Pengertian pornografi yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 1 pada RUU APP ini berbunyi ”Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan suara, bunyi, gambar bergerak animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komuniknikasi dan / atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat”
Jadi menurut saya, sesuatu yang dapat membangkitkan hasrat seksual adalah dapat dikatakan sebagai pornografi. Sedangkan tingkat orientasi seksual seseorang berbeda-beda. Sebagian besar memang bila melihat sesuatu yang sedikit terbuka dari tubuh wanita atau sebaliknya, sudah dapat menaikan hasrat seksualnya. Tetapi mungkin ada juga yang orientasi seksualnya jika melihat sesuatu yang tertutup, karena dengan tubuh wanita yang tertutup maka akan kelihatan lebih seksi, dan rasa penasaran akan membangkitkan hasrat seksualnya. Jadi seporno apakah pornografi itu?
Pornografi ibarat Hukum Ekonomi
Menurut saya, selama manusia masih punya hasrat hawa nafsu birahi, dan kebutuhan secara biologis. Masalah pornografi dan pornoaksi akan tetap terus ada dalam setiap kehidupan masyarakat. Sebab, ibarat hukum ekonomi, ”ada kebutuhan ada juga penawaran”. Imaginasi manusia dipengaruhi oleh banyak faktor, selain diisi dengan imaginasi oleh hal-hal positif, dimana manusia berimaginasi untuk bagaimana cara mendapatkan kebutuhan sehari-hari, dalam mendapatkan uang, makan, berinteraksi, mempunyai kehidupan rohani yang baik dan lain-lain. Tetapi disisi lain, manusia juga mempunyai kebutuhan biologis, dan ini adalah kebutuhan dasar yang dimiliki oleh manusia normal. Nah kebutuhan inilah yang seringkali menimbulkan imaginasi-imaginasi negatif, meskipun sebenarnya juga dapat dikatakan sebagai imaginasi positif, jika imaginasi itu mengarah pada hal yang bertanggung jawab (yang sudah menikah). Kenapa disebut sebagai imaginasi negatif atau sering disebut pikiran kotor, karena setiap manusia normal selalu punya orientasi seksual yang dimiliki dari usia anak-anak. Dari pikiran-pikiran kotor ini, timbul keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang dapat ”melengkapi” imaginasinya, dalam hal ini mencari dan mendapatkan hal-hal yang berbau porno.
Dengan adanya kebutuhan dan penawaran itu, maka maraklah sekarang beredar hal-hal berbau porno untuk memenuhi kebutuhan ”pikiran kotor” manusia. Sialnya, peredaran hal-hal berbau porno ini sudah sangat marak, dan susah sekali untuk dibendung. Anak dibawah umur pun, yang seharusnya belum boleh untuk menikmati meskipun sudah punya orientasi seksual, sudah sangat mudah untuk mendapatkan akses untuk melihat dan memiliki media atau hal-hal berbau pornografi. Jadi saya masih katakan wajar jika media pornografi itu harus dibendung peredarannya.
RUU APP ibarat proyek Politik
Masalah pornografi dan pornoaksi, sebenarnya saya sangat setuju jika hal ini dikendalikan. Tetapi, sebenarnya bukannya hal ini sudah diatur dalam undang-undang yang sudah berlaku. Kalau tidak salah dalam KUHP telah diatur mengenai Pornografi dan Pornoaksi. Tinggal bagaimana penegakannya dari pihak yang berwajib untuk mengoptimalkan peraturan tersebut, tanpa harus membuat undang-undang lagi yang sebenarnya sama, substansialnya.
Saya melihat dikeluarkannya peraturan ini, lebih banyak mengandung muatan politis untuk melancarkan kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Dikawatirkan, kelompok-kelompok masyarakat tertentu akan menekan kelompok masyarakat yang lain, karena adanya undang-undang ini. Sebab, Indonesia ini sangat plural. Berbagai macam etnis dan budaya, agama dan adat istiadat yang berbeda hidup dalam satu ke Bhineka Tunggal Eka.
Mengutip dari Pasal 21 RUU APP disebutkan bahwa ”Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi”. Yang saya khawatirkan muatan dalam pasal ini adalah, masyarakat seperti apakah yang nanti akan berperan serta. Saat ini saja, sudah ada yang mengaku sebagai bagian kelompok masyarakat yang sudah ”merasa” sangat berperan serta dalam menegakkan anti pornografi dan pornoaksi dengan cara mereka sendiri. Dengan membabi buta, merahasia dan menghancurkan serta kadang kala diselingi oleh tindak kekerasan dan penganiyayaan dengan dalih memberantas kemaksiatan. Bukankah ini seharusnya tugas Polisi.
Jika Undang-Undang ini benar-benar di sahkan, maka kemungkinan akan meleluasakan beberapa kelompok organisasi masyarakat ini, yang ideologinya sebenarnya bertentangan dengan Pancasila untuk melakukan penekanan kepada kaum minoritas dan kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Yang dianggap bersebrangan dengan ideologi mereka.
Lagipula, ditengah kondisi bangsa yang carut marut dengan masalah kemiskinan dan pengangguran karena minimnya lapangan kerja, kenapa para wakil rakyat itu lebih suka mengurusi yang berbau porno. Bukankah lebih baik mengurusi kesejahteraan rakyat, mendorong investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia supaya lapangan kerja terbuka lebih luas. Mendorong dan memberi bantuan kepada petani dan nelayan, supaya pertanian dan perikanannya lebih maju. Memberi bantuan kepada pengusaha kecil supaya dapat mengembangkan usahanya, memperbaiki kualitas dan mutu pendidikan, dan menyediakan sekolah gratis atau murah bagi kaum miskin, memberantas korupsi dan tidak berkorupsi dan masih banyak lagi yang lebih berguna untuk dilakukan, daripada mengurusi porno.
RUU APP ibarat tak tau adat istiadat
Untuk beberapa adat istiadat, di beberapa daerah di Indonesia jika konteks RUU APP ini diterapkan, maka musnahlah beberapa tradisi kebudayaan tersebut. Misalnya, untuk di Bali, yang beberapa masyarakatnya atau pada beberapa acara adat masayarakatnya masih menggunakan kembe, kebudayaan Jawa pun juga masih ada yang menggunakan kembe, apalagi masyarakat di Papua dan Suku Anak Dalam. Maka dapat juga terkena sanksi atas pelanggaran membuka syahwat dimuka umum. Meskipun dalam RUU tersebut, ada pengkecualian pada budaya dan adat istiadatnya, tapi sejauh mana pelaksanaan itu dapat berjalan?. Ini masih sangat rancu. Okelah kita sebagai orang timur, memang mempunyai batas-batas tertentu yang tidak sevulgar orang barat. Tata cara pergaulan dan berpakaian orang Indonesia pun, masih sangat wajar dan belum keluar pada kaidah orang timur. Indonesia ini sangat plural dengan ragam budaya yang ada dan berkembang. Hal ini tidak bisa disamaratakan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Bila Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi ini diberlakukan untuk mengendalikan aksi peredaran hal-hal berbau porno, atau membatasi orang berbuat pornoaksi dimuka umum mungkin saya masih setuju. Tetapi jika sudah mengarah pada mengatur cara berbusana seseorang hal ini mungkin sudah lain ceritanya.
Disamping itu, beberapa pasal dalam RUU APP ini jika memang di tegakkan secara benar-benar di Indonesia, maka mungkin pemerintah harus membangun gedung Lembaga Pemaasyarakatan baru yang lebih besar tentunya. Sebab kalau untuk menegakkan UU APP, kemungkinan besar kapasitas LP-LP yang ada sekarang sudah tidak akan muat lagi kapasitasnya. Karena, setiap wanita berpakaian sedikit seksi yang biasa saya temui di mall-mall, dijalan-jalan, di tempat-tempat wisata, di tempat hiburan mungkin sudah ditangkap dan dijebloskan kepenjara. Atau mungkin para penari Jawa, penari Bali, wisatawan asing yang menikmati mandi matahari di pantai-pantai di Indonesia, atau masyarakat pedalaman Papua yang masih menggunakan koteka, dan yang wanita tidak mengenakan bra (telanjang dada), pasti juga sudah ditangkap dan di jebloskan kepenjara kalau tidak mau membayar denda antara Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta) sampai Rp. 7.500.000.000,- (tuju miliar lima ratus juta).
Kemanakah Peran Agama, Lembaga Pendidikan dan Orang Tua?
Disetiap agama apapun, namanya Pornogragfi dan Pornoaksi itu dilarang. Jika masih ada orang yang melakukan tindakan-tindakan yang berbau pornografi dan pornoaksi, maka perlu dipertanyakan bagaimana kehidupan kerohaniannya. Dan bagaimana peran pemuka agama dalam memberikan pembinaan kepada jemaatnya. Memang benar, urusan agama dan kerohanian merupakan urusan pribadi masing-masing orang. Tetapi setidaknya, penekanan untuk menegakkan hukum-hukum agama itu juga harus dilakukan untuk membendung pengaruh pornografi dan pornoaksi. Sebab melalui pembinaan kerohanian yang intensif yang dilakukan oleh masing-masing agama, baik itu Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha, Konghucu dapat menumbuhkan akhlak dan moralitas yang baik.
Yang terjadi sekarang adalah, orang-orang yang mengaku ”beragama”, bahkan ”katanya” merupakan pemuka agama dengan mendirikan organisasi keagamaan yang radikal, malah tidak memberikan contoh yang baik kepada umatnya. Tindakan kekerasan, hujat menghujat, memprofokasi malah sering ditunjukan daripada memberikan dakwah yang menyejukkan.
Lembaga-lembaga keagamaan seharusnya mulai menjaring umat-umatnya yang terperosok dalam kesesatan, untuk segera dilakukan pendekatan secara personal sebagai upaya penyadaran dan pembinaan kerohanian. Tentunya dengan cara pendekatan yang penuh kasih, bukan dengan cara pemaksaan. Kalau hanya menghancurkan, dan mencebloskan mereka ke penjara karena ada Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi hal itu tidak menyelesaikan masalah, tetapi malah akan menambah masalah baru, dan belum tentu dapat mengubah kehidupan mereka lebih baik.
Peran dunia pendidikan juga sangat berpengaruh dalam memberikan pendidikan mental dan moral yang positif. Di dalam lembaga pendidikan inilah seharusnya penekanan dan pengawasan terhadap hal-hal berbau porno ini sudah dilakukan sejak dini. Sebab pada masa usia di bangku pendidikan, disiniah terjadi kerentangan terhadap keingin tahuan seseorang dengan sesuatu yang dianggapnya tabu. Terlebih lagi, pada masa ini pengaruh pergaulan dan sosialnya sangat mempengaruhi, sehingga perlu ada kegiatan-kegiatan yang positif sebagai tambahan yang dapat memberikan alternatif para siswa untuk memikirkan hal-hal yang positif.
Orang tua mempunyai peran yang sangat mendasar dalam mendidik anak-anaknya. Didalam lingkungan keluarga inilah karakter seseorang itu dibentuk sejak usia dini. Sikap mental dan moral dapat menjadi sangat baik dan sangat buruk, bisa terjadi dalam lingkungan keluarga. Jika dalam keluarga sudah ada kehangatan kasih sayang, ditanamkan nilai-nilai keagamaan yang mendalam, mengajarkan sikap sopan dan santun, memberi tahu mana yang baik dan yang buruk pada anak, tanpa harus membentak atau dengan kekerasan tetapi dengan lembut menasihati, sambil membelai dan mengajarkan anak tentang kasih. Pasti nantinya hal-hal yang berbau negatif dapat ditangkal dengan sendirinya. Orang tua juga mulai dini sudah harus memberikan pendidikan dan pengertian sex yang benar, supaya anak tidak mencari tahu sendiri.
Intinya adalah, lebih baik mengoptimalkan saja Undang-Undang yang sudah ada sekarang yang mengatur tentang pornografi dan pornoaksi, tanpa harus membuat undang-undang baru yang banyak makan biaya. Dan optimalkan peran agama sebagai pembina kerohanian dan akhlak yang baik, supaya rakyat tidak terjerumus dalam pengaruh pornografi dan pornoaksi. Dan yang terpenting adalah kesejahteraan rakyat yang merata. Jika kesejahteraan itu sudah dapat dirasakan bersama, dan para birokrat sudah tidak ada yang korupsi, niscaya bangsa ini akan menjauhi pornografi dan pornoaksi.
Bagaimana mau memberantas pornografi dan pornoaksi, lha wong wakil rakyatnya aja ada yang cari penghasilan tambahan sebagai pemain film bokep, nlingsepin uang rakyat sambil membawa PSK ke kamar hotel, mencabuli sekretaris pribadinya, korupsi dan lain-lain. Ck...ck... ck... ngaca dulu deh kalau mau ngesahin nih RUU APP.
Wassallam..
wah, mas, oom, kakek, ato siapa lah....
BalasHapussaya setuju banget nih sama kata2 mas di atas sono..
semoga aja orang-orang yang ngebet pengen ngesahin ni undang2 terbimbing biar bisa ngebaca tulisan mas,,
dan semoga aja mata dan otak mereka terbuka bahwa mereka sedang melakukan hal yang tidak penting sekarang ini..
Terima kasih atas comentnya.. Seharusnya memang benar demikian. Bahwa UU tersebut, hanya mewakili dari segelintir orang saja. Blm Indonesia seutuhnya.
BalasHapus