Rabu, 15 Oktober 2008

Urus SIM, Calo liar diusir, diganti "Calo berseragam".


Sebagai warga negara yang baik, tentunya wajib mentaati peraturan undang-undang yang berlaku. Terutama dalam hal ini adalah peraturan lalu lintas yang menunjukan setiap pengendara kendaraan bermotor wajib mempunyai SIM (Surat Izin Mengemudi). Karena saya sudah mahir mengendarai mobil, tanpa harus ikut kursus mengemudi di tempat pelatihan mengemudi, sehingga saya tidak mempunyai sertifikat mengemudi, serta belum punya SIM. Mengendarai mobil tanpa mempunyai SIM, tentu saja melanggar undang-undang. Maka saya pun berniat untuk mengurus SIM A sebagai syarat mengendarai kendaraan bermotor roda empat pribadi.


Setelah meminta surat keterangan domisili dari kantor Lurah setempat, maka saya segera menuju kantor Polres Minahasa Utara yang ”katanya” pengurusan SIM disana lebih murah, dibanding dengan di Manado.


Hari itu Rabu, 8 Oktober 2008, saya bersama teman yang juga akan mengurus perpanjangan SIM, dan saya SIM A baru, sama-sama berangkat ke Polres Minut. Tampak terpampang dengan jelas, informasi pengurusan SIM seperti bagan prosedure atau tahap-tahap yang harus dilewati dalam mengurus SIM yang di pasang di tembok ruangan depan loket pengurusan. Disitu juga di tempel dengan tulisan yang sangat jelas, sebuah informasi yang berisi ”Urus SIM jangan lewat calo, SIM baru : Rp. 75.000,- dan SIM perpanjangan : Rp. 60.000,-” yang ditempel di kaca loket pengurusan SIM.


Karena kami datang sudah agak siang, maka kami hanya sekedar tanya-tanya informasi tentang syarat-syarat dan biaya yang harus kami keluarkan dalam mengurus SIM tersebut, lagi pula saat itu kami belum membawa berkas-berkas seperti pas foto sebagai salah satu syarat yang harus disertakan. Kami pun bertanya pada salah satu petugas yang berjaga di dalam loket tersebut, dia katakan bahwa untuk SIM baru, biayanya Rp. 75.000,- lalu dia bertanya ”sudah ada sertifikat mengemudi ?”, saya jawab ”belum punya, karena saya tidak ikut kursus mengemudi, hanya belajar sendiri”. Lalu saya juga bertanya, bagaimana cara mengurus sertifikat, dan berapa biayanya. Petugas tersebut pun menjelaskan ”untuk memperoleh sertifikat, dapat langsung dibeli disini dengan biaya Rp. 150.000,-” baiklah kalau begitu, besok saya akan datang kembali untuk melengkapi berkas-berkas persyaratannya.


Besoknya, Kamis, 9 Oktober 2008. Saya dan teman kembali lagi untuk mengurus SIM tersebut, dengan membawa sejumlah uang yang sudah saya perkirakan cukup untuk proses pengurusan SIM itu. Setelah sampai didepan loket, saya dipersilahkan dulu untuk melakukan pengambilan sidik jari, dengan membayar Rp. 10.000,-. Setelah itu saya kembali lagi ke loket, tetapi petugas menyuruh langsung untuk melakukan tes kesehatan, dan membawa surat keterangan kesehatan. Tempat melakukan tes kesehatan, berada di ruangan tersendiri di samping loket utama. Ada satu petugas disitu, tetapi ternyata saya tidak di tes kesehatan, meskipun disitu saya melihat ada peralatan untuk mengetes tensi darah, timbangan badan, tes warna untuk mata dan lain-lain, tetapi ternyata tidak dipergunakan. Saya hanya ditanya, berapa tinggi badan, berat badan, dan tanggal lahir. Setelah ia ketik, tidak sampai 5 menit, saya pun diharuskan membayar Rp.30.000,- untuk selembar kertas tersebut.


Kemudian saya membawa surat keterangan kesehatan tersebut, ke loket utama, lalu seorang bapak salah satu petugas tersebut menanyakan kembali, ”bapak belum ada sertifikat mengemudi ya?” iya jawabku. ”begini pak, untuk sertifikat harganya Rp.200.000,-”. Saya pun lantas terperanjat dan kaget, lho kok sudah berubah harganya, katanya kemaren saya datang kesini harganya Rp.150.000,- sekarang kok sudah dua ratus, bantahku. ”emmm.... kata siapa pak” tanya petugas itu. ”kata bapak (saya lupa namanya), yang kemaren ada disini, dan ibu itu pun tahu saya kemaren datang kemari (sambil menunjuk ibu, salah satu petugas disana)” petugas tersebut pun lantas terdiam.


Saya melihat mimik muka petugas tersebut agak kecut, lantas mereka mulai main mata satu dengan yang lain untuk mengadakan konspirasi kepada saya. Berkas saya pun tidak segera diurusnya, dan mendahulukan yang datang dibelakang saya. Kemudian dia (petugas), keluar dari loket menemui saya di ruang tunggu. Kemudian berbicara, sambil berbisik, ”mmm.... tentang administrasinya bagaimana pak?” dia tanyakan kepadaku, lantas saya jawab ”lho khan belum to pak, 75 ribu to?” tegasku, sambil menunjuk informasi biaya SIM yang dipasang di depan kaca loket. ”ahh... bukan, 200 ribu kalau mau cepat !!”, saya kembali terperanjat, ”lho lantas yang dipasang itu apa!!” tanyaku agak keras. ”dia pun lantas kasih solusi, oo... baik lah, kalau gitu bapak ikut tes aja ya.., itu prosedurnya”, (sambil dia menunjuk papan bagan prosedur pengurusan SIM). ”Oke, saya khan mau ikut prosedur resmi, khan disitu nda boleh pake calo” jawabku.


Kemudian dia menyodorkan soal tes kepada saya, yang sesuai dengan golongan SIM yang akan saya urus. Setelah memberikan soal dan lembar jawaban, saya pun mulai mengisi soal-soal yang jumlahnya sekitar 30 soal. Isinya tentang pengetahuan rambu-rambu lalu-lintas, prioritas penggunaan jalan, juga beberapa soal tentang pengetahuan teknis kendaraan. Setelah selesai saya kerjakan, lembar soal dan lembar jawaban, kembali saya serahkan kepada petugas tersebut. Setelah dia ”pura-pura koreksi” dengan mencoret beberapa jawaban yang dianggap salah, lantas kembali dia memanggil saya. ”Wahh... hampir aja pak, hampir bapak lulus. Bapak hanya benar 17 soal, dan salah 13 soal. Sedangkan standar untuk lulus harus benar 18 soal” katanya. Dilihat dari mimik mukannya, dan sorot matanya, saya tahu dia membohongi saya. Saya tahu, saya dapat mengerjakan soal-soal tersebut, sebenarnya dari awal saya sudah bisa membaca niatnya supaya saya, mengurus dengan cara menembak saja. Tetapi tidak saya lakukan. Dengan kekecewaan, saya pun terdiam sedikit lesu.


Lantas dia berkata”bagaimana pak, berarti bapak harus ikut tes ulang lagi, tetapi dua minggu lagi sesuai dengan peraturan. Tetapi sebenarnya kami bisa membantu sih pak, kalau bapak mau butuh cepat”, katanya. Saya pun berpikir, kalau mau cepat, berarti harus dengan cara ”menembak” (menyogok petugtas tersebut), tetapi uang saya sangat ngepas. Lagipula saya pun tidak mau untuk menembak. Lalu saya pura-pura tanya, ”emang berapa pak, kalau saya mau butuh cepat”, dia jawab, ”besok saja pak, bapak kembali kesini, soalnya ini sudah siang” katanya. Tetapi saya desak dia supaya menyebutkan nominal yang akan saya keluarkan, dia pun lantas menyebutkan sebesar Rp. 400.000,-. Dalam hati saya berkata, ”gila, masak dari Rp.75.000,- biaya SIM dan Rp. 150.000,- untuk sertifikat berubah naik menjadi Rp.400.000,-, peraturan dari mana ini”, gerutuku. Belum lagi ditambah biaya surat keterangan kesehatan Rp. 30.000,- dan administrasi sidik jari Rp. 10.000,-. Pelayanan mudah apa semacam ini.


Dengan perasaaan jengkel dan kecewa saya pun pulang, memang benar disitu tidak ada lagi calo-calo liar yang berkeliaran, tetapi ternyata semua petugas polisi yang ada di bagian administrasi pengurusan SIM disana ternyata sudah kong-kalikong untuk menjadi calo berseragam. Kebetulan, saat saya mau keluar meninggalkan kantor Polres, saya bertemu secara singkat salah seorang kenalan Polisi, yang bertugas di bagian Samsat yang katanya juga sebagai ajudan Kapolres Minut. Tetapi saya tidak sempat ngobrol saat itu juga, karena kelihatannya dia buru-buru mengantarkan komendannya. Saya pun lantas mencari nomer Hpnya pada salah seorang teman, orang Toraja satu daerah dengannya. Setelah mendapat nomernya, lantas saya telephon dia. Saya katakan bahwa, semua berkas saya sudah masuk, bisakah saya dibantu, dia bilang ”waduh, kalau sudah masuk berkas saya tidak bisa bantu banyak” katanya. Trus saya ceritakan tentang kejengkelan saya, tidak lulus tes, padahal saya tahu banyak yang benar. Dia jawab ”wah... kalo ikut tes, jarang yang ada diluluskan, dan rata-rata nda ada pengurus SIM yang diluluskan dalam tes tertulis”. ”Ooo... begitu ya...ternyata kelakuan para petugas-petugas itu, ”gerutuku. Besoknya, saya tidak kembali lagi kesana, mungkin saya akan coba untuk ikut tes berikutnya, dengan mengumpulkan bukti-bukti, yang dapat dipertanggung jawabkan. Apakah saya masih diperlakukan hal yang sama, atau sudah menggunakan prosedure yang benar.


Ternyata tidak hanya di jalan raya, citra Polisi yang mulia itu dinodai oleh para oknum-oknum petugas korup, dengan menilang mencari-cari kesalahan para pengendara yang sebenarnya, tidak melanggar aturan. Dan kalau kena tilang, para oknum Polisi itu lebih suka dengan cara ”KUHP” (Keluar Uang Habis Perkara), atau sering disebut dengan istilah ”cara damai”, daripada memberikan surat tilang. Di urusan administrasi pengurusan surat izin mengendara pun, mereka tak kurang akal untuk mencari peluang menguras dompet, warga negara yang hendak mematuhi peraturan dengan mengurus SIM, dengan mengusir calo-calo liar, supaya para putugas tersebut dapat merangkap menjadi calo.


Saya tidak tahu, dengan Polres-Polres didaerah lain, tetapi itu yang saya rasakan ketika hendak mengurus SIM di Polres Minahasa Utara, sungguh sangat mengecewakan dan memalukan citra polisi, yang sebenarnya dari sistemnya sudah baik, tetapi pelaksana sistemnya yang bobrok. Semoga para atasan, dapat mengehahui hal ini, dengan apa yang dilakukan oleh para bawahannya. Atau hal ini memang dibiarkan untuk dilakukan, supaya ada bagi hasil antara bawahan dan atasan. Semoga saja tidak.

1 komentar:

  1. hahaha sebenernya sebuah "keuntungan"..

    kalo mau gampang, mudah, dan cepat tinggal bayar biaya pelicin..

    keuntungan dlm tanda kutip, karena artinya kt mendukung korupsi..

    kalo mau mempertahankan sistem kaya gini, kita rakyat indonesia ga usah berharap korupsi tuntas hahaha

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...