Setelah hampir empat tahun tinggal di Manado dan telah menjelajah hampir semua pelosok Sulawesi Utara, namun baru kali ini saya mendapat kesempatan untuk melakukan trip ke Provinsi Gorontalo. Propinsi yang dulunya masih merupakan satu bagian dari Propinsi Sulut, namun setelah pemekaran pada tahun 2000 lalu daerah ini memiliki wilayah administrasinya sendiri, dengan gubernur pertamanya adalah Fadell Mohamad yang sekarang menjabat sebagai Menteri Kelautan RI.
Kesempatan ini saya peroleh setelah kami bersama team kerja, melakukan tugas pemberdayaan masyarakat di daerah perbatasan antara Provinsi Gorontalo dan dan Provinsi Sulawesi Utara yaitu tepatnya di desa Buata Kecamatan Atinggola Kab. Gorontalo Utara. Kesempatan pertama sebenarnya telah saya lakukan pada akhir Januari lalu, namun berhubung waktu yang terlalu singkat yang mengharuskan kami harus segera kembali ke Manado, dan sampai di kota Gorontalo pada waktu itu sudah agak malam, maka saya tidak bisa menikmati pemandangan dan suasana kota secara keseluruhan. Pada kesempatan pertama itu, saya dan teman-teman hanya menyempatkan membeli Pia (makanan khas yang terkenal di Gorontalo), setelah itu langsung pulang ke Manado. Alhasil rasa tidak puas dan penasaran, mengharuskan saya harus dapat datang lagi ke daerah ini.
Pada kesempatan kedua inilah, yaitu pada pertengahan bulan Februari 2011, saya sengaja memprovokasi team kerja saya setelah selesai melakukan beberapa kegiatan memberi bantuan pelatihan kepada masyarakat di desa Buata, untuk kembali main ke kota Gorontalo. Perjalanan dari daerah perbatasan di Desa Buata menuju pusat kota Gorontalo, masih lumayan cukup jauh, yaitu masih sekitar tiga jam atau kurang lebih sekitar 100-an kilo lebih perjalanan. Kondisi jalan di beberapa tempat lumayan cukup bagus, namun dibeberapa tempat lain mengalami kerusakan dan penyempitan, apalagi dibeberapa ruas jalan yang berada di pinggir sungai sebelum masuk daerah Isimu, badan jalannya hampir habis karena tergerus oleh erosi sungai, dan ada beberapa jembatatan dan gorong-gorong yang mengalami kerusakan sehingga untuk sementara menggunakan jembatan darurat, dan mobil yang saya kendarai pun harus melaju ekstra hati-hati. Jika ditempuh dari Kota Manado menuju Gorontalo, perjalanan dapat ditempuh kurang lebih 9 (Sembilan) jam, atau sekitar 400-an Km.
Jalur trans Sulawesi yang mengambil arah ke Palu atau bahkan ke Makasar, nanti akan dipisahkan oleh sebuah perempatan di daerah Isimu. Jika kita menggambil arah ke kanan, itu akan menuju ke daerah Sulteng dan Sulsel, namun untuk arah ke Gorontalo kita harus mengambil arah ke kiri. Memasuki Limboto sebelum ke pusat kotanya, jalan-jalannya lumayan cukup lebar dan tata ruang kotanya tertata lumayan cukup bagus dan rapi. Pagar-pagar tinggi rumah di kanan-kiri jalan tertata sangat rapi dan seragam, dan lalu lalang bentor (becak motor) menambah laju keramaian kota ini.
Tampak dari kejauhan sebuah menara menjulang tinggi, bentuknya mirip seperti menara Efell di Paris Prancis. Ya inilah menara Agung Gorontalo yang merupakan salah satu iconnya dari kota Gorontalo. Menara ini terbuat dari rangka besi, dan tingginya kurang lebih 30 meter, yang terdiri dari empat lantai. Untuk mencapai puncaknya, pengunjung disediakan lift yang dapat mengangkat maksimal enam orang, dengan membayar tiket naik sebesar Rp.10.000,-/orang. Dari puncak menara, kita dapat melihat dengan jelas seluruh Kota Gorontalo, dan hamparan danau Limboto yang telah dipenuhi oleh enceng gondok dan tanaman air lainnya, sehingga hanya nampak kehijauan seperti areal persawahan. Sayang setelah sampai di puncak menara, saya melihat ada beberapa bagian dari menara ini yang kurang mendapat perawatan, terutama masalah kebersihan dan ada beberapa kaca yang telah kusam namun tidak dibersihkan. Sehingga saya tidak bisa melihat dengan jelas pemandangan yang disajikan.
Memasuki pusat kotanya, jika kita baru pertama masuk di kota ini, kita akan dibingunkan oleh banyaknya perempatan jalan. Karena kotanya cukup landai dan datar, tidak seperti kota Manado yang topografinya banyak berbukit-bukit, Kota Gorontalo terlihat tampak lebih luas dan mempunyai banyak jalan dan lorong-lorong jalan, sehingga akan membuat kita mudah kesasar salah arah jika tidak berhati-hati. Mayoritas penduduknya beragama muslim, dimana-mana terlihat bangunanan Mesjid yang megah-megah, rumah-rumah penduduknya pun nampak seperti rumah-rumah dengan gaya arsitektur seperiti di daerah perkotaan pulau jawa. Itulah sebabnya saya agak sedikit merasa seperti pulang ke kampung halaman di Jawa, cuma yang membedakan hanya disini banyak bentor yang berlalulang. Sedangkan di jawa tidak ada bentor, yang ada hanya becak.
Pusat perbelanjaannya pun lumayan cukup lengkap, ada beberapa mall yang telah berdiri megah disana. Begitu pula dengan ruko-ruko serta pasar swalayan mini, yang hampir tersebar dibeberapa sudut-sudut kota. Hotel berbintang yang baru saya lihat mungkin hanya satu yaitu Quality Hotel, yang berada di tengah pusat kota Gorontalo. Namun hotel-holel kelas Melati juga banyak beridiri di kota ini.
Malam hari setelah sampai di kota ini, teman-teman saya mengajak ke suatu tempat yang namanya Tangga 2000. Saya tidak tahu, kenapa tempat tersebut diberi nama tangga 2000, dalam pikiran saya mungkin itu nama sebuah tempat wisata diatas bukit yang untuk mencapainya harus melewati anak tangga berjumlah 2000. “wah capaek juga, nanti pikirku”. Ternyata itu adalah sebuah tempat wisata yang berada di dekat pelabuhan Gorontalo, terletak di tepi pantai. Disitu banyak orang berjualan jagung bakar dan beberapa makanan lain. Sayang sekali, saya kesini sudah malam, jadi tidak dapat melihat dengan jelas pemandangan yang ada disana. Disebut Tangga 2000, mungkin disana berdiri sebuah monumen pemekaran dari Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2000 lalu.
Keesok harinya, setelah cek out dari sebuah penginapan, teman-teman mengajak untuk melihat komplek kantor Gubernur. Ternyata komplek perkantoran Gubernur dan beberapa kantor-kantor SKPD Provinsi Gorontalo dibangun diatas sebuah bukit, yang lumayan cukup tinggi. Dari kantor yang teletak diatas bukit tersebut, maka akan terlihat dengan jelas landscape kota Gorontalo. Alasan kenapa Pak Fadel Mohamad dulu memilih bukit tersebut dijadikan komplek perkantoran, mungkin jika saya mengkira-kira, kota Gorontalo sebenarnya sangat rawan banjir. Karena jika dilihat, kota ini berada disebuah lembah datar dan diantara kota tersebut terdapat danau Limboto yang telah mengalami pendangkalan. Sehingga dikawatirkan jika curah hujan cukup tinggi, danau Limboto akan meluap dan mengakibatkan banjir. Supaya pemerintahan tetap terus jalan dalam kondisi darurat, maka dibangunlah komplek kantor pemerintahan diatas bukit tersebut. “itu baru perkiraan saya, namun saya tidak tahu alasan pastinya kenapa diabangun diatas bukit itu”.
Kemudian setelah selesai mengelilingi komplek kantor Gubernur, kami kembali mengelilingi kota dan menuju ke benteng Otanaha, yaitu sebuah benteng peninggalan bangsa Portugis yang dibangun pada tahun 1522. Benteng ini mempunyai tiga bagian bangunan pertahanan yang dibangun diatas sebuah bukit, yang langsung menghadap dengan danau Limboto. Sehingga dari salah satu bagian bangunan benteng tersebut kita dapat melihat dengan luas Danau Limboto, yang beberapa bagiannya telah mengalami pendangkalan seperti danau Rawapening di Ungaran Jawa Tengah. Untuk memasuki benteng ini, kita dikenakan biaya tiket masuk Rp.5000,-/orang. Seperti halnya beberapa tempat yang dijadikan sebagai tempat kunjungan wisata di Indonesia, beberapa fasilitas yang disediakan untuk pengunjung disini pun tak luput dari tangan-tangan jail yang kurang kerjaan, dengan menuliskan beberapa coretan-coretan sebagai kenang-kenangan mereka, bahwa mereka pernah berkunjung ketempat itu. Tentunya hal ini merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab dan malah merusak dan membuat kumuh fasilitas yang disediakan, mohon para pembaca yang membaca blog saya ini tidak meniru hal-hal seperti tersebut, jika ingin membuat kenang-kenangan ditempat-tempat wisata, cukup berfoto saja ok.
Selesai melihat dan berfoto di benteng Otanaha, saatnya menyisir sajian kuliner di kota ini. Makanan khasnya di daerah ini adalah beberapa makanan yang terbuat dari jagung, dan yang paling terkenal adalah “binte”, yaitu semacam sup jagung, dengan dicampur oleh parutan kelapa muda. Rasanya lumayan enak, segar dan hangat. Selain itu juga jagung rebus biasa yang disajikan dengan bumbu dari parutan kelapa yang telah dikasih rempah-rempah sehingga rasanya agak pedas dan dicampur dengan irisan daun pangi atau papaya. Jagung rebus ini banyak dijual di pinggir-pinggir jalan, dan menjadi makanan favorit masyarakat Gorontalo.
Meskipun belum semua tempat di Kota Gorontalo dapat semua dikunjungi, namun setidaknya saya telah mendapat gambaran secara lebih luas tentang kota ini, dan yang terpenting adalah rasa penasaran saya sudah terobati. Maka saatnyalah, saya memutar setir mobil yang saya kendarai untuk kembali ke basse camp saya di kota Manado.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar