Rabu, 14 Desember 2011
Senin, 05 Desember 2011
Vespa memang tiada matinya
Vespa, kendaraan roda dua jenis skuter ini memang gayanya tak akan pernah mati digerus jaman. Jika motor-motor lain buatan sekarang, semakin tua akan semakin ditinggalkan, lain halnya dengan Vespa. Semakin tua usia Vespa, maka akan semakin diburu banyak orang. Tak heran jika harga dari Vespa-Vespa klasik akan semakin lebih mahal, jika dibandingkan Vespa yang buatan tahun-tahun muda.
Waktu kuliah, saya adalah salahsatu dari Skuteris yang setia mengendarai Vespa kemana-mana. Dahulu aku punya Vespa Sprint buatan tahun 1976. Meski kondisinya sudah agak memprihatinkan, namun jangan salah.. berkat Vespa buntutku itu.. beberapa cewek cantik di kampusku, berebut untuk minta kuboncengkan hehe..
Nah ini adalah foto-foto acara gathering PAVESA (Persatuan Vespa Salatiga) yang digelar sekitar tahun 2006 lalu yang sempat saya abadikan bersama teman saya Yoyok, di lapangan Kalibening Salatiga. Daripada hanya tersimpan di hardisk mending di share aja deh di blog..
Tak pernah mati gaya |
Meski berkarat, busuk dan buntut, namun bagi beberapa skuteris aliran ekstrim, inilah salah satu uniknya vespa. |
Saat menjajal mengandarai Vespa modification aliran tikus |
Salah satu Skuteris wanita, meski ibu ini sudah usia baya.. namun jangan salah, jika semangatnya untuk taouring mengelilingi kota-kota di Indonesia menggunakan vespa masing sangat tinggi. |
Mencoba berfoto bersama beliau. |
Yoyok in action, bersama wawan. |
Vespa modification, doble enggine. Mirip kendaraan tempur. |
Siap menaklukkan jalanan |
Tiga rider siap action |
Para skuteris |
Balapan Vespa |
Vespa modification sport, lagi ngebut. |
Vespa modification long sasis |
Skuteris aliran tikus |
Modification aliran becak beroda tiga. Unik ya..? |
Tampak seperti motor biasa, namun jangan salah..!! ini adalah Vespa modification. |
Vespa in fasion contes modification |
Aliran klasik. |
Slakers Mania |
Tampak belakang, betapa bahenolnya pantatnya. |
Tampak depan, betapa ciamiknya tampilannya. |
Tampak belakang yahuuud coy. |
Modifnya keren coy.. |
Jumat, 25 November 2011
Ketika Ayah dan Adikku menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya, dan dipakai sebagai saksiNya.
Ini adalah
sebuah kisah tentang kehidupan
baru yang dialami oleh Ayah saya. Sekedar di ketahui, Ayah saya berlatar belakang dari keluarga Muslim, beliau
adalah anak pertama dari enam bersaudara. Memang beliau bukanlah penganut
Muslim murni, yang rutin menjalankan sholat 5 waktu seperti yang dilakukan oleh
adik-adiknya, atau para penganut Muslim pada umumnya. Beliau hanya penganut
Muslim abangan, yang mungkin jarang menjalankan ibadah Sholat di Masjid. Atau
dengan kata lain, menurut pengakuan Beliau yang dituturkan kepada saya, Beliau
adalah penganut Muslim Kejawen, yaitu perpaduan ajaran Agama Islam dengan ajaran-ajaran budaya Jawa Kuno, atau banyak
orang menyebutkan sebagai aliran Kebatinan Jawa.
Aliran ini
memang banyak diaunut oleh beberapa masyarakat Jawa, khususnya bagi mereka yang
masih kental memegang adat istiadat budaya Jawa, yang juga penuh dengan
ritual-ritual yang dianggap suci untuk meluhurkan nama leluhur dan sang
Pencipta. Beberapa ritual yang masih
sering saya lihat adalah seperti Upacara Sedekah Bumi, pemberian sesaji kepada
pohon-pohon besar, meminta berkah di makam-makam para leluhur yang dianggap
keramat, juga melakukan ritual pertapaan di sungai-sungai atau di gua-gua.
Ayahku ketika masih muda mungkin
juga melakukan hal-hal seperti demikian, karena aku juga sempat ditunjukkan
salah satu buku yang memberikan pedoman tentang puasa dan beberapa
petunjuk-petunjuk ritual dari aliran yang dia anut dulu. Namun demikian jalan
Tuhan berkata lain. Setelah beliau menikah dengan ibu saya sekitar 30 tahun
yang lalu dengan cara Kristen, karena ibu saya memang berlatar belakang dari
keluarga Kristen. Namun hal itu tidak serta merta mengubah kehidupan rohaninya,
dan langsung menerima Yesus begitu saja.
Saya masih ingat
ketika saya masih kecil, ketika kami masih tinggal di Kepulauan Karimun Jawa, dimana
Ayah saya bekerja sebagai PNS dan
ditugaskan di Kepulauan tersebut. Di sana hanya ada sebuah Gereja kecil yaitu Gereja GPdI Karimun Jawa, dengan jemaat hanya
beberapa keluarga saja. Tiap kali pergi ke Gereja, hanya ibu saya saja yang berangkat, dengan
mengajak saya dan adik saya. Ayah saya hanya mengantar sampai depan Gereja,
setelah itu dia pulang.
Waktu itu, saya sama sekali tidak pernah melihat ayah
saya untuk beribadah baik itu ke Masjid tempat ibadah agama yang tertulis di KTP nya
maupun ke Gereja tempat ia diberkati ketika menikah dengan ibu saya. Saya tidak
tahu alasannya, mungkin karena malu atau mungkin pula hatinya belum terbuka,
karena saya tahu, waktu itu Beliau masih menjalankan beberapa ritual yang
kuanggap aneh pada waktu-waktu tertentu, seperti puasa mutih atau makan tanpa
mengandung garam, dan semua yang dimakan harus berwarna putih, seperti nasi
tanpa lauk pauk, buah ketimun, pisang atau buah bengkoang, pokoknya semua makanan yang
berwarna putih dan tak bergaram.
Aktivitasnya pada setiap hari minggu setelah mengantar ibu saya ke Gereja, Beliau lebih memilih tinggal di rumah, dan mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan rutinitas seperti biasanya. Namun ayah saya sangat terbuka,
jika diminta untuk membantu Gereja misalnya dalam hal kerja bakti atau
mensuport pelayanan Pendeta disana, bahkan dia pernah memberikan satu motor
buntutnya kepada Pendeta, guna mendukung pelayananan di jemaat yang jaraknya lumayan cukup jauh
dari Kota Kecamatan Karimun Jawa, karena
motor pendeta waktu itu rusak parah karena jatuh dan
motor tersebut pun di jadikan sebagai motor oprasional Pendeta yang melayani
Gereja GPdI Karimun Jawa.
Tentunya sebagai orang yang belum mengenal Kasih Tuhan Yesus, beliau masih
memiliki sifat buruk. Yaitu sering marah-marah kepada ibu saya, dan memiliki
sikap yang keras kepala. Serta bertindak sesuai dengan kehendaknya sendiri,
apalagi cara mendidiku tentang agama pun, beliau sama sekali tidak tahu ia
hanya menasehatiku tentang nilai-nilai kebajikan hidup seperti yang ia ketahui
saja.
Pensiun dari Pekerjaan Dunia, dan Diterima Bekerja untuk Pekerjaan Surga.
Bulan
Juli tahun 2007, masa pengabdiannya sebagai PNS pun berakhir, seiring dengan usianya yang telah memasuki masa
pensiun. Telah lama memang direncakan setelah pensiun untuk kembali ke
kampung
halaman ibuku di Wonogiri. Disana
Ayah dan Ibu saya, akan mengisi masa tuanya dangan mencoba bertani mengolah
lahan pertanian yang telah mereka beli sebelumnya dan sebagian lagi dari
peninggalan Kakek saya.
Di tahun yang sama itu pula, pada bulan sebelumnya yaitu bulan Juni saya
berpamitan untuk pergi merantau keluar dari pulau Jawa yaitu ke Kota Manado di pulau
Sulawesi Utara, kota dimana saya tinggal sekarang. Waktu itu beliau masih tinggal di
Karimun Jawa, dan pas ibadah hari Minggu, saya juga sempat memberikan kesaksian
di gereja dan meminta dukungan doa kepada gembala dan jemaat di tempat itu
untuk kepergian saya merantau, dan meminta dukungan doa untuk ayah dan adik
tiri saya supaya dapat menerima Yesus sebagai Tuhan dan juru selamatnya.
Desember 2007, mendekati hari Natal, mereka memutuskan pindah dari Kepulauan Karimun Jawa ke sebuah desa di pinggiran Kota Wonogiri. Mulai dari sinilah rencana Tuhan bekerja dalam kehidupan Ayah saya. Dari semula yang sama sekali
tidak mau diajak untuk pergi ke Gereja, kecuali pada saat Natal karena
menghormati undangan yang diberikan kepadanya untuk hadir pada perayaan Natal.
Namun di dilain itu, beliau tidak pernah mau ikut ibadah disana.
Sekarang, mungkin beliaulah yang lebih rajin bila dibandingkan Ibu saya.
Tidak hanya sekedar pergi beribadah ke Gereja saja, namun beliau juga sangat
rajin mengikuti berbagai acara gereja seperti malam PA (Pendalaman Alkitab), latihan koorr dll. Disamping itu yang membuat saya lebih bangga kepada Ayah saya adalah usahanya membaca dan mempelajari Alkitab lebih mendalam secara pribadi. Alkitab yang beliau
sering baca adalah yang versi terjemahan ke dalam bahasa Jawa, karena mungkin
yang versi terjemahan kedalam bahasa jawa tersebut lebih mudah untuk dipahami
oleh beliau.
Di Baptis dan dipilih menjadi Majelis Gereja.
Ayah saya bersedia dibabtis pada Desember 2008 yang lalu, dan itu merupakan
sebuah sukacita besar bagi keluarga kami. Terutama bagi Ibu saya, karena doa
kami sekeluarga benar-benar di jawab oleh Tuhan. Tak hanya itu, kuasa Tuhan
bekerja pada ayah saya. Pada pemilihan majelis gereja GKJ Pepantan Timang, pada
Desember 2010 lalu, kebetulan pada waktu itu saya pulang kampung. Sehingga saya
punya kesempatan melihat ayah saya dipilih dan ditahbiskan menjadi seorang
majelis gereja. Ini memang bukan sebuah kebetulan, namun memang sudah rencana
Tuhan. Padahal, waktu diminta oleh Pendeta dan tokoh-tokoh gereja di sana saat
akan di calonkan, beliau sebenarnya keberatan dan tidak mau. Karena sebelumnya
beliau tidak biasa tampil dan berbicara didepan umum, dan beliau pun sama
sekali tidak pernah memimpin doa apalagi kotbah didepan jemaat. Namun entah
kenapa, pada akhirnya ia meng iyakan tawaran tersebut.
Sekali lagi, kuasa Allah bekerja pada Ayah saya. Saat menjalani tugas
pertamanya sebagai Majelis Gereja, dan diminta untuk menjadi imam yaitu
mendoakan pemimpin ibadah atau yang membawa firman pada saat itu di ruang
pastori. Tentu saja beliau jadi sedikit bingung, karena memang belum bisa
berdoa sebagai mana para majelis yang lain. Sehingga pada jauh-jauh hari
sebelum tugas itu datang, Ayah saya meminta Bulik (tante) saya yang juga mantan
majelis untuk membuatkan sebuah doa secara tertulis, yang nanti akan dibacakan
saat dia diminta untuk berdoa bagi pembawa firman. Mungkin pada awal-awal pelayananannya, hal-hal
tersebut akan selalu dia lakukan, karena memang belum berpengalaman sama
sekali.
Hal yang menjadi sangat istimewa bagi kehidupan saya adalah, setiap kali
saya pulang kampung. Saya selalu diajak berdiskusi tentang sebuah penggalan
pasal dan ayat Alkitab yang dia baca. Ia selalu menyuruh saya, “coba kamu ambil
Alkitab dan buka Kitab ini pasal sekian dan ayat sekian... , jika sudah kamu
baca, coba menurut kamu apa yang dimaksud atau penjabaran ayat tersebut menurut
kamu” setelah saya menjelaskan dan
menjabarkan menurut persepsi saya, kemudian ayah saya menjabarkan menurut
persepsinya beliau. Terkadang jika ada sepupu atau saudara saya yang lain
datang main kerumah, mereka juga ikut diajak mendiskusikan bersama tentang
topik dari ayat-ayat Alkitab yang ayah saya temukan yang menurutnya menarik
untuk dibahas.
Perbincangan mengenai isi Alkitab kadang-kadang juga terceplos saat Beliau sedang
asik ngobrol dengan teman-temannya yang beragama lain. Seringkali tanpa sadar,
beliau menyisipkan beberapa kalimat yang ia dapatkan dari Alkitab sebagai bahan
obrolan, baik saat ketemu temen ngobrol di kebunya, maupun teman bercerita di
tempat-tempat biasa ia berkumpul. Selain membicarakan mengenai masalah
pertanian yang menjadi favoritnya. Hal ini pernah beberapa kali saya dengarkan
secara langsung, saat beliau sedang ngobrol dengan salah satu tetangga saya
yang berbeda agama saat ia sedang main kerumah kami, dan saya pernah
konfirmasikan pula kepada ibu saya, dan ibu saya memang menyatakan demikian,
bahwa ayah saya sering menyisipkan penggalan-penggalan isi Alkitab sebagai
bahan obrolannya dengan teman-temannya.
Begitu pula saat beliau menasehati saya akan kehidupan saya, dan
langkah-langkah yang harus saya lakukan untuk masa depan saya. Saat itu, Ia
selalu menyisipkan ayat-ayat Alkitab dalam setiap wejangannya. Hal ini belum
pernah saya dengar sebelumnya ketika saya masih kecil atau pada masa remaja
dulu. Namun sekarang, saat kami sudah tumbuh dewasa, hal itu baru beliau
lakukan saat ia telah mengenal dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan jurus
selamatnya.
Beliau selalu menekankan kepada saya tentang penggalan salah satu ayat
Alkitab yang cukup terkenal tentang cara mendapatkan kehidupan masadepan yang
lebih baik. Seperti yang tertulis dalam Matius 6 : 33 yang berbunyi “Tetapi carilah dahulu Kerajaan
Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”. Berulang-ulang Ayahku selalu menekankan kepadaku
tentang ayat tersebut, baik pada saat saya pulang mudik di rumah, maupun saat
saya berbicara lewat telephon yang rutin saya lakukan setiap minggu atau dua
minggu sekali ketika berada di perantauan.
Setiap hari, beliau selalu bangun pada pukul 04.00 pagi, hal pertama yang
ia lakukan adalah berdoa, kemudian menyalakan radio untuk mendengarkan siaran
rohani yaitu renungan pagi. Sambil mendengarkan, ia selalu menyiapkan Alkitab
dan sebuah alat tulis untuk mencatat khotbah yang dibawakan dari siaran radio
tersebut. Diambil dari kitab mana, pasal dan ayat berapa, kemudian pokok-pokok
isi khotbahnya yang dibawakan oleh Pengkotbah dalam renungan pagi disiaran
radio itu. Setelah mendengarkan radio, ia menyalakan televisi untuk melihat
siaran berita sejenak, kemudian bergegas menyiapkan diri untuk pergi ke
kekebun, untuk melihat dan menyaingi rumput-rumput liar yang tumbuh diantara
tanaman jagung atau tanaman kacang tanah yang telah ditanamnya, kemudian
“ngarit” atau mencari rumput untuk makanan ternak kambing miliknya.
Sedangkan ibu saya, setelah doa pagi, ia lalu menyiapkan masakan didapur,
setelah itu bersih-bersih rumah. Kemudian merawat kakek saya yang telah renta,
dan sudah susah untuk berjalan karena pernah terkena stroke. Mungkin sekarang usianya telah memasuki 90 an tahun, sehingga perlu perlakuan khusus,
seperti memandikannya, dan kemudian menyuapinya seperti merawat bayi.
Sebenarnya masih ada Nenek saya, namun dia pun juga sudah tua dan sudah sedikit
pelupa, serta sudah agak tuli. Terkadang ibu saya setelah selesai mengurusi Kakek saya, beliau juga ikut menyusul ayah saya di kebun dengan
membawakan makanan, untuk makan bersama di kebun.
Setelah hari menjelang siang atau sekitar pukul 10.00 -11.00, mereka
kembali kerumah dengan membawa rumput untuk makanan kambing ternaknya, lalu istirahat.
Jika sore atau malam hari, jika tidak ada acara di gereja atau acara
kemasyarakatan lain, hiburan yang paling di sukai ayahku adalah membaca
Alkitab, terkadang juga bersama ibuku, mereka sama-sama membaca di sofa ruang
tamu rumahku.
Saya terkadang sangat sedih, karena kami anak-anaknya tinggal berada sangat
jauh dari mereka. Saya ada di Manado di ujung utara pulau Sulawesi,
sedangkan adik saya yang cowok setelah mendapatkan pekerjaan baru di perusahaan
pengujian sampel hasil tambang, sekarang tinggal di Kolaka Sulawesi Tenggara,
kemudian adik saya yang cewek tinggal bersama suaminya juga di Sulawesi
Tenggara namun tinggal disebuah pulau lagi yang agak jauh dari kota Kendari. Tidak setiap hari, tidak setiap minggu, dan
tidak setiap bulan mungkin juga tidak setiap tahun kami dapat bertemu dan berkumpul
dengan mereka. Hp adalah satu-satunya media yang membantu kami untuk masih bisa
saling terhubung satu sama lain, meskipun hanya melalui komunikasi jarak jauh.
Tapi lumayanlah bisa mengobati rasa kangen kepada mereka. Seandainya saja mereka tau ber internet mungkin sudah tak ajak video chat dengan skype, atau pakai fb, tapi saya mereka benar-benar gaptek.
Kedua orang tuaku hanya tinggal berdua di rumah, dengan berbagai
pergumulannya. Dulu ada si Coki anjing kesayangan kami yang menemani, namun
sekarang telah mati diracun orang yang tidak bertanggung jawab. Jadi mereka
sebenarnya benar-benar kesepian. Sedangkan kami anak-anaknya berjuang mencari
kehidupan kami masing-masing ditempat lain,
ditanah perantauan, untuk berusaha menjadi manusia yang seutuhnya,
meskipun belum berhasil seperti yang mereka harapkan, namun setidaknya kami bisa mencari makan sendiri dari hasil kerja
kami, tanpa menyusahkan mereka dan menyisihkan sedikit penghasilkan kami untuk
dikirim kerumah, memberikan sesuatu yang jarang dapat kami lakukan kepada mereka
tiap harinya.
Sebenarnya saya pun ingin segera memberikannya seorang atau dua orang cucu
yang selalu ia tanyakan setiap kali saya bicara via telephon dengan ibu saya.
Namun dunia asmaraku tak semudah yang mereka bayangkan. Tujuh tahun ku
jalani kisah asmara dengan seseorang, namun pada akhirnya pun kandas di
penghujung jalan, setelah "sikon" yang tidak memungkinkan untukku
melamarnya, dan kini ia telah menemukan pria lain. Saat saya menulis tulisan
ini, pada (10/10/2010) ia sedang melangsungkan pernikahannya. Sedangkan saya,
masih harus mencari dan berusaha menemukan tambatan hati yang lain, yang
benar-benar dari Tuhan, untuk menjadi ibu dari anak-anakku nanti, serta menjadi
teman, sahabat dan patner dalam mengarungi suka dukanya arus kehidupan ini.
Sedangkan kisah adik saya yang perempuan pun, hampir sama dengan ayah saya
yang sebelumnya tidak mengenal Yesus sama sekali. Adik saya ini adalah adik
angkat atau saudara tiri, namun kami sangat menyayanginya. Ia berasal dari suku
Madura, dan penganut muslim yang keras. Waktu kecil, kami tidak mempunyai adik
perempuan, sehingga orang tua kami mengabdopsi dari sebuah keluarga yang berasal dari Pulau
Madura, yang dulu waktu pertama datang ke Karimun jawa, pernah terlantar
didepan rumah kami dan orang tua saya yang menolongnya. Namun karena waktu itu
kedua orang tua kandung dari adik saya tersebut, telah sakit parah dan beberapa
bulan kemudian kedua orang tua kandung dari adik tiri saya tersebut meninggal
dunia dikarenakan sakit. Menurut kabar dari seorang kerabat yang mereka tinggali di Karimun Jawa, kedua orang tua kandung dari adik saya ini telah di guna-guna oleh saudaranya yang ada di
Madura, mungkin karena perselisihan keluarga, kami tidah tahu -menahu.
Kemudian kami mengapdopsi Iyah nama panggilan dari adik saya tersebut, waktu itu mungkin usianya sudah berumur antara 10 – 13 tahun, karena memang tidak ada catatan tertulis dan ia pun tidak tahu berapa usia yang sebenarnya. Pokoknya waktu itu ia sudah dimasukkan di kelas 2 SD.
Kemudian kami mengapdopsi Iyah nama panggilan dari adik saya tersebut, waktu itu mungkin usianya sudah berumur antara 10 – 13 tahun, karena memang tidak ada catatan tertulis dan ia pun tidak tahu berapa usia yang sebenarnya. Pokoknya waktu itu ia sudah dimasukkan di kelas 2 SD.
Meski kami beragama Kristen, kami tidak pernah memaksanya untuk masuk ke
agama kami. Ibu saya memberi kebebasan memilih, dan ia menjalankan ibadah
seperti yang diwariskan oleh orang tua kandungnya. Ia sholat, pergi ke masjid
dan menjalankan ibadah puasa seperti halnya pemeluk agama muslim lainnya. Kami
mengajaknya ke gereja waktu perayaan natal saja, seperti halnya yang dilakukan
ayah saya dahulu sebelum mengenal Yesus.
Pada suatu ketika, ia bertemu dengan seorang pria ber etnis Batak, dan beragama
Kristen, yang akhirnya mereka pun
pacaran, kemudian memutuskan untuk menikah. Meskipun kami yang membersarkannya
dari agama Kristen dan calon suaminya waktu itu juga beragama Kristen, namun ia
tidak mau menikah dengan cara Kristen, dan kami pun memfasilitasi ia menikah
dengan cara Muslim seperti yang ia mau. Sekali lagi kami tidak pernah
memaksakan keyakinannya, hanya mendoakan saja akan jalan hidup kerohaniannya.
Setelah menikah dan hidup bersama suaminya, tak pernah kami sangka sebelumnya
ketika saya telephon, ia bercerita bahwa ia sudah masuk gereja dan saat ini
telah belajar Alkitab. Saya hampir tidak percaya, namun beberapa kali ia
mengirimkan sms yang isinya adalah firman Tuhan. Meskipun saat ini dia belum
dibabtis, karena di tempat tinggal ia sekarang di sekitar Kendari, sangat susah
didapati Gereja, namun setidaknya Tuhan Yesus sudah tinggal didalam hatinya.
Sungguh luar biasa Tuhan Yesus memperkenalkan diriNya kepada ayah dan adik
saya, dan mengubah kehidupan kami. Terima kasih Tuhan Yesus, jadikanlah
keluarga kami berkat bagi orang lain dan pakailah kami sabagai saksiMU untuk
kemuliaan namaMU.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk Ayah dan Adik saya, yang telah memilih
Yesus sebagai Tuhan dan Juru selamatnya. Kiranya Tuhan selalu memberkati dan
memakai mereka sebagai saksiNya.
Kamis, 17 November 2011
Pelayaran Pulang dari Pulau Siau, Berkesempatan singgah dari Pulau Ke Pulau (Part 3 - habis)
Namanya backcaper, pasti selalu mencari
yang ekonomis untuk bisa menjelajah seluas dan sejauh mungkin, untuk masalah
akomodasi dan konsumsi, diusahakan pula kalo bisa mendapatkan gratis hehehe....
Dari kiri, Rio, Saya, Erwin dan Fanny |
Sebelum meninggalkan pelabuhan Ondong |
Menikmati kelas VIP nya KMC Express Bahari |
Pukul 12 siang, kapal baru meninggalkan
pelabuhan Ondong, saat keluar dari pelabuhan karena cuaca waktu itu kurang baik
agak sedikit mendung dan berombak.
Sehingga kapal agak bergoyang. Namun meskipun saya mendapat tempat duduk paling
nyaman di kapal ini, dengan ruangan khusus ber AC dan fasilitas TV paling besar
serta mendapat pelayanan paling istimewa dibandingkan penumpang di kelas lain,
namun sepanjang perlananan saya lebih banyak menghabiskan di luar, duduk di dek
belakang yang terbuka sambil menikmati pemandangan gugusan pulau-pulau yang
dilewati.
Meninggalkan perairan Pulau Siau |
Pulau Gunung Api Ruang di sebrang Pulau Tanggulandang |
Seperti biasa, setiap kali kapal
singgah di pulau ini, maka akan banyak
ibu-ibu warga Pulau Tanggulandang yang menaiki kapal untuk menjajakan buah salak
hasil kebunnya. Seperti yang telah dibahas pada bagian pertama dari kisah ku
ini, pulau ini memang diberkati dengan hasil kebun salaknya. Sehingga oleh-oleh
khas ketika dari Siau, selalu ditanya salak Tanggulandangnya. Harganya pun cukup murah, apalagi jika kapal
sudah mau berangkat, harganya bisa ditawar turun dua kali lipat dari harga
penawaran awal.
Pelabuhan Kapal Cepat Pulau Tanggulandang |
Menginggalkan Perairan Pulau Tanggulandang |
Memasuki sebuah teluk di pelabuhan Pulau Biaro |
Tampak pelabuhan pulau Biaro |
Menaikan rombongan penumpang dari Pulau Biaro |
Ternyata alasan kapal ini singgah ke
pelabuhan Pulau Biaro adalah untuk mengambil rombongan penginjil yang nampaknya
baru saja membuat acara KKR di pulau ini. Hanya sekitar 15 menit, setelah
penumpang naik semua, kapal pun berlayar kembali menuju pelabuhan Manado.
Fanny in action, sepanjang pelayaran ini. |
Demikianlah kisah perjalananku
mengelilingi Kabupaten Kepulauan SITARO (Siau Tanggulandang Biaro) yang
terlambat posting ini. Semoga memberi inspirasi untuk rencana travling anda.
Matur thankyu.
Matur thankyu.
Label:
Jelajah,
Sekitar Sulut,
Siau-Sitaro,
Traveling
Minggu, 09 Oktober 2011
Mengelilingi Pulau Siau, dan mengeksplore keindahan alamnya. (Part 2)
Travling ala backcaper yang penuh kejutan ke Pulau Siau Kab. Kepulauan Sitaro
Bersandar di Pelabuhan Ulu
Pelabuhan Ulu
Tak terasa, kapal sudah bersandar
di Pelabuhan Ulu, tepat pada pukul 9 pagi. Empunya mobil yang kami bawa yaitu
si Rio sudah menunggu di pelabuhan. Setelah melakukan pembayaran ongkos angkut
sekitar Rp. 800.000,- , kami pun segera turun dari kapal, bersamaan dengan
mobil Mitsubihi Kuda yang kami bawa menuju tempat tinggal Rio, yang tak jauh dari pelabuhan. Rio sendiri
juga merupakan teman se Gereja di Manado, namun dia sudah bekerja di kantor
Pegadaian dan ditugaskan di Ulu Siau dan sudah dua tahun di pulau ini.
Pertokoan di Pusat Kota Ulu-Siau
Kota Ulu sendiri merupakan pusat
kota bisnisnya pulau Siau, yang terlatak tepat berada di lereng gunung api
Karangetan. Aktifitas bisnis disini sudah cukup lumayan rame, bahkan sudah ada
toserba atau toko swalayannya, yaitu Happy Mart, yang baru saja
dilounching pembukaannya pada tiga hari lalu sebelum kami datang kesana. Selain
didominasi oleh toko kelontong yang menjual bahan bangunan, di Ulu banyak terdapat juga ruko-ruko pengumpul hasil bumi
seperti biji dan fuli buah pala, yang merupakan komoditas andalan pulau ini.
Rata-rata aktifitas bisnis perdagangan disini didominasi oleh etnis tionghoa,
seperti layaknya aktifitas bisnis ditempat lain di Indonesia.
Gunung Karangetan, yang tak lelah
beraktifitas.
Gunung Api Karangetan
Gunung ini merupakan salah satu gunung berapi
teraktif di dunia. Setiap hari selalu mengeluarkan larfa pijar. Dahulu katanya, gunung ini pernah meletus dhasyat pada beberpa puluh tahun yang lalu. Pada beberapa bulan lalu gunung Karangetan juga sempat melakukan aktivitas vulkanik dengan status
awas, sehingga sempat menghawatirkan penduduk disekitarnya. Letusan-letusan kecil
memang sering terjadi, dan tak terhitung jumlahnya. Jika melewati pulau Siau akan menuju ke Pulau
Sangihe atau pulau Talaud pada malam hari dengan menggunakan kapal, akan
terlihat jelas luapan larva pijar yang yang menganga kemerahan yang dimuntahkan
oleh gunung ini. Namun masyarakat yang tinggal di lereng gunung ini, sudah
merasa biasa dengan aktivitas vulkanik yang ditimbulkannya. Bahkan
masyarakat disini menganggap bahwa keberadaan gunung Karangetan adalah berkah
tersendiri yang diberikan Tuhan kepada masyarakat di Siau, karena dengan adanya
gunung ini, tanah di seluruh pulau ini menjadi subur dengan pupuk abu
vulkaniknya.
Dua hari dua malam saya tinggal di Ulu, di rumah kontrakan teman kami Rio yang tinggal bersama istrinya Jelly, dan mereka adalah keluarga muda yang baru menikah pada beberapa bulan lalu. Saat hari pertama, sekitar pukul 5 pagi saya sudah bangun dan menikmati pagi di kota Ulu. Didepan rumah, jika kepala mengadah keatas, akan terlihat dengan jelas Gunung Karangetan tepat didepan kami tinggal. Biasanya kalau pagi hari belum ada awan yang menutupinya, sehingga saya puas menikmati keindahan dan keanggunan dari gunung ini.
Mengelilingi Pulau Siau dengan modal motor pinjaman.
Kantor Bupati Sitaro di Ondong
Setelah sarapan pagi, saya
mengajak Fanny untuk jalan-jalan menuju Ondong, dengan meminjam sepeda motornya
Rio. Ondong adalah ibu kota Kabupaten Kepulauan Sitaro. Di Ondong inilah pusat
pemerintahannya, disini terdapat bangunan Kantor Bupati dan kantor-kantor SKPD
lain. Dari Ulu menuju Ondong hanya ditempuh kurang dari 30 menit, atau sekitar
7 Km dengan jalan beraspal hotsmix lebar hanya bisa dilalu dua kendaraan.
Kondisi medan jalannya naik turun dan berkelok-kelok dengan sisi-sisinya tebing
dan jurang yang dalam. Sehingga kami perlu berhati-hati, dalam membawa kendaraan.
Di Ondong juga ada pelabuhan, yaitu pelabuhan Lehi. Biasanya kapal cepat
Express Bahari dan KM. Quin Merry berlabuh di pelabuhan ini.
Jalan dari Ulu menuju ke Ondong
Setelah berputar-putar di Ondong,
kami tidak kembali menggunakan jalan yang sama menuju Ulu, namun kami melanjutkan
menelusuri jalan dari Ondong terus ke arah selatan. Kami tidak tahu, jalan ini
nanti akan berujung dimana, karena rasa penasaran terus menuntun kami
menelusuri jalan itu. Kondisi jalannya bagus namun lebih sempit, bila dibandingkan dari Ulu
ke Ondong, dan medanya masih hampir sama yaitu naik turun serta
berkelok-kelok, namun kali ini melewati pesisir pantai.
Beberapa perkampungan telah kami
lewati, dan sepanjang jalan dari rumah-rumah di perkampungan yang kami lewati
tak ada satupun rumah reyot atau rumah-rumah papan dengan kondisi yang jelek.
Hampir semua rumah penduduk terbuat dari tembok, dan rata-rata rumahnya
bagus-bagus. Lantainya sudah berkeramik, dengan disain arsitekturnya yang semi
modern. Dengan melihat bangunan-bangunan rumah penduduk yang bagus-bagus
tersebut, menandakan akan tingkat
kesejahteraan masyarakat Pulau Siau yang sangat baik, bila dibandingkan dengan
perkampungan ditempat lain yang pernah saya lewati.
Buah Pala sebagai sumber penghidupan utama.
Beberapa rumah yang kami lewati,
di halaman rumahnya banyak yang sedang menjemur biji buah Pala dan fulinya.
Ya... masyarakat disini memang diberkati dengan tanaman Pala yang kualitasnya
nomer satu di dunia. Harga biji buah Pala untuk kualitas A dihargai antara Rp.
130.000 – Rp.150.000,- / kilonya, untuk kualitas dibawanya, antara Rp.80.000
sampai Rp.100.000 an lebih / kilonya. Jika pasaran turun, harganya tidak mati
dibawah Rp.50.000,-/kilonya. Sedangkan fuli atau kulit ari yang menyelimuti
biji pala, harganya lebih mahal. Perkilonya bisa tembus sampai Rp. 200.000 an. Sedangkan
tiap pohon Pala, dapat dipanen setiap tiga bulan sekali, dan tanaman ini tidak
mengenal musim, sehingga selalu ada buah pala yang dihasilkan dari pulau ini.
Rata-rata per pohonnya bisa menghasilkan 2 – 3 karung besar buah Pala.
Sedangkan kulit buahnya bisa dimanfaatkan untuk berbagai macam produk makanan,
seperti manisan, sirup, selai atau bisa juga dibuat wine pala. Bisa dibayangkan
berapa keuntungannya yang didapat.
Itulah sebabnya, di
kanan-kiri jalan saat kami mengelilingi
pulau ini, dipenuhi oleh pohon buah pala, dan ada juga tanaman cingkeh namun
tidak sebanyak pohon buah pala. Jika didaerah lain si Sulawesi Utara komonditas
kelapa menjadi komonditas utama, namun di pulau Siau tanaman kelapa malah
kurang.
Meskipun tinggal didaerah
kepulauan, namun aktivitas melaut atau profesi sebagai nelayan kurang diminati. Ini bisa
dilihat, sepanjang jalan ketika saya menyusuri jalanan melewati perkampungan
dipinggir pantai, tak ada kapal atau perahu nelayan yang tertambat ditepinya.
Hanya beberapa perahu tradisional kecil saja, yang jumlahnya sangat sedikit.
Dengan hasil pala yang begitu menggiurkan tersebutlah, profesi mencari ikan
hanya dijadikan sebagai sampingan, bila dibandingkan dengan masyarakat yang
tinggal di kepulauan lainya, yang menjadikan profesi nelayan sebagai profesi
utama mata pencaharian mereka.
Harga BBM yang mencekik leher
Motor kami kendarai secara
bergantian. Kami masih belum tahu ujung dari jalan yang kami lalui. Akhirnya
ada sebuah warung, yang disitu juga menjual bensin eceran. Kami pun singgah
untuk menambah bensin motor kami, karena ketika dari Ulu hanya mengisi satu
liter saja, takutnya jalanan masih jauh dan kehabisan bensin dijalan. Harga
bensin disini benar-benar mencikik leher, per liternya rata-rata dijual antara
Rp.12.000,- s/d Rp.15.000,- /liter. Terkadang katanya, pas baru
langka-langkanya BBM, harga bensin bisa tembus Rp.25.000,-/liter. Jika dipikir, harga bensin disini jauh lebih
mahal daripada di Pulau Sangihe dan di Pulau Talaud yang lebih jauh dari pusat
pemerintahan Provinisi. Jika di Pulau Sangihe, tahun 2008 lalu waktu saya pergi
kesana harga bensin eceran mahal-mahalnya antara Rp.6000,- s/d Rp.7000,- /
liternya. Sedangkan di pulau Talaud harga bensin eceran berkisar Rp. 7000,- s/d
Rp. 9000,- / liternya.
Di Pulau Siau ada satu pom bensin
Pertamina, namun setiap kali pasokan BBM datang dari Bitung, langsung habis di
penjual eceran yang telah mengantri lebih dahulu. Itulah sebabnya ongkos
kendaraan umum disini juga lumayan mahal. Sekali jalan menggunakan angkot
sekali naik rata-rata harus keluar Rp.5000,-
jika jaraknya lebih jauh tentu saja lebih mahal. Angkota yang digunakan
disni adalah mobil pickup yang sudah dipasang kap belakang, dan rata-rata
dimodifikasi dengan dipasang sound system yang lengkap. Sehingga sepanjang
perjalanan angkota itu beroprasi, selalu full dengan musik, dengan suara yang
keras.
Tembus di Pelabuhan Sawang
Setelah bertanya kepada penjual
warung akan ujung dari jalan yang kami lalui, katanya nanti kalau kami terus
berjalan mengikuti jalan itu akan tembus di Sawang dan dari Sawang bisa
langsung tembus kembali ke Ulu. Dari situ hati kami sudah tenang, karena pasti
bisa kembali ke Ulu melalui jalan ini. Dari tempat kami bertanya, menuju ke
Pelabuhan Ulu ternyata sudah tidak terlalu jauh. Hanya beberapa tanjakan dan
melewati hutan pala, kemudian turun menyusuri jalan pesisir pantai lagi dan
langsung dapat kelihatan teluk Ulu dan pelabuhan Sawang. Di Pulau Siau ini
memang ada tiga pelabuhan yaitu Pelabuhan Ulu, ini adalah pelabuhan pertama
yang sekarang baru dalam tahap perbaikan, kemudian pelabuhan Ondong di desa
Lehi, dan terakhir adalah pelabuhan Sawang.
Terlihat pelabuhan Sawang dan teluk Ulu
Pelabuhan Sawang ini, biasanya disinggahi oleh kapal turbo jet Prima Oasis, dan kapal KM. Victory. Di situ juga
terdapat pelabuhan kapal Ferry, namun ternyata KMP. Lokongbuana lebih suka
berlabuh di pelabuhan Ulu karena lebih dekat dengan pusat bisnisnya.
Kapal Turbo Jett Prima Oasis sedang berlabuh sejenak menaikan penumpang di Pelabuhan Sawang
Dari Sawang menuju Ulu, sudah
tidak jauh lagi. Hanya beberapa kilo meter saja kami tempuh dengan motor.
Sebenarnya setelah sesampai di Ulu, kami akan melanjutkan pergi ke Kalarung, yaitu daerah bagian
timur dari pulau Siau, tapi gara-gara jembatan yang baru diperbaiki dan karena
perut kami sudah keroncongan akhirnya kami malas untuk mencari jalan alternatif
lain, untuk pergi ke Kalarung. Namun malam harinya, akhirnya kami sempat pergi
kesana dengan menggunakan mobil. Dengan maksud memancing ikan di pantai
Kalarung. Dikarenakan pada waktu itu air laut sedang surut, setelah beberapa
kali kail kami lemparkan dan tak ada jawaban dari ikan disana, akhirnya kami
pindah mengail di pelabuhan sawang, dan hanya dapat ikan-ikan kecil yang
jumlahnya hanya beberapa ekor saja.
Label:
Jelajah,
Sekitar Sulut,
Siau-Sitaro,
Traveling
Langganan:
Postingan (Atom)