Melengkapi kisah penjejakanku di Sulawesi Utara, tinggal Kabupaten Kepulauan SITARO yang belum pernah aku jejaki. Kata SITARO sendiri merupakan kepanjangan dari Siau, Tanggulandang dan Biaro, karena Kabupaten yang baru dimekarkan dari Kab. Kepulauan Sangihe tahun 2007 ini memiliki tiga gugusan pulau besar tersebut diatas yang merupakan wilayah administratifnya.
Map Kabupaten Kepulauan Sitaro
Berikut adalah foto satelit dari ketiga gugusan pulau tersebut :
Pulau Siau
Pulau Tanggulandang
Pulau Biaro
Kabupaten SITARO letaknya masih lumayan cukup dekat dengan Ibu kota Provinisi Sulut, jika dibandingkan dengan ke Kab. Kepulauan Sangihe atau ke Kab. Kepulauan Talaud. Untuk ke Sitaro atau lebih tepatnya ke Pulau Siau yang merupakan pulau terbesar, dapat ditempuh dengan menggunakan kapal. Tiap hari ada beberapa jenis kapal yang melayani penyebarangan kesana, jika membawa mobil atau muatan banyak bisa menggunakan kapal Ferry KMP. Lokongbanua dengan waktu tempuh antara 8 s/d 9 jam. Namun jika hanya berangkat tanpa banyak barang bawaan, bisa menggunakan kapal cepat Express Bahari, atau Kapal turbo jet Oasis, dengan waktu tempuh sekitar 2.5 s/d 3 jam an atau dengan kapal penumpang biasa KM. Quin Merry dan KM. Victoria, dengan waktu tempuh sekitar 5-6 jam.
Kali ini kesempatan penjejakanku datang kesana berawal ketika salah seorang teman se Gereja yang merupakan temen baikku, memberitahukan kalau ia akan kesana untuk mengantarkan mobil temannya dari Manado ke Pulau Siau. Mendengar info tersebut, langsung kutawarkan diri jika tak keberatan untuk menemaninya kesana, dan memberitahukan kepadanya bahwa biaya transportasi dan akomodasi selama disana saya akan tanggung sendiri. Ia pun juga senang karena ada teman yang akan menemaninya pergi ke pulau itu, karena ia sendiri pun baru sekali ini mau pergi kesana.
Niatku mau pergi kesana, didukung dengan aktivitas kantor yang sudah tidak terlalu padat, sehingga aku dapat mengambil cuti untuk beberapa hari. Awalnya kami akan berangkat pada hari Minggu, 2 Oktober 2011. Namun setelah sampai di pelabuhan Ferry di Bitung, KMP. Lokongbanua yaitu kapal ferry yang akan kami naiki, dek bawahnya sudah full dengan truk-truk besar dan tak ada lagi space yang tersisa untuk satu mobil lagi. Menurut salah seorang ABK, jika ingin mengangkut mobil harus datang pagi-pagi atau memboking tempat dulu, karena kalau tidak, kami tidak akan kebagian space lagi. Akhirnya teman saya si Fanny, mendaftarkan nama dan akan berangkat pada jadwal keberangkatan berikutnya yaitu pada hari Selasa malam, 4 Oktober 2011. Untuk mengobati kekecewaan karena sudah sampai di pelabuhan Bitung dan gagal menyebrang, akhirnya kami melemparkan kail yang kami bawa untuk memancing di pulau Siau di pelabuhan Ferry Bitung, hingga dua jam kami mengail di situ, tak ada satu ikan pun yang memakan umpan kami, bukannya terhibur malah semakin kecewa karena tidak dapat ikan hehehe.
Kejutan pertama, mendapat tiket kapal gratis.
Setelah menunggu jadwal keberangkatan selanjutnya, akhirnya kami pun berangkat pada hari Selasa malam, 4 Oktober 2011. Pagi-pagi sekali, teman saya si Fanny sudah datang membawa mobil yang akan kami angkut, dan sudah terpakir di dek bawah di sudut paling belakang KMP. Lokongbanua. Sedangkan saya sendiri menyusul pada sore harinya sepulang dari kantor. Biasanya, kapal diberangkatkan pada pukul 08.00 malam, namun entah karena muatan kapal waktu itu dinilai melebihi kapasitas, hingga kapal terlambat untuk berlayar. Karena biasanya sebelum kapal berlayar ada petugas Syahbandar yang memeriksa kondisi dan keadaan kapal, untuk menjamin keselamatan berlayar. Malam itu kapal ferry yang kami naiki ini memuat 20 mobil yang terdiri dari 4 mobil kecil, termasuk mobil yang kami bawa dan sisanya ada 16 truk besar yang penuh dengan muatan. Hingga pukul 10 malam, kapal belum juga diberangkatkan, penumpang pun sudah mulai gelisah dan mencari tahu apa yang terjadi, termasuk saya tentunya. Selidik punya selidik, ternyata surat berlayar belum dikeluarkan dari Syahbandar yang punya otoritas pelayaran di lautan Indonesia. Hingga pukul 12 malam, melilhat cuaca waktu itu cukup baik dan tenang, akhirnya pihak Syahbandar mengeluarkan surat berlayar untuk kapal yang kami naiki.
Naik kapal Ferry KMP. Lokongbanua ini mengingatkan aku pada KMP. Muria yang melayani penyebrangan Jepara – Karimun Jawa, waktu keluargaku masih tinggal di pulau itu, pada sekitar 5 tahun yang lalu. Dahulu kalau mau menjenguk orang tuaku, tiap tahun selalu naik Ferry atau kapal cepat KMC. Kartini, namun sekarang kalau mau pulang kampung, Tuhan upgrade perjalananku harus naik pesawat, dari Manado ke Jakarta atau ke Surabaya, kemudian baru ke Solo - Wonogiri. Naik kelas sih...namun naik pula ongkosnya hehe..
Tidur di dek paling atas, beratapkan langit, berselimutkan angin malam.
“Kembali ke leptop”..... Selama perjalanan, meskipun ada dek kedua yang khusus untuk penumpang, dan ada tempat tidurnya disana, namun kami memilih dek paling atas untuk mengambil posisi tidur dan menanti perjalanan hingga sampai tempat tujuan. Meskipun beratapkan langit, dengan udara malam yang cukup dingin, namun saya cukup menikmatinya, apalagi cuaca malam itu sangat baik, dan tidak bergelombang. Tripku kali ini sangat beruntung. Ketika ABK mulai menarik uang tiket, biasanya jika membawa mobil hanya satu orang saja yang mendapat tiket gratis, namun waktu itu kami berangkat bertiga dan dikasih gratis semua. Begitu pula ketika kami hanya menggunakan satu matras untuk alas kami duduk-duduk diatas dek kapal, setelah Cheff atau salah seorang perwira kapal melihat kami menggunakan satu matras saja, ia menyuruh anak buahnya mengambilkan dua matras lagi untuk kami. Sungguh berkat Tuhan yang luar biasa bagi kami, malam itu.
Singgah sejenak di Pulau Tanggulandang
Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 5 pagi, saya terbangun dan melihat ada gugusan pulau-pulau, dan kapal pun mengarahkan haluannya menuju salah satu pelabuhan bagian utara pulau itu. Ya... ini adalah pulau Tanggulandang. Semua kapal yang menuju pulau Siau, biasanya singgah dahulu ke Pulau ini untuk menurunkan atau menaikkan penumpang dari Bitung ke Tanggulandang atau dari Tanggulandang ke Siau, begitu pula sebaliknya.
Salah satu perkampungan di sudut utara pulau Tanggulandang, foto diambil dari atas kapal, ketika berlabuh sejenak di pelabuhan ferrynya. |
Tampak dari atas kapal, Pulau Tanggulandang bertopografi bergunung-gunung, areal perkampungannya berada di celah-celah bukit, dan sebagian berada diatas bukit. Disebelah pulau Tanggulandang, ada sebuah pulau yang terbentuk dari gugusan gunung berapi, yaitu pulau Gunung Ruang, yang dipisahkan oleh sebuah selat dengan Pulau Tanggulandang. Gunung ini pernah meletus beberapa tahun lalu, dan sisa-sisa lahar panas yang telah membeku dari puncak gunung hingga meleh ke laut masih tampak jelas, menandakan kedhasyatan letusannya waktu itu. Untuk sementara ini, gunung tersebut masih terdiam, dan tak ada aktifitas vulkaniknya. Itulah sebabnya pulau Tanggulandang mempunyai tanah yang subur, oleh abu vulkanik dari gunung ini, dan Pulau Tanggulandang merupakan penghasil buah Salak yang rasanya manis dan buahnya besar-besar, di Sulawesi Utara selain di Desa Pangu Kab. Ratahan.
Setiap kali kapal singgah di pulau ini untuk menaikan dan menurunkan penumpang, penduduk setempat menaiki kapal untuk menjajakan buah salak dari hasil kebun mereka. Untuk satu kardus kecil, awalnya mereka menawarkan dengan harga Rp.20.000,-, namun setelah kapal mau berangkat kembali, mereka menurunkan harga antara Rp. 10.000,- hingga kalau beruntung dapat Rp. 5000,- Per kardusnya.
Setelah kurang lebih 30 menit kapal Ferry menurunkan penumpang dan beberapa mobil truk di pulau ini, serta menaikkan beberapa penumpang dari Tanggulandang yang mau menuju ke Pulau Siau. Klakson kapal kembali berbunyi, sebagai tanda kapal ini akan kembali berlayar. ABK Kapal kembali ke posisinya masing-masing, dan tambatan tali pun mulai dilepaskan untuk meninggalkan pelabuhan Ferry di Tanggulandang, menuju ke Pulau Siau. Perjalanan dari Pulau Tanggulandang ke Pulau Siau, jika menggunakan Ferry masih ditempuh sekitar 2 jam.
Satu setenga jam berlalu, dan Kapal Ferry mulai memasuki perairan pulau Siau. Tampak sebelah kanan gugusan pulau Bahoro yang melindungi teluk Pulau Siau. Katanya di Pulau Bahoro ini ada gua-gua pantai, yang banyak terdapat sarang burung walet, juga disalah satu sisinya terdapat pesisir pantai yang pasirnya putih dan lembut. Sedangkan disebelah kiri kapal, terlihat Pulau Siau dengan Gunung Api Karangetan yang menjulang tinggi dari kejauhan. Pulau ini memang bertopografi bergunung-gunung dan berbukit, dengan hutanya yang masih lebat dan menghijau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar