PENGANTAR
Harapan
akan adanya aktivitas Industrialisasi yang ramah lingkungan, nampaknya menjadi
impian banyak orang di saat ini. Dengan perubahan iklim yang semakin dratis, udara
yang kotor, air yang keruh dan bau, menandakan akan perubahan keseimbangan alam
yang semakin tidak nyaman lagi bagi kehidupan manusia. Berbagai macam bahan
polutan berbahaya akibat akitivitas industri, tanpa kita sadari merasuki tubuh
kita melalui udara yang kita hirup, air yang kita minum maupun makanan yang
kita makan. Semua seakan menuju pada satu titik, yaitu “kehancuran”. Aktivitas
industri, merupakan bagian dari salah satu olah budaya manusia dalam mencapai
kehidupannya yang lebih baik, dan sampai pada titik ini tidak ada sesuatu yang
perlu disalahkan. Namun terkadang, para kapital sebagai kelompok yang mampu
menjalankan roda industrialisasi, dengan
berbagai macam alasan untuk mencapai tingkat keuntungan yang diinginkannya,
menjalankan aktivitas industrinya selalu berkecenderungan untuk semakin merusak
alam. Baik melalui kegiatan eksplorasinya dengan mendapatkan bahan baku yang
didapat dari alam, maupun dengan efek sampingnya berupa polutan yang dihasilkan
dari aktivitas industri yang dapat mencemari udara, air dan tanah yang
merupakan tiga bagian vital dalam kehidupan manusia dan maklhuk hidup lain.
Tulisan
ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Sustainable Development, yang diminta oleh dosen pengampu untuk
mengkaji dan mentelaah dampak aktivitas industri yang berkontribusi pada
kerusakan lingkungan dan mengakibatkan bencana bagi umat manusia. Dengan
mengacu dari tugas bacaan dari buku Tragedi Minamata yang ditulis oleh Harada
Masazumi, penulis akan membagi menjadi tiga bagian penulisan dari tugas ini. Pertama; memaparkan dengan singkat
review buku Tragedi Minamata dari Harada Masazumi, mengapa penyakit itu bisa
terjadi?, apa masalahnya dan apa sebabnya?; Kedua:
Analisa kasus dampak industri di Indonesia, dengan contoh kasus bencana
ekologi teluk Buyat dan luapan lumpur Lapindo, mengapa mereka tidak belajar
dari tragedi Minamata, dan bagaimana arah kebijakan pemerintah kita pada konsep
industri berbasis lingkungan?; Ketiga: Landasan
filosofi etis apa yang seharusnya dipakai dalam bidang industrialisasi untuk
pembangunan berkelanjutan.
Topik
ini mendiskripsikan bagaimana industrialisasi yang merupakan bagian dari
aktivitas manusia itu dapat mengubah tatanan alam, yang berdampak buruk pada
kehidupan manusia itu sendiri. Kemudian bagaimana seharusnya dilakukan untuk
menunjang konsep Pembangunan Berkelanjutan.
Tahun
1950 an, Jepang dihentak oleh kasus ditemukannya penyakit aneh yang menyerang warga yang
tinggal di sekitar perkampuangan nelayan yang berada di sepanjang pesisir teluk
Minamata. Penyakit yang diderita ribuan warga tersebut gejala utamanya adalah bersifat
Neurologik, atau gangguan pada sistem sensorik, dimana pasien mengalami
kesulitan menggerakan kaki dan tangan-tangannya sehingga susah untuk berjalan
dan memegang sesuatu, karena terjadi nyeri pada lutut dan jari-jarinya, susah
untuk berbicara dan susah untuk menelan,
menurunnya fungsi koordinasi, bentangan pandang yang menyempit, tampak
pucat dan mengalami susah tidur serta mengalami kejang-kejang.
Kejadian
ini mengundang keprihatinan berbagai kalangan dan menjadi pekerjaan besar dari banyak
ahli dalam mengungkap asal muasal penyebab yang dapat menimbulkan penyakit aneh
yang diderita oleh ratusan warga tersebut. Karena rata-rata korban atau pasien penyakit
ini hanya ditemukan di sekitar teluk Minamata, maka penyakit aneh tersebut
diberi nama penyakit Minamata.
Harada
Masazumi, seorang guru besar dari Depertemen Kesejahteraan Sosial Universitas
Gakuen Kumamoto Japan, merupakan salah satu dari para peneliti yang melakukan
kajian penelitian yang mengungkap penyebab terjadinya penyakit Minamata
tersebut. Dalam bukunya “Tragedi Minamata” yang diterbitkan tahun 1972, dan
telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia edisi cetakan tahun 2005, Ia memaparkan
secara gamblang bagaimana tragisnya derita para korban pengidap penyakit
Minamata yang diakibatkan keserakahan para kapital dalam menjalankan roda bisnisnya untuk mengeruk keuntungan, tanpa
memikirkan dampak terhadap lingkungan disekitarnya, yang berefek pada timbulnya
suatu penyakit baru yang tidak ada cara atau metode pengobatannya, dan berujung
pada kematian kepada mereka yang tak berdosa.
Penyebab
Penyakit Minamata
Masyarakat
Jepang pada umumnya adalah masyarakat pengkonsumsi ikan nomer satu dunia, dan
mereka mempunyai cara terbaik untuk menikmati hasil tangkapan laut tersebut,
yaitu dengan memakannya secara mentah, atau dibuat sasimi, tanpa melalui proses dimasak. Begitu pula bagi masyarakat
yang tinggal di sekitar teluk Minamata, yang sebagian besar diantaranya adalah
bermatapencaharian sebagai nelayan dan semua masyarakatnya adalah pengkonsumsi
ikan yang ditangkap di sekitar teluk tersebut.
Kota
Minamata sendiri adalah merupakan kota industri, disitu berdiri sebuah pabrik
kimia terbesar di Jepang dengan nama perusahaan Shin Nihon Chisso Hiryo Kabushik Kaisha, atau New Japan Nitrogenous Fertilizaers, Inc, atau terkenal dengan nama Chisso. Perusahaan ini mulai beroprasi
sejak tahun 1908, dan tahun 1909 perusahaan ini memiliki hak paten untuk
memproduksi pupuk nitrigenus dengan menggabungkan kalsium karbid dengan
nitrogen atmosforik, yang kemudian dikembangkan pada satu perusahaan elektro
kimia dengan skala besar. Seiring pesatnya kemajuan perusahaan, Chisso memperluas oprasinya untuk
memproduksi juga sintesis amonia, produksi kalsium karbid dari asetelin,
asetaldehida dan asam asetat, resin vinil klorida dari asetilen, sintesis
oktanol dari asetaldehida dan masih banyak lagi, sehingga Chisso merupaka
pabrik kimia paling maju di Jepang, sebelum atau sesudah PD II.
Namun
pabrik sebesar Chisso ini tidak mempunyai sistem pengelolaan limbah yang
memadai, sehingga semua limbah-limbah kimia, hasil indurstri yang beracun
tersebut hanya dibuang langsung begitu saja melalui pipa-pipa pembuangan ke
laut yang bermuara di teluk Minamata tanpa proses penetralisir limbah. Tak
pelak, berbagai ekosistem yang mendiami teluk Minamata semua tercemar.
Beberapa
ikan dikabarkan mati mengapung, rumput laut tidak bisa bertumbuh dengan baik
dan berubah warna menjadi putih, kerang-kerang pun mati membusuk dan hasil
tangkapan nelayan menurun dratis. Ikan-ikan dan berbagai ekosistem yang masih
bertahan hidup dan tinggal di teluk tersebut ternyata telah menyesuaikan diri
dengan lingkungannya yang tercemar tersebut, namun sangat berbahaya untuk
dikonsumsi, karena dagingnya mengandung mercuri organik, yang merupakan limbah
dari perusahaan Chisso dan menjadi penyebab dari penyakit Minamata ini.
Awal
mula, orang-orang tidak tahu jika ikan-ikan hasil tangkapan para nelayan
tersebut sangat berbahaya jika dikonsumsi. Namun sejak penyakit Minamata diketemukannya
secara resmi pada tahun 1956 dari salah seorang pasien pertama yang dibawa pada
Bagian Anak Rumah Sakit Perusahaan Chisso, dan pasien-pasien lain yang menyusul
dengan gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas. Maka setelah
banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli, mereka menyimpulkan bahwa ikan
dan semua hasil laut yang mereka tangkap di perairan teluk Minamata, dan mereka
konsumsi sehari-hari inilah yang mengakibatkan penyakit aneh yang diderita oleh
masyarakat disana.
Bantahan Perusahaan Chisso
Setelah
diketahui bahwa ikan dan kerang yang ditangkap di perairan teluk Minamata ini
telah tercemar oleh limbah dari pabrik
Chisso, dan menyebabkan penyakit Minamata. Namun perusahaan ini membantah,
bahwa limbahnya menjadi penyebab penyakit Minamata tersebut. Berbagai upaya
dilakukan oleh pihak perusahaan untuk berkelit dari tanggung jawab yang harus mereka
emban. Sebelumnya perusahaan hanya memberi kompensasi berupa uang simpati
kepada warga. Namun perusahaan terus menyangkal dari tuduhan banyak ahli yang
telah banyak melakukan penelitian tentang penyakit Minamata yang menyatakan
limbah pabrik kimia inilah yang menjadi penyebab penyakit tersebut. Namun pihak
perusahaan Chisso beralasan bahwa ada banyak perusahaan seperti ini di Jepang,
tapi kenapa hanya Chisso saja yang disalahkan. Sebelum benar-benar diketemukan
secara pasti penyebab penyakit Minamata ini yang dapat dibuktikan secara ilmiah,
pihak Chisso belum mau bertanggung jawab dan menghentikan pembuangan limbah ke
teluk Minamata.
Para
peneliti dibawah Kementrian Kesehatan Masyarakat Jepang, yang kelompok penelitinya
berasal dari Fakultas Kedokteran Universitas Kumamoto terus melakukan upaya
keras untuk mencari sedetil-detilnya penyebab penyakit Minamata ini, mereka
menganalisis satu persatu korban dengan menelusuri apa saja yang dikonsumsi,
dan apakah penyakit tersebut adalah penyakit turunan atau kutukan. Selain
melakukan penelitian dari para korban, mereka juga melakukan penelitian tentang
air, lumpur, ikan dan kerang yang ada di sekitar teluk Minamata. Mereka juga
melakukan berbagai percobaan dengan menggunakan kucing dan tikus yang diberikan
makanan dari ikan yang ditangkap di perairan teluk Minamata, hasilnya
kucing-kucing dan tikus-tikus tersebut menjadi gila lalu mengalami
kejang-kejang dan akhirnya mati.
Berbagai
teori
yang diungkapkan oleh para ahli untuk
menyimpulkan penyebab penyakit Minamata ini, masih bisa dibantah oleh
perusahaan Chisso, namun pada akhirnya para ahli menyimpulkan bahwa terdapat kadar
kandungan merkuri yang cukup tinggi yang
ditemukan dalam lumpur yang diambil di
dasar teluk di sekitar pembuangan limbah dan diketemukan juga kandungan merkury
tersebut pada ikan dan kerang yang
tercemar, serta pada rambut si penderita. Akhirnya mereka mengambil kesimpulan,
larutan merkuri yang ikut terbuang dalam limbah perusahaan inilah yang mengakibatkan
penyakit tersebut.
Kemudian
tanggal 12 November 1959, anggota Komite Dewan Investigasi Makanan dan Sanitasi
Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan memaparkan laporannya kepada menteri,
yang menyatakan bahwa “Penyakit Minamata adalah suatu penyakit keracunan yang
utamanya mempengaruhi sistem saraf pusat akibat mengkonsumsi ikan dan
kerang-kerangan dari teluk Minamata dan sekitarnya dalam jumlah banyak, dimana
agen penyebabnya adalah semacam campuran merkuri organik”.
Sikap Pemerintah Yang Melindungi
Perusahaan.
Meski
sudah diketahui secara gamblang tentang penyebab dari penyakit Minamata ini,
seperti yang dikemukakan oleh Tim Survey Penyakit Minamata/Keracunan Makanana
dari Dewan Investigasi dan Sanitasi, dengan memberikan laporan pada menteri, namun
hari berikutnya yaitu tanggal 13 November, tim survey tersebut malah dibubarkan
oleh Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan, alasanya karena adanya tarik
menarik kewenangan dalam mengangani kejadian ini. Sehingga membuat Rektor Universitas Kumamoto Wanaguchi
dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Kumamoto Sera, yang merupakan bagian
dari tim peneliti menjadi marah atas pembubaran tersebut, mengingat korban akan
terus berjatuhan dan perusahaan terus melakukan oprasinya, dan tidak
mengizinkan tim peneliti untuk mengambil sampel limbah secara langsung di dalam
pabrik.
Kejadian
ini menggambarkan Pemerintah setempat tidak serta merta segera mengambil
tindakan untuk menghentikan pencemaran dari perusahaan tersebut, bahkan mereka
seakan-akan melindungi perusahaan ini. Untuk meredam berkecamuknya dinamika
yang terjadi di masyarakat, karena dianggap mencemari teluk Minamata,
Perusahaan Chisso malah mengubah jalur pembuangan limbahnya ke sungai Minamata.
Bukannya meminimalisir masalah namun semakin menambah masalah baru, karena
dengan dibuangnya limbah pabrik ke sungi minamata maka semakin meluaslah dampak
pencemaran yang ditimbulkan dari hasil pencemaran perusahaan tersebut. Beragagam
ekosistem ikan air tawar dari sungai Minamata juga mati, dan yang bertahan
hidup pun juga berbahaya untuk di konsumsi, sehingga korban penyakit Minamata
juga semakin bertambah dan meluas. Meluasnya dampak pencemaran ini telah
menyerang dua provinsi di Jepang yang
berada di pesisir teluk Minamata yaitu Provinsi Komamoto dan Provinsi Koghosima
yang ribuan warganya teridentfikasi mengidap penyakit Minamata.
Derita Para Korban
Berbagai
upaya untuk mencegah warga menangkap dan mengkonsumsi ikan diperairan itu pun
menjadi agak susah, karena sudah menjadi kebiasaan sehari-hari mereka untuk
mengkonsumsi ikan, dan bagi nelayan tidak ada pilihan lain selain harus
menangkap ikan lagi di perairan tersebut, karena harus terus menghidupi
keluarganya dari hasil tangkapannya. Namun yang lebih memprihatinkan adalah, selain hasil tangkapannya sudah sangat
menurun akibat pencemaran tersebut, ikan yang mereka tangkap pun sudah tidak
laku lagi di jual dipasar. Sehingga keadaan ekonomi mereka semakin
memprihatinkan.
Bagi
si penderita penyakit Minamata sendiri, mereka juga mendapat diskriminasi di
lingkungan masyarakatnya. Mereka seakan
dikucilkan dari lingkungannya, karena penyakit ini dianggap penyakit menular
atau merupakan penyakit kutukan. Anggota keluarga yang lain, merasa malu jika
ada salah seorang dari anggota keluarganya yang mengidap penyakit Minamata,
karena gejala yang nampak dari si penderita adalah seperti orang yang sakit
mental atau ideot.
Disamping
itu, perhatian pemerintah saat itu masih kurang, hak-hak para korban yang
seharusnya mendapat kompensasi yang layak dari perusahaan akibat kerugian yang
ditimbulkan dari pencemaran industrinya, tidak juga dipenuhi oleh perusahaan.
Bahkan perusahaan membuat semacam perjanjian untuk memberikan kompensasi kepada
para korban, namun isinya lebih banyak memberikan keuntungan bagi perusahaan,
sedangkan masyarakat tidak punya kekuatan yang bisa menuntut lebih hak-hak
mereka.
Campur
tangan pemerintah pusat juga terkesan lamban dalam menangani para pasien dan
dalam menghadapi kekuatan kapital yaitu persuaan Chisso. Beruntung seiring
berjalannya waktu, banyak karyawan dari Chisso sendiri merasa prihatin dengan
para korban, dan akhirnya mereka menuntut pihak menejemen untuk bertanggung
jawab kepada para pasien.
Penyakit Minamata Bawaan
Menurut
para ahli yang tergabung dalam tim peneliti penyakit Minamata dari Universitas
Kumamoto, untuk menentukan gejala yang diidap pasien dari awal cukup sulit,
karena perubahan yang terjadi pada pada pasien membutuhkan waktu yang cukup
lama, namu jika gejala itu sudah nampak dan dan terlihat secara fisik, maka
perubahan yang terjadi pada pasien akan begitu cepat terlihat. Jika yang menderita adalah seorang pasangan
yang akan mempunyai anak, maka pada seorang ibu yang sudah terkontiminasi
merkuri melalui makanan yang ia konsumsi juga akan berpengaruh pada janin yang
ada dalam kandungannya. Ketika bayi itu lahir, biasanya secara fisik bayi yang
dilahirkan tersebut mempunyai fisik yang tidak normal. Oleh sebab itulah, penyakit
yang diakibatkan oleh polusi atau pencemaran ini sangat berbahaya bagi
kehidupan manusia dan kehidupan makhluk hidup lain.
Arah Kebijakan Pemerintah Jepang
Setelah Tragedi Minamata
Pengusutan
kasus tragedi Minamata ini cukup panjang, sejak awal mula ditemukan secara
resmi tahun 1956 dan baru bisa diperadilkan sekitar tahun 1970-an. Itu pun
dengan berbagai dorongan dan desakan dunia internasional supaya kasus tersebut
di usut secara tuntas. Setelah peristiwa tersebut, pemerintah Jepang menerapkan
kebijakan baru untuk aktivitas industrialisasi dan melakukan pengawasan dan
kontrol yang sangat ketat tentang pembuangan limbah industri yang dapat
berdampak pada pencemaran lingkungan. Serta menindak dengan tegas apabila masih
ada perusahaan yang masih nakal dan mengabaikan kebijakan pemerintah tersebut,
dan meminta industri-industri yang menggunakan air raksa dan merkuri untuk bahan
baku produksinya, untuk diganti dengan dengan bahan baku lain yang lebih aman
bagi kesehatan dan lingkungan disekitarnya, supaya kejadian tragedi Minamata
ini tidak terjadi lagi di Jepang.
Dengan
diberlakukan kebijakan tersebut, saat ini Teluk Minamata menjadi teluk
terbersih dan aman bagi kehidupan manusia dan ekosistem didalamnya. Begitu pula
untuk kawasan-kawasan industri lain di Jepang, yang lebih mengedepankan
teknologi ramah lingkungan untuk pengembangan industrinya.
[1] Sebuah
revew buku Tragedi Minamata karya Harada Masazumi
[2] Mulai
dari teori Thallium, teori Selenium, Teori Mangan, dan teori kontaminasi ganda
yang mulanya dicurigai sebagai penyeban penyakit Minamata.