Tawang Mangu adalah sebuah kota kecil terletak di bawah lereng Gunung Lawu,
yang merupakan salah satu dari gunung
tertinggi di Indonesia. Kota ini merupakan andalan dari kabupaten Karanganyar
Jawa Tengah sebagai salah satu tempat tujuan wisata yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan baik domestik
maupun mancanegara. Karena potensi keindahan alamnya dengan suasana alam
pegunungan yang indah dan berudara sejuk,
serta di sini juga terdapat beberapa situs-situs wisata alam yang tak
dimiliki oleh kota-kota lain di Indonesia.
Untuk mencapai kota ini cukuplah mudah, dari terminal bus Tirtonadi Solo hanya
diperlukan waktu sekitar 3 jam dengan ongkos sekitar Rp. 7000,-/ orang sampai
di terminal bus Tawang Mangu. Dari terminal bus Tawang Mangu bila ingin
berkeliling kota, ada angkuta umum atau bisa juga dengan menunggangi kuda,
karena di kawasan Tawang Mangu banyak sekali penduduk lokal yang menyewakan
kudanya untuk berkeliling kota.
Salah satu icon yang paling menarik dan yang paling menjadi alasan
orang-orang dari berbagai daerah untuk mengunjungi kota ini adalah, adanya sebuah tempat wisata alam berupa air terjun yang diberi nama “Gerojokan Sewu”. Dalam
bahasa jawa kata “Gerojokan” artinya
adalah air terjun atau water fall jika
dalam bahasa inggris. Sedangkan kata “Sewu”
berarti seribu. Namun secara
harafiahnya, Gerojokan Sewu disini bukan berarti Air terjun ini jumlahnya ada
seribu buah, mungkin hanya menghiperbolakan saja akan ketinggian dari air
terjun ini yang diperkirakan
ketinggiannya sekitar 80 m yang merupakan air terjun tertinggi di Jawa Tengah. Sedang
untuk mencapainya kita harus menuruni sekitar 1000 an anak tangga, sehingga
“mungkin” dengan alasan itulah, air terjun ini diberi nama gerojokan sewu.
Selama menuruni anak tangga untuk menuju air terjunnya, kita akan disambut
dan ditemani oleh ratusan monyet ekor panjang yang merupakan penghuni tetap
tempat ini. Itulah sebabnya disarankan,
jika ingin berkunjung kesana untuk membawa makanan ringan untuk dibagikan
kepada monyet-monyet tersebut. Mereka memang tampak kelihatan jinak, mungkin
karena sudah terbiasa dengan para pengunjung, dan tak segan-segan mereka
mendekati pengunjung untuk meminta makanan yang dibawanya. Namun harus
berhati-hati pula jika menaruh tas atau barang-barang yang menarik perhatian,
karena mereka bisa saja mengambil untuk dibawa naik diatas pohon dan tidak mau
mengembalikannya.
Sesampai ditempat air terjunnya, kita akan disuguhkan oleh pemandangan yang
sungguh sangat luar biasa. Kucuran air yang jatuh dari ketinggian sekitar 80 m
lebih itu membuat suara gemuruh, dengan percikan air yang membentuk kabut tipis,
dan dengan bantuan pantulan sinar matahari, maka akan terbentuk sebuah pelangi yang
indah dengan latar belakang hutan pinus yang lebat. Diantara terjal dan
licinnya batu-batu besar yang ada didekat lokasi jatuhnya air terjun, banyak
sekali pengunjung yang sengaja membasahkan diri untuk merasakan jernih dan dinginnya
air dari kucuran grojokan sewu tersebut.
Tak jauh dari lokasi jatuhnya air terjun, terdapat sebuah jembatan yang
menghubungkan sisi kanan dan sisi kiri dari komplek lokasi wisata air terjun Gerojogan Sewu yang dipisahkan oleh aliran sungai kecil
dari air terjun tersebut. Jika pengunjung ingin ke sebrang, maka harus melewati
jembatan kecil ini. Namun dibalik eksotiknya tempat ini, tersimpan
sebuah mitos atau misteri yang sangat
ditakutkan khususnya bagi para pasangan kekasih yang sedang menjalin hubungan
cinta, atau sedang berpacaran. Mitos ini
sebenarnya sudah sangat terkenal di tanah jawa, bagi yang percaya mungkin akan
menghindar untuk menjadikan tempat ini sebagai tempat berpacaran. Namun bagi
yang tidak percaya akan mitos ini, banyak pula pasangan kekasih yang menjadikan
tempat ini sebagai lokasi menjalin kasih bagi mereka.
Mitos dari Gerojokan Sewu ini adalah “apabila sepasang kekasih datang
ketempat ini untuk berpacaran lalu menyebrang melalui jembatan tersebut, maka hubungannya tidak akan lama atau mungkin
akan putus dan tidak akan sampai di pelaminan”.
Saya mungkin salah satu orang yang tidak percaya akan mitos tersebut, pada
1 Oktober 2006, saya mengajak pacar (lebih tepatnya mantan karena sekarang
sudah menjadi istri orang lain hehehe..) untuk datang ketempat ini. Namun kami
tidak datang sendiri, saya mengajak pula teman-teman yang satu rumah kontrakan
dengan saya di Salatiga untuk pergi rekreasi bersama ke lokasi ini, dengan
menyewa sebuah mobil Avanza. Kebetulan memang tujuan kami kesana adalah untuk
menyenangkan pacar saya yang pada waktu itu, adalah merupakan hari-hari
terakhirnya di jawa karena dia telah menyelesaikan masa studinya di salah satu
Perguruan Tinggi ternama di Kota Salatiga dan akan kembali ke tempat asalnya di
Sulawesi Tengah. Saya tidak hanya satu kali itu saja mengunjungi tempat ini,
sebelum-sebelumnya saya sering berekreasi ke tempat ini bersama keluarga maupun
teman-teman karang taruna di tempat asal saya.
Selama satu hari full, kami menghabiskan waktu ditempat ini, bercanda
bersama, main air sampai basah kuyup, dan bahkan berfoto diatas jembatan
keramat bersama monyet-monyet lucu yang selalu mengikuti kami dengan latar
belakang air terjun itu sendiri. Selain di Gerojokan Sewu, kami juga
mengunjungi tempat-tempat lain yang ada disekitar Kota Tawang Mangu, termasuk
di Danau Sarangan, yaitu danau buatan jaman Belanda yang ada di Kab. Magetan
Jawa Timur dan dapat ditempuh sekitar 30
menit dari pusat kota Tawang Mangu. Karena sebenarnya Tawang Mangu merupakan kota
perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sepulang dari sana, satu minggu kemudian Pacar (mantan) saya harus
berangkat pulang menuju daerah asalnya di Sulawesi Tengah dengan menggunakan
kapal laut. Saya dengan sedih terpaksa mengantarkan kepergiannya di pelabuhan
Tanjung Mas Semarang bersama teman-temannya. Tetesan air mata tak kuasa kami
bendung, pelukan perpisahan seakan tak ingin kami lepaskan. Padahal pada waktu
itu, hubungan kami sudah berjalan sekitar satu tahun lebih. Namun apa boleh
buat, saya juga tak kuasa untuk menahanya tinggal lebih lama, karena ia harus
menemani ibunya yang seorang diri disana. Meski saat itu kami telah dipisahkan
oleh jarak yang begitu jauh, namun hubungan kami masih terus berjalan normal, meski hanya
suaranya saja yang dapat kudengar via hp buntutku, namun setidaknya itu sudah
bisa sedikit mengobati rasa rindu kami berdua, dan kami berusaha untuk
mematahkan mitos dari gerojokan sewu tersebut.
Tak menutup kemungkinan pula, jika keraguan dan kebosanan menjadi cobaan
dan godaan yang terus menghantui hubungan kami, karena apakah kami masih bisa
dipertemukan kembali atau tidak, karena pengaruh jarak ini. Itulah pertanyaan
yang kerap kali muncul dalam benak kami. Namun tak disangka setelah hampir satu
tahun kemudian, saya diterima bekerja di salah satu NGO di Manado Sulawesi
Utara yang notabene merupakan daerah asal keluarga besarnya. Harapan baru pun
kembali menyemangati hubungan kami, untuk perlahan-lahan membunuh keraguan yang
ada. Itu berarti saya ada harapan untuk dapat bertemu dengannya lagi, dan itu
benar-benar terbukti. Satu bulan saya di Manado, saya akhirnya bisa melepas
rindu yang lama terpendam dengannya. Waktu itu ia telah berprofesi sebagai guru
honorer dengan mengajar di tiga sekolah sekaligus, sehingga waktu liburan
sekolah, ia bisa pergi mengunjungi keluarga besarnya di sebuah desa kecil
penghasil buah salaknya yang manis dari salah satu Kabupaten yang ada di
Provinsi Sulawesi Utara. Kesempatan seperti itulah yang kerap kali kami
manfaatkan, untuk saling bertemu lagi.
Hampir tiap tahun, kami hanya dipertemukan
saat dia sedang liburan. Namun sayangnya, saya belum sempat mengunjungi tempat
kediamannya di Sulawesi Tengah. Sebab setiap kali saya ada waktu liburan, namun
disaat bersamaan saya mendapat tugas menghadiri acara dari kantor ke Jakarta. Setelah
acara kantor baru saya memperoleh
liburan, tentu saja saya mengambil waktu tersebut untuk sekalian mengunjungi
orang tua saya di kampung, mumpung sudah ada di Jawa.
Biarpun saya sudah berada di satu daratan yang sama dengan dia, yaitu
sama-sama di Sulawesi. Namun ternyata kendala jarak dan waktu masih tetap
menjadi kendala utama dari hubungan kami. Jarak antara Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Utara ternyata masih begitu jauh, dan medanya tak seperti jalan-jalan
di Jawa. Dari tempatku ke tempatnya, memakan waktu tiga hari perjalanan darat,
dan jika menggunakan kapal laut dapat ditempuh sekitar dua hari. Jika
menggunakan Pesawat, tiketnya jauh lebih mahal daripada pergi ke Jawa. Meski hubungan kami sering pasang surut, namun
kami tetap mencoba bertahan untuk dapat mematahkan mitos tersebut.
Berbagai ujian dan godaan setelah saya tinggal di Manado lumayan cukup
besar. Tak perlu diperjelas lagi mengenai godaan bagi kaum adam di Manado.
Yups... betul sekali... cewek-ceweknya di kota ini dapat meruntuhkan keteguhan
hati untuk kata setia, karena secara
fisik banyak yang lebih cantik, seksi dan berani bila dibandingkan dengan
mantan saya. Untuk beberapa kali saya hampir sempat terjatuh oleh godaan-godaan
tersebut, namun pada akhirnya saya masih bisa mempertahankan hubungan ini,
meski begitu amat sulit dengan berbagai tawaran-tawaran cinta yang lebih
menggiurkan, apalagi sebagai seorang pendatang yang jauh dari kekasih seperti
saya.
Cobaan lain tentang masalah perbedaan selera
rohani dari dominasi gereja kami yang berbeda pun, meskipun melalui
pertentangan dan perdebatan yang lumayan alot dengan ibunya, namun demi untuk
mempertahankan hubungan ini, saya sudah sedia untuk mengalah untuk mengikuti
seleranya. Namun ada satu hal yang menjadi batu sandungan yang tak bisa ku
lewati adalah, dengan mendapatkan pekerjaan ditempatnya dia tinggal yaitu di
Sulawesi Tengah. Saya sudah mencoba mendapatkan informasi lowongan pekerjaan
secara online untuk lokasi disana, namun sangat minim sekali yang sesuai dengan
kualifikasi yang saya miliki, namun ada beberapa yang saya tindak lanjuti untuk
mengirimkan berkas lamaran saya, namun ternyata belum ada balasannya. Karena
saya tidak berhasil mendapatkan pekerjaan di sana inilah, yang menjadi alasan utama,
dan memaksa dia untuk mengambil sebuah
keputusan yang mungkin begitu berat baginya.
Dalam keputus asaan dan kebimbangan, serta dari akumulasi berbagai putaran
setan masalah yang kami hadapi, didukung dengan pada saat yang sama, saya
sedang menghadapi persoalan kehidupan yang menyudutkan saya untuk kehilangan
posisi tawar yang kuat darinya. Maka disaat
bersamaan pula, cinta lain pun datang menghampirinya dengan kemasan yang jauh
lebih menarik dari pada saya saat itu, dan jauh lebih dari kemapanan dan
kesiapan yang mungkin diidamkan olehnya. Tentu saja saya harus terpaksa
mengiklaskannya, meski dengan hati yang berat dan penuh penyesalan. Namun apa boleh
buat, alasan yang penting dia bahagia pun, mengiringi ketidak mampuanku
mendapatkan dia seutuhnya, dan merelakan dia bersama orang lain yang merupakan
orang lokal dari tempatnnya ia tinggal. Meski dalam hati kecil ada ketidak
relaan untuk melepasnya.
Tak terasa waktu telah begitu cepat berlalu, tujuh tahun sudah kami bergulat
pada hubungan cinta yang rumit yang hanya berputar-putar pada persoalan yang
sama yang tak dapat kami temukan ujung pangkal penyelesaiannya. Akhirnya dipenghujung bulan Maret 2011, dengan
segala kepedihan dan penyesalan kami berdua resmi mengakhiri kisah ini secara
baik-baik, dan dengan lapang dada. Hingga kemudian pada pertengahan November
2011 lalu, ia memberi kabar akan hari
pernikahannya. Meski hati teriris, namun itulah sebuah kenyataan, dan hanya doa
yang dapat kusampaikan, “semoga berbahagia”.
Hingga pada pertengahan Januari 2011, ternyata saya baru ingat dan
menyadari bahwa sekitar 6 tahun lalu, saya pernah mengajaknya menyebrangi jembatan
air terjun Gerojokan Sewu Tawang Mangu, yang katanya magis tersebut. Entah itu
benar gara-gara hal itu atau tidak, namun pada kenyataannya mitos tersebut
benar-benar terjadi pada hubungan kami.
Hmmm..... jadi kapok deh pacaran disitu lagi.. :(
Nb : No Hoax... picture gak bisa ditampilkan, karena sudah bukan haknya hehe