan
melewati hutan pala, kemudian turun menyusuri jalan pesisir pantai lagi dan
langsung dapat kelihatan teluk Ulu dan pelabuhan Sawang. Di Pulau Siau ini
memang ada tiga pelabuhan yaitu Pelabuhan Ulu, ini adalah pelabuhan pertama
yang sekarang baru dalam tahap perbaikan, kemudian pelabuhan Ondong di desa
Lehi, dan terakhir adalah pelabuhan Sawang.
Terlihat pelabuhan Sawang dan teluk Ulu
Pelabuhan Sawang ini, biasanya disinggahi oleh kapal turbo jet Prima Oasis, dan kapal KM. Victory. Di situ juga
terdapat pelabuhan kapal Ferry, namun ternyata KMP. Lokongbuana lebih suka
berlabuh di pelabuhan Ulu karena lebih dekat dengan pusat bisnisnya.
Kapal Turbo Jett Prima Oasis sedang berlabuh sejenak menaikan penumpang di Pelabuhan Sawang
Dari Sawang menuju Ulu, sudah
tidak jauh lagi. Hanya beberapa kilo meter saja kami tempuh dengan motor.
Sebenarnya setelah sesampai di Ulu, kami akan melanjutkan pergi ke Kalarung, yaitu daerah bagian
timur dari pulau Siau, tapi gara-gara jembatan yang baru diperbaiki dan karena
perut kami sudah keroncongan akhirnya kami malas untuk mencari jalan alternatif
lain, untuk pergi ke Kalarung. Namun malam harinya, akhirnya kami sempat pergi
kesana dengan menggunakan mobil. Dengan maksud memancing ikan di pantai
Kalarung. Dikarenakan pada waktu itu air laut sedang surut, setelah beberapa
kali kail kami lemparkan dan tak ada jawaban dari ikan disana, akhirnya kami
pindah mengail di pelabuhan sawang, dan hanya dapat ikan-ikan kecil yang
jumlahnya hanya beberapa ekor saja.
wow..kisah perjalanan yang luarbiasa menyenangkan, menarik minat hati untuk bisa berkunjung juga ke Pulau Siau suatu saat nanti
BalasHapusNice Posting, jadi kangen sama Sawang & Kampung Tanaki tercinta,hehe.. btw di Lehi sdh memprihatinkan tempatnnya kurang teruurus dan banyk sampah di bibir pantai :(
BalasHapusWuaaaa cerita perjalanan yang keren banget. Indonesia memang keren ya.
BalasHapus